Senin, 02 Januari 2012

Sikap-Memaafkan dan Therapi

Sikap-Memaafkan dan Therapi: Sebuah Tinjauan Kritis Terhadap Konsep, Praktek dan Penilaian Literatur
Terri-Ann Legaree, Jean Turner and Susan Lollis
University of Guelph
 Artikel ini merupakan sebuah tinjauan kritis terhadap sikap-memaafkan yang dikonsepsikan untuk terapi keluarga, konseling dan klinik psikologi dalam literatur. Tiga dimensi utama muncul sepanjang sudut pandang penulis therapis masih bisa ditemukan: keistimewaan, kesengajaan dan kebajikan. Therapi praktis dan nilai-nilai yang sesuai dengan kedudukan selama dimensi itu bisa dipaparkan. Analisis mengungkapkan bahwa pengembangan lebih luas dibutuhkan mengenai bagaimana sikap-memaafkan berhubungan dengan keberagaman (contohnya; gender, adat, agama, dll), marjinalisasi dan hubungan antar kekuatan. Tujuan kami ialah untuk menyediakan gambaran konseptual untuk dunia klinis sehingga mereka mungkin bisa menempatkan pemikiran mereka sendiri tentang sikap-memaafkan dan lebih bisa melengkapi suatu karya yang sensitif dengan pandangan sikap-memaafkan dan nilai-nilai dari kliennya.

“Banyak orang mengatakan bahwa memaafkan adalah sebuah ide bijak, sampai mereka dapatkan sesuatu untuk dimaafkan…”
C. S. Lewis, 1942

Berabad-abad dalam masyarakat barat, memaafkan dianggap sebagai komponen penting antar pribadi dan jalinan kekerabatan (DiBlasio, 1993). Permintaan maaf dan memaafkan merupakan suatu fenomena pertemuan yang benar-benar terjadi dalam pergaulan antar manusia. Memperbaiki hubungan menjadi alasan kebanyakan orang untuk  mendapatkan pelayanan terapi dan kebanyakan masalah yang ingin mereka pecahkan ialah berhubungan dengan perasaan atas pengkhianatan atau rasa dirugikan (Pingleton, 1989; Sells & Hargrave, 1998). Atas dasar inilah, seorang ahli terapi sering membicarakan hal mengenai sikap-memaafkan pada kliennya. Pembicaraan ini termasuk apakah ia akan memaafkan jika seseorang mengkhianatinya, lantas kapan dan bagaimana memaafkannya. Klien juga ingin lebih mengetahui bagaimana orang yang tersakiti hatinya bisa dimaafkan.
Study tentang sikap-memaafkan dan aplikasi terapisnya telah digunakan oleh peneliti ahli klinis dibidang psikologi, konseling dan terapi keluarga. Anehnya, tulisan tentang topik ini tidak seluas yang diharapkan. Banyak penulis mengatakan bahwa sikap-memaafkan merupakan suatu konsep yang hampir diabaikan oleh dunia klinis atau study toeritis maupun empiris (Pingleton, 1989: Walrond-Skinner, 1998). Topik ini biasanya dimasukan dalam kajian ilmu sosial sampai tahun ’80-an dan terus meningkat di 20 tahun terakhir. Alasan-alasannya yang termasuk dalam perubahan konservatif di Amerika Utara yakni penekanan pada isu spiritual dalam konseling baru-baru ini dan meningkatnya perhatian pada sebab dan akibat kekerasan dan penganiayaan. (DiBlasio, 2000: Freedman, 1999: Rotter, 2001). Tersedianya dana penelitian yang cukup banyak menarik perhatian dan telah tersebar luas. Buktinya adalah “Kampanye Untuk Penelitian Sikap-Memaafkan” diselenggarakan oleh John Templeton Foundation pada 1990 yang menerjemahkan batas-batas antara penelitian keilmuan dan keagamaan. Kini, yayasan ini telah mendanai lebih dari 40 penelitian yang diperkirakan telah menghabiskan $10.000.000,- dibidang ini saja (lihat www.forgiving.org). Jadi, kombinasi yang kompleks dari berbagai faktor termasuk akses pendanaan penelitian telah mempermudah publikasi atas sikap-memaafkan sebagai topik utama bagi therapis dan peneliti ilmu klinis. Akhirnya, hal ini akan menjadi kajian dan pengujian literatur dari perspektif kritis.
Sudah ada beberapa kajian literatur yang menyimpulkan pendekatan utama dari sikap-memaafkan. Tujuan kami disini ialah untuk memenuhi kebutuhan yang berbeda-beda. Inilah yang dibutuhkan untuk analisis kritis terhadap literatur kekinian. Kami pula memilih fokus pada pengidentifikasian  sikap-memaafkan dalam kedudukan khusus pada waktu therapi. Juga, kami mengkaji bagaimana posisi praktek therapi khusus dan fokus kliennya serta bagaimana kedudkan khusus merefleksikan keterangan atas asumsi penilaiannya. Maksud kami ialah untuk menyediakan gambaran konsep yang mungkin bisa mengundang tindak lanjut para ahli therapi. Menempatkan pribadinya antara sikap-memaafkan yang harus menjadi kesadaran para therapis sendiri dan refleksi kritis atas prasangka juga kecondongan praktisnya. Therapis juga bisa menggunakan gambaran konseptual ini untuk menjadikan dirinya lebih peka pada asumsi nilai sikap-memaafkan yang ditunjukkan kliennya, dengan demikian, membuka kemungkinan untuk peningkatan kolaborasi dalam ilmu therapi. Kami juga fokus pada luasnya taksiran dari apa yang tertulis dan teridentifikasi telah hilang dari literatur. Analisis atas implikasi dari perbedaan pendekatan therapi sikap-memaafkan diluar fokus kajian ini. Apa yang kami paparkan ini penting bagi langkah awal untuk menentukan batasan sikap-memaafkan sepanjang tulisannya berkenaan dengan literatur therapi. Artikel kami diawali dengan deskripsi methodologis, yang diikuti oleh tiga dimensi utama dari sikap-memaafkan yang teridentifikasi oleh analisis, juga komentar atas karya penulis ini. Akhirnya, kesimpulan dan komentar kritis dipaparkan pula.

Proses pengkajian
Pendekatan kami pada pengkajian literatur atas sikap-memaafkan melalui beberapa langkah dalam proses penelitian qualitative, seperti: (a) memilih teks, (b) “interogasi” pada setiap teks dengan pertanyaan yang berhubungan untuk pengkajian objektif, (c) mengembangkan kategori-kategori, dan (d) analisis terhadap kategori-kategori penting yang muncul.

Pemilihan teks untuk pengkajian
Tujuan kami adalah pengujian pada banyak kajian atas literatur kekinian yang fokusnya pada tulisan sikap-memaafkan yang ditulis oleh therapis profesional terlatih juga konselor. Untuk memulainya, kami mencari daftar buku bacaan di perpustakaan dan artikel jurnal yang menggunakan kata kunci yang berhubungan dengan sikap-memaafkan. Lalu, kami memilih referensi yang akan digunakan sebagai sumber tambahan tulisan. Lantas, kami pilih dari berbagai buku dan artikel jurnal itu yang hanya dipublikasikan dalam periode 15 tahun terakhir antara 1990 sampai 2005 awal, juga kami pilih tulisan yang hanya ditulis oleh ahli klinis dengan pelatihan profesional (psikologi, therapi keluarga, dll.). disini, pada dasarnya literatur tentang sikap-memaafkan seperti beberapa contoh publikasi, kami melaporkan penemuan dari proyek penelitian empiris spesifik. Akhirnya, sejumlah buku yang kami gunakan adalah buku yang ditulis dan dipublikasikan secara profesional dan jurnal akademis.

Analisis
Langkah kedua pengkajian kami mengenai analisa terhadap artikel dan buku yang digunakan dalam pendekatan yang digunakan dalam penelitian qualitative. Kami mulai dengan tiga pertanyaan utama mengenai sudut pandang therapis dan prakteknya yang berhubungan dengan sikap-memaafkan. Pertama, bagaimana therapis menulis tentang sikap-memaafkan dan konsepsinya? Kedua, bagaimana menghubungkan konsepsi ini dengan cara seorang therapis menggabungkan sikap-memaafkan kedalam kerja klinis mereka dalam hal teknis dan praktis? Dan terakhir, ideologi, asumsi dan penilaian apa yang mendasari berbagai konsepsi dan aplikasi dari sikap-memaafkan? Pada awalnya, penulis membaca dan mengulanginya pada setiap teks dengan tiga pertanyaan utama tadi dikepala. Ini merupakan interogasi pada tiap teks.
Setelah membaca lebih dari setengah teks, penulis pertama mulai mengembangkan kategori dengan tiga pertanyaan utama tadi, meleburkan kategori itu dalam interpretasinya atas apa yang telah penulis paparkan. Setelah artikel atau buku dibaca, kategori baru muncul. Lalu saling diperbandingkan, jika berbeda, akan dicantumkan dalam list. Proses “perbandingan langsung” ini terus dilanjutkan hingga kategori lainnya ditemukan dan tiap teksnya dikaji ulang pula. Selanjutnya, bagian teks yang dikaji ulang oleh penulis kedua diperiksa dalam kategori yang sudah ada. Dengan proses berulang membaca teks, memilah kategori, membaca ulang dan mengkaji ulang sistem kategorisasi, kumpulan topik yang kebih luas telah tersedia. Masing-masing dimensi tadi melalui urutan posisinya sendiri. Akhirnya, jumlah dimensi dan topik dikurangi dengan mengambil inti perbedaan utama (tekanan dan penolakan) diantara sejumlah penulis yang terpercaya. Kami sadar bahwa dalam literatur ada dimensi yang berbeda atas sikap-memaafkan yang teridentifikasi. Tujuan kami dalam analisis ini ialah fokus untuk mengidentifikasi dimensi utama itu yang menimbulkan ketegangan pada tiap kedudukan. Dengan ini, kami tidak memasukan topik yang muncul mengenai hubungan antar karya yang berfokus individual terhadap sikap-memaafkan. Topik atau dimensi ini utamanya berhubungan dengan cara melakukan dan tidak mengangkat bagian perbedaan pendapat antar penulis. Terakhir, analisis mengenai penentuan kedudukan masing-masing dimensi dengan mengacuhkan kehadiran yang dominan dan yang akan bisa dijadikan sebagai alternative.
Semua methodologi membuat batasannya untuk hasil yang umum. Tulisan ini juga termasuk didalamnya. Pertama, prosedur pemilihan teks kami tidak memasukan teks yang berhubungan dengan sikap-memaafkan namun bukan topik utamanya. Kedua, sengaja memfokuskan pada dimensi antar sudut pandang terhadap sikap-memaafkan dalam menyoroti diskusi-diskusi kekinian. Dalam perjalanannya, kami mungkin membiarkan yang lebih luas dan lebih detail dari bagaimana seorang therapis menggunakan pendekatannya.
Kelayakan dari hasil kerja kami meninggikan aspek kenekaragaman atas prosedur yang kami ikuti. Teliti dalam membaca dan baca ulang teks oleh penulis pertama menguatkan validitas atas penemuan dalam kajian kami. Reabilitas digunakan penulis kedua dengan mandiri untuk membaca sejumlah teks dan menyediakan masukan mengenai kategori dan dimensi. Akhirnya, penulis ketiga mengkaji dimensi dan contohnya dalam poin yang berbeda, mengungkapkan komentar kritis dan mempertanyakan atas keseluruhan analisis. Hal ini penting untuk membuktikan analisis yang kita gunakan dan interpretasi dasarnya, dan tidak semua teks kami kaji sepenuhnya dengan memperhatikan konsep dan praktisnya. Saat itu juga, kami percaya bahwa ketelitian proses yang kami gunakan menguatkan kredibilitas hasil kajian kami.

Tinjauan Temuan
Dalam pengkajian literatur ini, kami menemukan banyak ide dan sedikit persetujuan tentang apa itu sikap-memaafkan, dan bagaimana hal ini bisa disatukan dengan konseling (Hill, 2001; Rotter, 2001). Dalam buku dan artikel kajian mereka dari data-base psikologi dan medis, Kaminer menyimpulkan bahwa begitu banyak definisi sebanyak orang yang menulis tentang sikap-memaafkan. Kajian kami memang setuju dengan perubahan konsepsi ini. Baru saja peneliti mulai mengutarakan pertanyaan bagaimana perubahan konsepsi mempengaruhi keterbukaan klien atas sikap-memaafkan dalam therapi. (Butler, 2002). Dalam percobaan mereka untuk menemukan definisi sikap-memaafkan tentang konsepsi dari kebanyak penulis, McCullough, Pargament dan Thoresen (2002) menganjurkan sebagai berikut; “perubahan intra-individual pro-sosial kearah perasaan berdosa digolongkan kedalam konteks spesifik interpersonal”. Dalam kajian kami menemukan bahwa penggunaan komponen yang sama dalam keberagaman konsepsi berhubungan dengan rasa dendam; memaafkan berarti meredam dendam kepada seseorang yang telah membuat kita terluka atau terkhianati.
Hasil akhir dari analisis kami mengidentifikasikan sekitar tiga dimensi yang mana konsepsi penulis therapi dan penerapan therapi dari sikap-memaafkan bisa diletakkan. Masing-masing dimensi yang muncul merepresentasikan kesatuan dalam peninjauan. Dimensinya ialah (a) keistimewaan: kepentingan, pengaplikasian dan potensi penyembuh dari sikap-memaafkan, (b) kesengajaan: sikap-memaafkan sebagai pilihan atau temuan, dan (c) kebajikan: perasaan orang yang bersalah dalam sikap-memaafkan dan untuk siapa maaf itu. Dalam tiga bagian artikel ini selanjutnya masing-masing dimensi itu akan dipaparkan dan diilustrasikan dengan contoh pilihan  “kata kunci” dari tulisan therapis. Pedoman bagi penulis adalah yang kedudukannya jelas dan yang tulisannya menjadi simbol bagi kedudukan tertentu. Kami mengidentifikasikan posisi yang relatif bagi masing-masing karya penulis selama rangakaiannya masih mendasari analisis kami. Meski hasil dari masing-masing rangkaiannya dengan jelas menegaskan, penyebaran lokasi lebih penting dalam analisis kami daripada peninjauan ekstrim. Kami menyimpulkan bahwa ada perbedaan besar dalam pengidentifikasian kedudukan untuk “dominan”,”alternatif” dan “perantara.” Sebaiknya diperhatikan bahwa posisi seluruh penulis didasari oleh pemahaman dan interpretasi kami dari ketelitian penulisan yang kami tinjau dan hal ini mungkin menentukan kekesempurnaan tulisanmereka.

Keistimewaan; kepentingan, pengaplikasian dan potensi penyembuh dari sikap-memaafkan
Dalam literatur sikap-memaafkan dan therapi, ada  jangka waktu dari kajian mengenai pentingnya hal untuk memaafkan. Urutan posisi dimulai dari kuatnya antusiasme pada bagian penulis therapi yang meninjau kepentingan dan manfaat dari sikap-memaafkan bagi klien kepada substansi skeptisisme pada bagian yang mengenai sikap-memaafkan sebagai, yang pada faktanya, tidak cukup membantu klien atas rasa dikhianati dan menemukannya dari rasa sakit. Contoh 1 mengidentifikasi inti posisi penulis therapi sepanjang dimensinya dari “essentiality,” seperti yang berhubungan dengan therapi praktis dan penilaiannya.

Sikap-memaafkan itu penting atau istimewa: kedudukan dominan
Tinjauan dominan menganggap sikap memaafkan sangat penting, dan bahkan teramat penting untuk menghilangkan rasa sakit dan terkhianati, perbaikan hubungan dan akhirnya untuk penyembuhan personal. Perlu diperhatikan bahwa hampir 75% buku dan artikel yang kami teliti, ide tentang sikap-memaafkan sangat mengandung arti. Beberapa dari statemen menganjurkan nilai therapis dari sikap-memaafkan yakni Coleman (1998), yang menulis, “sikap-memaafkan adalah keharusan bagi masalah keluarga yang mana ada luka dalam, pengkhianatan dan ketidak-setiaan. Jika tidak ada rekonsiliasi, sikap-memaafkan adalah proses yang memungkinkan pemberi-maaf untuk bisa membuat hidupnya tak terbebani oleh sakitnya terkhianati.” Madanes (1991), dengan statemennya yang lebih tegas, menyatakan bahwa, “cara satu-satunya untuk bertahan dari hari ke hari tanpa gangguan emosi adalah dengan memaafkan dan melupakan.”

        Sikap memaafkan adalah                                                                                   skeptis/kritis terhadap
                  penting/khusus                                                                                                 sikap memaafkan              

 

Terapi praktis


·         Mengajurkan klien untuk memaafkan
·         Terapi yang mengarahkan dan terstruktur
·         Komponen psychoeducational
·         Terapis y bekerja secara individual dan berhubungan
·         Sikap netral dipilih klien untuk memaafkan atau tidak
·         Condong pada proses penyembuhan alternatif

·         Jika segalanya, menyarankan klien untuk memaafkan dirinya sendiri
·         Menganjurkan amarah sbg alat penyembuhan
·         Beberapa therapis khusus bekerja dengan korban trauma yang selamat
Kedudukan nilai dan ideologis


·         Perspektif Kristen: sikap memaafkan merupakan inti keselamatan
·         Tradisi yahudi
·         Perspektif kesehatan mental

·         Perspektif yang kondisional dan kontekstual
·         Perspektif yang mengarahkan klien
·         Perspektif feminis dan keadilan sosial
Narasumber


Benson (1992)
Coleman (1998)
Davenport (1991)
Diblasio (1998,2000)
Enright dan Fitzgibbons (2000)
Ferch (1998)
Gassin dan Emright (1995)
Madanes (1991)
Mamalakis (2001)
McCullough, Sanndage dan Worthington (1995)
McCullough dan Worthington (1994)
Pingleton (1989)
Rosena dan Harnden (1992)
Sells dan Hargrafe (1998)
Worthington dan Diblasio (1990)
Abrahms Spring (2005)
Jenkins et al. (2002)
Malcom dan Greenberg (2000)
Roter (2001)
Safer (1999)

Bass and Davis (1994)
Engel (1989)
Forward (1989)
Herman (1992)
Kennedy (2000)
Gambar 1. Pebagian berdasar praktek, nilai dan narasumber dalam dimensi keistimewaan
Jabat tangan dengan dorongan kuat untuk memaafkan dan berkomitmen digunakan untuk therapi merupakan thesis yang menyatakan bahwa sikap-memaafkan sangatlah aplikatif; hal ini tepat dalam penerapan konseling yang beragam dengan berbagai macam klien dan tingkatannya (Ferch, 1998). Enright dan temannya menghadirkan antusiasme khusus tentang potensi penyembuhan dari sikap-memaafkan diantara penulis yang melihatnya bisa mendapatkan aplikasi terluas. Mereka mempunyai peneliti ahli yang mendemostrasikan kegunaan dari sikap-memaafkan dengan campur tangan mahasiswa, pusat aborsi, korban perkosaan dan wanita-wanita dewasa (Al-Mabuk, Enright dan Cardis, 1995; Coyle & Enright, 1997; Freedman & Enright, 1996; Helb & Enright, 1993). Dalam bukunya, Helping Clients Forgive, Enright dan Fitzgibbons (2000) memaparkan beberapa bagian untuk mendiskusikan aplikasi “therapi sikap-memaafkan” ke keadaan medis yang tidak teratur seperti depresi, cemas, kekacauan personal dan penyalahgunaan obat. Kedudukan penulisnya ditentukan pada asumsi bahwa amarah dari rasa sakit yang lampau sering mendasari masalah kesehatan mental ini. Jawaban atas pertanyaan, kapan sikap-memaafkan relevan, jawaban dari tinjauan ini muncul menjadi “kapan saja.”
Therapi praktis, umumnya bisa dibuat dengan menilik pada bagaimana sikap-memaafkan diaplikasikan sebagai therapi oleh penulis yang meninjaunya sebagai intervensi yang penting dalam konseling. Kebanyakan, therapi itu menyediakan gambaran yang detail dan terstruktur dari setiap langkah proses sikap-memaafkan yang bisa diikuti klien. Contohnya, DiBlasio (1998) menggunakan struktur yang terdiri dari13 langkah “sesi sikap-memaafkan” dimana pasangan saling meminta maaf dan memaafkan atas kejadian dimasa lampau. Pasangan itu mengakhiri sesi ini dengan mempraktekan rekonsiliasi (DiBlasio,1998, 2000; Mamalakis, 2001; Worthington & DiBlasio, 1990) Madanes (1991), yang sebelumnya mengatakan dalam menilai sikap-memaafkan, demikian juga distrukturkan dan diperintahkan dengan 16 langkah intervensi keluarga dengan salah satu langkah yang perlu bagi orang yang melanggar untuk berlutut meminta maaf pada korbannya. Enright dan rekannya juga mempunyai model perspektif mendetail. Didalamnya ada empat fase: pembongkaran, pemilihan, pengerjaan dan pendalaman. Empat fase tersebut memiliki 20 bagian yan menerangkan secara detail langkah kognisi dan afeksi yang bisa diambil oleh pemberi maaf. Therapis menginformasikan bagaimana menolong klien dengan sempurna pada setiap bagian dan fasenya.
Therapis yang cenderung pada pengkajian keistimewaan sering memasukan komponen pendidikan dalam therapi mereka, mengajarkan pada klien bagaimana sikap-memaafkan mendefinisikan dan menyingkirkan beberapa miskonsepsi. Contoh dari pendekatan ini, Ferch (1998), yang memasukan psiko-edukasi sebagai fase awal dari dua fase  “pemberian maaf yang disengaja.” Pemberian maaf yang disengaja berarti konselor mengarahkan dan memediasi sebuah intervensi atas pemberian maaf klien atas pilihannya untuk memberi maaf. Proses ini dibuat untuk para korban yang dengan atau tanpa kehadiran orang yang bersalah dalam therapi itu. Keyakinan therapis sendiri bahwa sikap-memaafkan dibutuhkan pula komitmen untuk mewujudkannya merupakan komponen pokok.

Nilai-nilai dasar dan kedudukan ideologis
Kedudukan ideologis yang mendukung pandangan bahwa sikap-memaafkan adalah penting dan pokok untuk penyembuhan umumnya diambil dari komunitas konselor beragama Kristen. Kepercayaan umat Kristen bahwa dengan kematian Jesus dalam perjalanannya, Tuhan mengampuni segala dosa manusia dan akan memberikan kehidupan abadi bagi siapapun yang percaya akan pengorabanan Jesus. Dalam kepercayaannya, sikap-memaafkan merupakan pokok dari kehidupan Jesus. Layaknya Tuhan memberikan pengampunan, umat juga dianjurkan untuk saling memaafkan: “ramah dan saling mengasihi, saling memaafkan seperti yang Tuhan berikan padamu.” (Ephesians 4:32, NIV). Oleh karena itu, penulis yang mempublikasikan jurnal Kristen memaparkan konsep sikap-memaafkan yang merefleksikan nilai-nilai kerendahan hati dan saling asih tergantung pada pengalaman mereka atas pengampunan Tuhannya.
Bagi kebanyakan therapis Kristen sangatlah penting bila kliennya bisa sampai pada titik dimana sikap-memaafkan bukan hanya untuk memaafkan orang yang menyakitinya tapi bisa menambah dimensi spiritualnya. Meskipun therapis ini mengakui bahwa sikap-memaafkan belum tepat untuk kliennya saat itu, tulisannya berorientasi pada teknik dan intervensi yang bisa digunakan oleh konselor untuk membantu kliennya segera mencapai inti dari sikap-memaafkan sebagai sebuah tujuan. Contoh dari kedudukan ini bisa ditemukan dalam karya Rosenak dan Harnden (1992), yang membantu kliennya melalui tiga tahap sikap-memaafkan atas rasa tersakiti, amarah dan pencarian informasi. Mereka mengutip bible atau dengan menggunakan peraturan untuk mendemonstrasikan amarah yang merupakan ekspresi yang tepat jika tersakiti. Disamping itu, berdo’a dan berpuasa juga diperuntukan dalam konseling ini, dengan pengertian bahwa Tuhan akan membantu proses memaafkan itu. McCulluogh dan Worthington (1994) juga menyatakan perspektif ideologis dari kedudukan ini:
Selama ini kita beranggapan bahwa konselor-khususnya Kristen-harus menganjurkan kliennya yang tersakiti untuk memaafkan orang yang menyakitinya. Kami percaya bahwa anggapan ini dibenarkan dalam mandat Jesus bagi umatnya untuk saling mencintai saudaranya dan mengajarkan ajaran Tuhan untuk saling memaafkan melalui Jesus. (p. 4)
Selain konselor Kristen yang menganjurkan sikap-memaafkan pada nilai-nilai keagamaan dan kepercayaan, banyak penulis lainnya yang hampir merefleksikan atau sangat mandukung konstruksinya. Mereka hadir dengan berbagai factor antusiasmenya. Beberapa dari penulis mengungkapkan penelitian yang menunjukan bahwa sikap-memaafkan membawa manfaat psikologis dengan mereduksi kecemasan, amarah dan depresi juga meningkatkan percaya diri dan harapan, atau juga mereka mengatakan bahwa sumbangan positif berdasarkan pada alasan klinis dan theoritis. Ada juga klaim manfaat untuk kesehatan fisik. Oleh karena itu, bagi beberapa penulis, mempromosikan sikap-memaafkan mungkin menyimpan nilai bukti penelitian dan berbagai intervensi yang mempromosikan kesehatan mental.
Saat itu juga, alasan bagi komitmen sikap-memaafkan tidaklah selalu jelas. Meskipun kebanyakan penulis topic tentang hal ini seperti DiBlasio, Enright, McCullough dan Worthington telah mempublikasikan psikologi dan therapy keluarga dalam jurnal dari tendensi buku mereka, artikel merekapun dengan jelas memaparkan jurnal Kristen seperti \Journal of Psychology and Christianity dan Journal of Psychology and Theology. Tulisan mereka dalam jurnal itu mengacu pad ide-ide Kristen. Yang kemudian muncul ialah penulis yang mempertahankan perspektif bahwa Kristen mempunyai pengaruh besar dalam sikap-memaafkan dan therapy. Beberapa antusiasme untuk sikap-memaafkan dalam literature mungkin merupakan refleksi atas nilai-nilai keagamaan dan keyakinan, disamping untuk penelitian. Buktinya, kajian literature diumumkan dalam pengadilan sekuler  oleh beberapa penulis pada kedudukan yang istimewa yang menyarankan pengaruh keagamaan dalam bentuk pengabdian kepada Tuhan dengan publikasi atau mendalami study kasus dari kliennya, sebaik pemahaman pada aspek spiritual dari penyembuhan.

Pendangan skeptis dan kritis pada sikap-memaafkan: kedudukan alternative
Suara-suara penulis yang skeptis  dan bahkan kritis terhadap sikap-memaafkan berada dibawah kedudukan dominan yang menyatakan pokok dari sikap-memaafkan. Penulis pandangan alternative ini berpendapat bahwa “sikap tidak memaafkan” kadangkala berarti positif: faktanya bahwa sikap-memaafkan kadang berbahaya bagi korbannya. Penulis menganggapnya sebagai kehati-hatian pada sikap-memaafkan dalam sebuah therapy dan jangan segera menjadikannya mekanisme penyembuhan. Perbedaan antara pandangan skeptis dan essential tadi mungkin berhubungan dengan populasi klien yang mereka layani. Kebanyakan yang skeptis dan kritis pada sikap-memaafkan itu bekerja mengurusi korban penganiayaan dan ketidak adilan. Bass dan Davis (1994), penulis The Courage to Heal, buku bagi para perempuan yang menjadi korban kejahatan seksual dibawah umur, mengambil pandangan kritis berdasarkan pada definisi atas sikap-memaafkan, seperti; “(a) untuk menghentikan amarahan pada orang yang menyakiti, (b) untuk menuntut balas dari orang yang menyakiti” (p. 161). Bass dan Davis menginterpretasikan definisi itu dengan mengartikannya meredam amarah, tidak lagi peduli atas kesalahan pelanggar dan tidak lagi mencoba untuk mendapatkan kompensasi. Mereka waspada akan sikap-memaafkan yang menjadikan korban dari kejahatan sering disalahkan dan pelakunya bebas dari kemungkinan dihukum dan tanggung jawab:
Adalah suatu penghinaan bila harus memberikan saran pada korban untuk memaafkan pelaku yang menyakitinya. Saran itu meremehkan dan mengingkari kemurnian perasaan… mencoba untuk member maaf adalah jalan yang sia-sia untuk proses penyembuhan. Ini bukanlah hadiah. Ini adalah sebuah produksi. Dan bahkan ini sangatlah tidak penting. (Bass dan Davis, 1994, pp. 161-162)
Kennedy (2000), konsultan kekerasan pada anak juga mengkritik dugaan sikap-memaafkan dan klaim yang mengatakan bahwa hal itu bisa menyembuhkan. Ia berpendapat “gereja menggunakan konsep sikap-memaafkan untuk proses menyelamatkan wewenangnya. Gereja menginginkan orang yang tersakiti untuk memaafkan atas apa yang telah berlalu… sikap-memaafkan oleh karenanya berhubungan dengan penyembuhan” (p 133). Kennedy percaya jika imbalan dari sikap-memaafkan memberikan rasa bersalah pada korban dengan memfokuskan pada keperluannya memaafkan pelaku kesalahan. Tidaklah mengejutkan, therapis yang antusias pada sikap-memaafkan mendapatkan kritik dari penulis berkedudukan skeptic yang memiliki definisi yang kurang tepat. Mereka berpendapat bahwa sikap-memaafkan tidak sesuai hukum karena ada kemungkinan tidak adanya perbaikan atas kesalahan si pelaku.

Therapi Praktis
Sumbangan yang diberikan oleh mereka yang berpandangan skeptic bisa ditemukan dalam literature, praktek therapy yang berhubungan dengannya kurang jelas pengertiannya. Beberapa penulis menempatkan prioritas pada usaha untuk memaafkan dirinya sendiri ketimbang memaafkan orang yang menyakitinya. Tulisannya mengindikasikan bahwa mereka bekerja dalam therapy individual dengan jalan memfasilitasi pemaafan-diri dan penerimaan-diri (Bass & Davis, 1994; Engel, 1989; Forward, 1989; Verco, 2002). Contohnya, Bass dan Davis mengatakan pada para pembacanya, “sikap-memaafkan yang murni hanyalah untuk memaafkan diri kita sendiri. Anda harus memaafkan diri anda yang memiliki keinginan, untuk menjadi picik. Anda harus memaafkan diri anda untuk menggunting yang terbaik yang anda miliki” (1994, p. 165)
Banyak penulis yang enggan menganjurkan sikap-memaafkan karena mereka percaya bahwa ini akan menghilangkan sebuah penyembuhan atas ekspresi kemarahan. Forward (1989) sebenarnya menganggap sikap-memaafkan merendahkan nilai kecakapan untuk melepaskan emosi yang tertahan. Bass & Davis (1994) merasa bahwa amarah merupakan motivator sebuah aksi yang mana sangat positif untuk penyembuhan, khususnya bagi wanita. Pendapat ini berdasar pada bagaimana amarah menjadi kesepakatan terbaik dengan gambaran tegangan besar ditengah pendekatan therapis. Penulis yang lebih condong pada kedudukan dominan mengatakan bahwa keperluan sikap-memaafkan, pada kenyataannya, tidak menghalangi ekspresi kemarahan. Bagaimanapun, dalam pandangan mereka amarah hanya memiliki potensi yang terbatas untuk penyembuhan ketika diikuti sikap-memaafkan pada akhirnya. Sebaliknya, Bass & Davis yakin jika amarah dikonsepsikan sebagai sesuatu yang harus bekerja atau harus dihapuskan, ini akan merugikan wanita yang menahan kekejaman dan mencoba menghadapinya. Penulis ini menganjurkan wanita untuk bisa menyentuhnya, menilainya dan menghubungkannya pada pelaku kejahatannya bukan pada diri mereka sendiri.

Nilai-nilai dasar dan kedudukan ideologis
Beberapa penulis yang skeptic terhadap sikap-memaafkan mengambil posisi yang kuat dalam isu feminisme. Komitmen mereka untuk menegakkan hukum social dan persamaan gender memberikan pandangan kritis pada sikap-memaafkan karena mereka yakin jika sikap-memaafkan mungkin berpotensi untuk memberikan kesempatan pada pelaku untuk meneruskan, menyakiti lagi dan bahkan menyalahkan korbannya sementara membebaskan pelakunya yang sering kali seseorang yang dalam kasus kejahatan atau pelanggaran seksual anak dibawah umur (Bass & Davis, 1994; Forward, 1989; Kennedy, 2002). Konteks politik mengenai kejahatan dan pelanggaran telah mendapat perhatian tersendiri. Nilai dalam hukum, keadilan, ganti-rugi dan kekuasaan atas kemunculan individual pengkhianat menjadi perhatian besar penulis.

Kedudukan Perantara
Disekitar bidang dimensi pokok antara antuisasme yang besar dan skeptisisme, ada jarak dari tiap sudut pandang yang menyetujui pentingnya sikap-memaafkan. Meskipun sulit untuk menyimpulkan semua peningkatan rangkaian kesatuannya, kami akan memberikan sedikit gambaran. Banyak penulis dalam kedudukan tengah berpendapat perspektif theoritis yang menekankan faktor “kontekstual” sebagai bahan prediksi ketika sikap-memaafkan akan digunakan untuk menyembuhkan. Dengan kata lain, sikap-memaafkan mungkin dan mungkin juga tidak akan memberikan masukan positif tergantung aspek dari konteks atau situasinya dan ini berarti bahwa sikap-memaafkan ada untuk sebuah potensi memaafkan. Rotter (2001) adalah contoh yang baik dari pendekatan klinis yang bergantung pada konteks berhubungan dengan ketidakwaspadaan. Pandangannya ialah bahwa sikap-memaafkan harus diperkenalkan dalam therapi “yang tepat.” Dia menambahkan, “yang tepat adalah prasa yang penting dalam kalimat sebelumnya yang mana sikap-memaafkan bukanlah untuk semua orang dan tidak semuanya mengobati semua klien” (p. 174). Memilih situasi yang lebih kompleks dalam posisi bergantung-konteks, Jenkins, Hall dan Joy (2002) telah menuruti aturan dari pengertian mengenai sikap-memaafkan dan pertaubatan. Mereka berpandapat bahwa sikap-memaafkan secara potensial menyediakan jalan keluar bagi penderitaan, namun, dalam situasi yang lain, ini bisa memperparah kondisi jika berada dalam konteks penindasan. Faktor yang menentukan ialah individu pengkhianat itu memilih dengan bebas untuk memaafkan atau berkewajiban untuk melakukannya “demi keharmonisan keluarga, untuk mendamaikan yang lainnya, untuk menghindari tekanan personal atau penyerahan atau religiusitas atau kepercayaan adat” (p. 42). Ada dua kondisi yang perlu dipertemukan sebelum korban milih untuk secara bebas memaafkan atau tidak: (a) realisasi yang mereka pertanggungjawabkan atas pelanggaran atau pengkhianatan yang mereka alami, (b) pertanggungjawaban atas pelaku kejahatan atau aksi pelanggaran. Kondisi ini diambil dari pendekatan Jenkins dan rekannya juga pendirian semantara Rotter “yang tepat” berbanding terbalik dengan kedudukan yang diambil oleh penulis yang perhatiannya kepada yang minimal dan advokasinya untuk sikap-memaafkan begitu kuat yang tidak condong pada kontekstual atau faktor penilikan arti sebagai prioritasnya.
Jenis penulis lainnya yang memperhatikan sikap-memaafkan pada pendekatan “mengarahkan klien”: yakni, mereka membuka segala bantuan untuk klien tertentu dengan siapapun mereka bekerja. Safer (1999) merupakan contoh yang baik. Dia mengambil posisi mengarahkan klien dengan cukup kuat dalam bukunya, Forgiving and Not Forgiving: A New Approach to Intimate Betrayal. Dia tidak melihat sikap-memaafkan sebagai satu-satunya jalan penyembuhan. Thesis pokoknya yakni “orang-orang perlu diberitahu bahwa sikap tidak memaafkan yang memecah pikiran adalah seperti kebebasan, layaknya sikap-memaafkan” (p. 5). Buku Safer tidak memberikan deskripsi mendetail mengenai nilai atau kedudukan ideologis dibalik kedudukannya atau kemungkinannya bekerja di bidang therapi. Bagaimanapun, diskusinya dalam banyak contoh kasus dan kepribadiannya dan penemuan profesionalnya tentang sikap-memaafkan memberi kesan bahwa ia memakai pendekatan yang terbuka dan netral untuk segala cara agar sakit itu bisa segera disembuhkan. Tidak berdasarkan hasilnya, tiap orang harus melewati tahap yang biasa dari pengulangan janji atas pengalaman dan perasaan, pengakuan atas pengaruhnya dan penafsiran kembali atas makna pengkhianatan dari pendekatan yang lebih luas. Safer mengambil kedudukan dalam therapi menyatakan, “kadang apa yang sangat orang butuhkan adalah izin untuk tidak memaafkan, untuk merasakan apa yang mereka rasakan” (p. 166). Penulis yang menjelaskan proses perbaikan alternative lainnya untuk memaafkan muncul untuk mendapatkan pikiran yang mirip. Permasalahan pandangan dengan yang lebih umum dan kedudukan dominan dalam memilih untuk tidak memaafkan menegaskan pilihan untuk mencari cara balas dendam dan ganti rugi atas perbuatan salah, seperti melukai korban. (Benson, 1992).

Kesengajaan: sikap-memaafkan sebagai sebuah keputusan
Therapis menulis tentang sikap-memaafkan diambil dari kedudukan yang berbeda pada apakah sikap-memaafkan disertai dengan sukarela, keputusan disengaja untuk memaafkan atau apakah ini merupakan proses panjang sebuah penemuan yang tidak hanya diinginkan. Dalam kajian kami atas literatur therapi kemunculan “kesengajaan” sebagai dimensi terbesar kedua dari konsepsi sikap-memaafkan.

Sikap-memaafkan sebagai keputusan: kedudukan dominan
Kaminer (2002) menyimpulkan dari kajian mereka atas literatur bahwa yang paling umum memegang pandangan ini ialah bahwa sikap-memaafkan merupakan pilihan suka rela atau pilihan dititik tertentu dalam kehidupan sang pelaku. Hal ini lebih membawa remisi aktif dari pada remisi pasif atas amarah yang telah lalu. Penelitian kami menyetujui bahwa yang paling banter dipromosikan adalah sikap-memaafkan merupakan pilihan yang disengaja yang membawa perubahan pada kognisi. Kedudukan DiBlasio (1998, 2000) ialah salah satu hal yang bisa ditempatkan pada pilihan terakhir dalam dimensi kesengajaan sejak ia awalnya memandang sikap-memaafkan sebagai aksi atas keinginan. Dia menggunakan suatu batasan “pilihan berdasar sikap-memaafkan,” yang dia katakan sebagai akibat dari “kondisi kognisi membiarkan rasa dendam pergi dan rasa dongkol serta keinginan untuk balas dendam” (DiBlasio, 2000, p. 150). Kesengajaan kognisi untuk merelakan ini, mungkin bukan merupakan akhir untuk rasa sakit dan lukanya. Bagaimanapun, ini merupakan langkah yang penting dalam proses pengangkatan bahwa memberikan kebebasan pada klien dari keinginan untuk balas dendam dan melengkapi mereka dengan rasa atas suatu kuasa. Dalam pandangan DiBlasio, bukan hanya sikap-memaafkan dibawah kontrol kognisi namun ini juga bisa diraih dengan keikhlasan.
 

Sikap memaafkan                              sikap memaafkan
                 Sebagai pilihan                                                                                                sebagai penemuan              


Terapi praktis


·         Aturan aktif dan langsung
·         Beberapa pendekatan menggunakan teknik kognitif, instruksi perilaku dan ritual
·         Pendekatan DiBlasio menyarankan dalam format waktu yang singkat
·         Mengenalkan sikap-memaafkan sebagai potensi mengubah tujuan
·         Beberapa struktur dan langsung
·         Fokusnya pada kognisi dan emosi
·         Mengenalkan sikap-memaafkan sebagai potensi tujuan pada poin selanjutnya dalam proses therapi
·         Therapis tidak menggunakan aturan langsung
·         Fasilitasi pada perbaikan pengalaman emosional dan perjalanan melalui kondisi emosional
·         Sedikit Struktur
·         Menyarankan waktu yan g panjang
·         Sikap-memaafkan bukan tujuan langsung
Kedudukan nilai dan ideologis


·         Bukti dari pengaruh theori kognisi-perilaku dan asumsinya
·         Nilai-nilai Kristen dalam pendekatan DiBlasio dan penulis lainnya

·         Tidak banyak informasi yang tersedia
·         Bukti dari pengaruh theori psychoeducational dan asumsinya
·         Pendekatan Patton dan Hill menunjukan pengaruh Kristen
Narasumber


Coleman (1998)
Diblasio (1998,2000)
Enright dan rekannya (1991,1998, 2000)
Ferch (1998)
Mamalakis (2001)
Worthington dan Diblasio (1990)
Gordon dan Baucom (1998)
Gordon, Baucom dan Snyder (2000, 2004)
Wothington (1998a)

Engel (1989)
Hill (2001)
Patton (2000)
Simon dan Simon (1990)
Gambar 2. Pebagian berdasar praktek, nilai dan narasumber dalam dimensi kesengajaan
Penulis lainnya merefleksikan pilihan kedudukan dalam dimensi kesengajaan. Enright dan koleganya mengkonsepsikan sikap-memaafkan sebagai memiliki komponen memilih-membuat yang bekerja aktif (Enright dan Fitzgibbons, 2000; Enright dan The Human Study Development Group, 1991). Coleman, (1998) juga mengungkapkan bahwa sikap-memaafkan merupakan pilihan kognisi yang dibuat klien pada saat ini dirasa baik bagi mereka; tanpa harus menunggu sampai mengalami perasaan sikap-memaafkan. Sikap-memaafkan lebih merupakan aksi dari pada reaksi. Demikian juga, Ferch (1998) menggunakan istilah “sikap-memaafkan disengaja,” yang mana sengaja dan diberi tahu oleh klien untuk menjalaninya dalam kondisi emosi yang lemah. Ini merupakan pilihan yang jelas untuk tidak memenuhi keinginannya untuk balas dendam atas ganti rugi. Meski therapis mengatakan kedudukan fokus pada pilihan, kami telah menempatkan pandangan mereka pada posisi yang kurang ekstrim pada rangkaian ini dari pada apa yang diungkapkan DiBlasio.
Menurut Mamalakis (2001), pandangan DiBlasio tentang sikap-memaafkan sebagai sebuah aksi atas keinginan yang bisa terjadi dengan segera tidak diakui oleh kebanyakan penulis. Berdasarkan pada kajian mereka pada literatur, Enright dan Fitzgibbons (2000) mengatakan bahwa sikap-memaafkan lebih murni dari sekedar pilihan kognisi. Mereka adalah pengkritik dari Worthington dan DiBlasio (1990) model therapi pasangan yang membawa spesifik “sesi sikap-memaafkan.” Berbeda dengan itu, Enright dan rekannya mengatakan bahwa pilihan untuk memaafkan merupakan salah satu bagian dari tindakan membentangkan suatu proses yang kompleks yang dibutuhkan untuk mengurangi amarah dan meningkatkan rasa iba. Enright dan The Human Development study Group (1991) seperti Ferch (1998) mengungkapkan bahwa pendekatan Worthington dan DiBlasio (1990) tidak mengakui melakukan sikap-memaafkan sering mengambil periode substansial setelah pilihan untuk memaafkan dibuat.

Praktek Therapi
Menghubungkan antara konsepsi dan praktek dari penulis yang memandang sikap-memaafkan sebagai pilihan bisa dijelaskan dengan gamblang. DiBlasio (2000) transparan tentang pelurusannya dengan pengalaman toeri kognisi dan pengobatan. Ia menganjurkan pada banyak kliennya bahwa ini mungkin untuk membuat pilihan kognisi atas sikap-memaafkan tanpa membutuhkan kesiapan emosianal. Ini serupa dengan asumsi teori kognisi; perasaan mengubah perubahan berikutnya dalam pikiran dan aksi (Baucom dan Epstein, 1990). Therapi ini dijalankan dengan keluarga atau pasangan, DiBlasio (2000) telah meneliti sacara klinis bahwa pembuatan pilihan dan pengetahuan bahwa jejak-jejak sikap-memaafkan telah dimulai yang seringkali berbalik menghanyutkan emosi. Untuk alasan ini, ide sikap-memaafkan biasa diperkenalkan diawal konseling.
Beberapa therapis memandang sikap-memaafkan sebagai elemen yang diperkenalkan pada klien dalam beberapa minggu therapi sebagai tujuannya kedepan. Penundaan ini bagian dari therapis yang membatasi penguasaan personal dari klien untuk memilih sendiri langkahnya yang berhubungan dengan sikap-memaafkan. Dalam menawarkaan sesi sikap-memaafkan pada permulaan, klien mungkin akan memilih apakah ikut berpartisipasi atau tidak dan mungkin penempatan waktu atas intervensinya (DiBlasio, 2000,p.157).
DiBlasio menjamin kliennya bahwa setelah meilih sikap-memaafkan mereka akan lebih bisa menggunakan banyak waktu therapi untuk menjalani kelanjutan emosi dari sikap tidak memaafkan dengan bantuan penambahan kognisi dan teknik spiritual (1998, 2000). Pendekatannya juga menggunakan elemen kognisi-pengalaman dari kekuatan dan ritual. Ia menyiapkan keluarga atau pasangan untuk berkonsentrasi dan terstruktur selama 2 sampai 6 jam dalam “sesi sikap-memaafkan.” Ia sering memerintahkan suatu aksi tertentu. Contohnya, pelaku kesalahan disuruh untuk berlutut atau pasangannya dianjurkan untuk membangunkannya dengan aksi simbolik, seperti mengukir cincin perkawinan mereka, untuk menguatkan komitmen mereka atas sikap saling memaafkan. Dalam proses ini, DiBlasio menggunakan peraturan yang aktif dan direktif sebagai therapi. Yang memandang sikap-memaafkan sebagai kesengajaan lainnya juga mengumumkan pendekatan perspektif sikap-memaafkan yang didalamnya ada komponen psikis-edukatif dan pelatihan aktif (Enright dan Fitzgibbons, 2000; Enright, Freedman dan Rique, 1998; Ferch, 1998).

Nilai-nilai dasar dan kedudukan ideologis
Kekuatan nilai-nilai agama mungkin mendasari pemilihan posisi dalam beberapa kasus. DiBlasio (2000) mengatakan bahwa modelnya kebetulan pada kliennya yang menganggap diri mereka religius dan yang sangat ingin mencapai maaf yang kekal. Pertimbangan bahwa kliennya yang religius sering mempertahankan nilai-nilai yang memandang esensi moral memaafkan orang lain, mereka mungkin sekali mengapresiasi pendekatan yang menganjurkan pilihan kedepan, dan melanjutkan usaha kearah emosional sikap-memaafkan setelah aksi atas keinginan telah dapat dipastikan. Seperti yang belum lama ini dikabarkan, DiBlasio sering menyinggung penelitian kasus pasangan atau keluarga umat Kristen, ia mengusulkan metode spiritual atas pengaturan pikiran negatif, dan ia menyinggung pertalian antara seorang korban dengan Tuhan. Crohn, Markham, Blumberg dan Lavine (2000), penulis klinis dari tradisi Yahudi, memberikan contoh dari sudut pandang religius lain yang konsisten dengan posisi pemilihan. Mereka menganjurkan pengejaran aktif atas sikap-memaafkan dan berpendapat bahwa ini langkah pilihan pertama yang harus dilakukan. Selanjutnya penting untuk diperhatikan, seperti beberapa penulis perhitungkan, bahwa model berdasar pilihan mungkin tidak bisa digeneralisasi untuk seluruh komunitas agama. Contohnya, klien yang kurang nyaman dengan ritual pengakuan dosa (confession) dan rekonsiliasi dikarenakan agama mereka atau kepercayaan personalnya akan tidak menyukai model pertolongan DiBlasio.
Ada kepercayaan umum antara mengambil pandangan untuk memilih sikap-memaafkan dan menyerahkannya secara utuh. Pengkonsepsian sikap-memaafkan sebagai mekanisme penting penyembuhan berhubungan dengan dasar pilihan, direktif dan pendekatan sikap-memaafkan yang disengaja, mungkin membangun keyakinan penulis mengenai kesehatan mental dan manfaat hubungan sikap-memaafkan dan atau keyakinan utama agama mereka.

Sikap-memaafkan sebagai sebuah penemuan: kedudukan alternatif (moderat)
Berbagai penulis mengajukan kedudukan “berorientasi penemuan” dalam sikap-memaafkan yang kontras dengan pandangan yang berdasar pilihan (Engel, 1989; Hill, 2001; Patton, 2001 serta Simon & Simon 1990). Mereka berpendapat untuk mewujudkan sikap-memaafkan tak perlu dikejar dengan aktif oleh seseorang yang teraniaya. Contohnya, Hill (2001) biasanya menggunakan istilah “sikap-memaafkan sebagai penemuan” dan ia menekankan bahwa sikap-memaafkan bukanlah tindakan yang spesifik. Ia berpendapat bahwa, dalam pengalaman klinisnya, klien sering memaksakan sikap-memaafkan yang dalam usahanya tidak berhasil. Dengan cara yang sama, Patton (1990), seorang pastur konselor, menulis bahwa orang berjuang dengan sikap-memaafkan nampak ingin bisa menemukannya saat mereka dalam perjalanan hidupnya untuk berhadapan dengan beberapa isu lainnya ketimbang sikap-memaafkan. Simon & Simon (1990) juga menjelaskan sikap-memaafkan sebagai penemuan, sebuah produk proses penyembuhan yang terus-menerus. Gagal untuk memaafkan bukan berarti gagal dalam berkeinginan: “sikap-memaafkan bukan tindakan suka-rela tapi sesuatu yang mungkin atau tidak secara spontan yang terjadi sebagai bagian dari proses penyembuhan” (p. 143).

Therapi praktis
Dalam posisi penemuan, pengaruh dari teori psycodynamic dan pemfokusan pada pengalaman emosional adalah jelas. Contohnya, Hill (2000) mendiskusikan seberapa dini penggabungan pengaruh pengalaman dan selanjutnya kedinamisan hubungan. Emosi yang korektif dan pengalaman dalam berhubungan menciptakan didalam therapinya sebagai komponen inti dari pendekatan Patton (2000) dan Hill untuk sikap-memaafkan. Konsisten dengan teori psychodynamic, prioritas diberikan pada emosional “yang dilalui dalam perjalanan”; yaitu, pengulangan atas pengalaman lalu mentransformasi perasaan seperti pengkhianatan, kehilangan, malu, bersalah, rendah hati dan pertentangan. Akhirnya, penulis itu memberikan kesan bahwa, seperti aspek lainnya dalam penyembuhan emosional, proses dari sikap-memaafkan dalam sebuah hubungan tidak akan selesai dalam waktu singkat.
Pendekatan dari pegangan therapis dari sudut pandang penemuan cenderung kurang direktif dan terstruktur, perefleksian tekanan dalam proses pengarahan klien. Sikap-memaafkan tidak memperlihatkan atau dipahami sebagai tujuan utama dan harapan dalam therapy, namun lingkungan therapy dibuat untuk memastikan apa yang mungkin terjadi dari sikap-memaafkan. Patton (2000) berpendapat melawan desakan bahwa orang memaafkan atau menganjurkan sikap-memaafkan. Lebih dari itu, konselor harus merespon klien dengan pilihan untuk “bersama mereka dalam kesusahan untuk menjadi dirinya sendiri” (p. 295). Ia menulis, “tugas dari komunitas keagamaan dan kewajibannya bukan untuk mengawasi tindakan dalam sikap-memaafkan namun menyediakan pergaulan kemanusiaan yang sesungguhnya, termasuk kemungkinan atas memaafkan seorang pelaku, bisa ditemukan” (p. 295). Demikian juga, Hill (2001) tidak secara aktif mempromosikan sikap-memaafkan namun yakin bahwa “pernikahan dan therapy keluarga yang menekankan pengertian empati dalam system pergaulan dimana sikap-memaafkan bisa muncul dan penyembuhan bisa segera dimulai” (p. 387).

Nilai-nilai dasar dan kedudukan ideologis
Pendekatan dari Patton (2000) dan Hill (2001) dipengaruhi oleh keyakinan Kristen. Bagaimanapun, keyakinan Kristen itu telah mengajarkan mereka pada sikap alami dari sikap-memaafkan dan mengarahkan untuk memaafkan yang cukup berbeda dari penulis Kristen yang mengambil suatu pilihan. Patton mengakui bahwa keyakinannya dan interpretasinya atas Injil tentang sikap-memaafkan bertentangan dan mungkin diakui oleh mayoritas. Ia memandang bahwa sikap-memaafkan bukan yang utama untuk dilakukan dalam mengembangkan kesehatan atau untuk menjamin keselamatan seseorang, dari pada refleksi atas kualitas hidupnya saat ia hidup dalam hubungannya dengan Tuhan dan persaudaraan manusia. Perspektif ini mengarahkan pada kurangnya perhatian mengenai klien untuk memaafkan dalam cahaya amanah ketuhanan. Perbedaan pendapat tentang sikap-memaafkan dalam komunitas Kristen perlu kita dicatat dan ingat bahwa asumsi tidak bisa dibuat dalam homogenitas atas keyakinan dan praktek dalam kelompok tertentu.

Kedudukan perantara
Penulis lainnya lebih sulit untuk ditempatkan dalam istilah penempatan mereka mengenai pilihan yang kontras melawan konsepsi penemuan dari sikap-memaafkan. Kebanyakan mungkin dengan eksplisit dalam sudut pandangnya, namun memberikan komentar yang menganjurkan kedudukan perantara, menekankan antara aspek kognisi dan emosional, dan bahkan dimensi spiritual dari sikap-memaafkan. Contohnya, Worthington (1998), yang menerapkan sikap-memaafkan dalam therapy keluarga, yakin bahwa tingkah-laku dan kognisi mendampingi apa yang menjadi kesulitan utama emosi. Persperktifnya yakni sikap-memaafkan utamanya di inisiasikan oleh empati pada pelaku, lebih-lebih oleh kerendahan hati dan mengeratkannya dengan komitmen publik atas sikap-memaafkan. Itu merupakan aspek dasar dari model “ampati-rendah hati-komitmen”-nya. Dalam kajian kami, perspektif ini lebih condong ke penemuan akhir dari dimensi kesengajaan. Worthington menempatkan antara persoalan therapis tentang sikap-memaafkan dan “komitmen atas sikap-memaafkan” untuk klien di tahap akhir dalam proses therapi. Pendekatannya menekankan emosi lebih dari kognisi. Contoh kedua dari kedudukan perantara ialah pendekatan therapi pasangan yang diambil dari Gordon dan Baucom (1998) serta Gordon, Baucom dan Snyder (2000) yang dipengaruhi oleh teori kognisi-tingkah laku dan orientasi-keinsyafan. Penulis dari golongan ini memandang pengkhianat sebagai “trauma dalam hubungan.” Mereka membuat tindakan dari sikap-memaafkan yang fokus pada intervensi sebagai tahap akhirnya, menjelaskan pada klien apa yang mereka miliki sedemikian jauh dikerjakan layaknya pasangan yang intinya adalah sebuah proses atas sikap-memaafkan. Penulis-penulis  itu kini banyak mempublikasikan catatan bahwa tiga tahap proses penyembuhan ulang atas pengkianatan tidaklah singkat: sekitar 26 sesi selama periode 6 bulan. Tindakan memaafkan tidak ditekankan sebanyak pengurangan emosi dan pengertian oleh kedua pasangan dalam konteks pengkhianatan.

Kebajikan: apakah sikap-memaafkan termasuk belas-kasihan dan untuk siapa?
Kajian kami tentang literatur therapi mengungkapkan tiga dimensi dengan kedudukan khusus serta perhatian untuk keuntungan siapa tindakan memaafkan itu. Pertanyaan apakah memaafkan yang ada dibalik penghentian emosi negatif dari dendam, amarah dan keinginan untuk balas dendam kedalam emosi positif pada pelaku seperti belas-kasihan, ampunan, empati dan bahkan mungkin cinta. dengan kata lain, apakah sikap-memaafkan termasuk kebajikan?

Sikap-memaafkan termasuk kebajikan: kedudukan dominan
Penulis-penulis yang memasukan komponen kebajikan dari sikap-memaafkan dalam konsepsinya memperlihatkan suara terkuat dalam terminologi dikisaran penerbitan tulisan, meskipun mereka mungkin bukan penulis mayoritas. Definisi dari sikap-memaafkan dikembangkan oleh Enright dan The Human Development Study Group (1991) berpendapat bahwa, jika korban hanya mengurangi emosi negatifnya, mungkin yang tertinggal adalah ketidak-berpihakan. Mereka menulis, “therapis menekankan sikap-memaafkan dalam rasanya yang paling kaya harus membuat ruang untuk tumbuhnya cinta” (p. 493). Beberapa penulis lainnya juga memperlihatkan dengan kuat kebajikan sebagai bagian dari sikap-memaafkan.
Hargrave (1994) memiliki perspektif yang unik yang memasukan aspek kebajikan kedalam model yang rumit dari hubungan keluarga. Hargrave mengkonsepsikan sikap-memaafkan dalam sebuah cara yang termasuk rekonsiliasi. Pikiran positif, sikap dan tingkah-laku pada bagian antara pelaku dan korbannya diperlukan untuk menumbuhkan kembali keyakinan diri. Model hubungan Hargrave atas sikap-memaafkan memasukan kategori yang disebut “pengurangan beban.” Kategori ini memasukan “pangkalan” dari “wawasan” dan “pemahaman” yang memperluas bagian usaha korban untuk menaikan beban hukuman pada yang tersakiti. Korbannya mengakhiri ini dengan belajar mengenai pengalaman ketidak-adilan yang lampau oleh pelaku, juga tentang lingkungan dimana kesalahan tindakan bisa berkembang. Dia akan mulai menghormati kedudukan pelaku kesalahan, situasinya, usahanya dan batasan-batasannya. Kategori kedua Hargrave disebut “sikap-memaafkan” dan ini termasuk dalam pengembalian keyakinan diri. Ada dua pos: (a) “pemberian kesempatan untuk penggantian atas kesalahan” dan (b) “tindakan terus-terang atas sikap-memaafkan.” Saat pos yang berbeda disebut dalam keluarga yang berbeda situasi, pencapaian rekonsiliasi merupakan kecondongan pada hasil akhir yang baik. Kami mencatat bahwa penulis lain juga mengkonsepsikan sikap-memaafkan seperti termasuk rekonsiliasi, menyarankan bahwa itu juga aspek kebajikan sesungguhnya dari sikap-memaafkan.
Ketika kecenderungan pembuangan pengaruh negatif dan memperluas pikiran positif, beberapa pertanyaan muncul: untuk siapa sikap-memaafkan itu?  Dari penulis yang lebih menyukai dasar kebajikan, banyak mengungkapakan bahwa sikap-memaafkan untuk pengkhianat juga untuk yang dikhianati, Enright (1998) mengungkapkan bahwa sikap-memaafkan tidak hanya membawa penyembuhan dan kesehatan bagi si pemberi maaf: ini juga merupakan hadiah bagi pelaku kesalahan. Worthington (1996) juga menunjukan sikap-memaafkan sebagai penawaran sikap mementingkan orang lain pada orang yang bersalah. Berdasarkan kajian klinis mereka, Enright dan The human Development Study Group menulis, “paradoks dari sikap-memaafkan sepertinya akan menjadi: seperti pemfokusan kami pada diri dan memberikan hadiah atas masukan pada pelaku kesalahan lainnya, kami sendiri sering disembuhkan oleh efek dari perasaan terluka itu” (p. 111).
Kedudukan kebajikan direfleksikan dalam praktek oleh tekanan kuat dalam pemberian empati, kerendahan hati, dan belas kasih kepada yang disakiti sebagai komponen pokok dalam menggapai sikap-memaafkan. Dalam model proses sikap-memaafkan Enright dan Fitzgibbons (2000), therapis dengan sangat jelas memperlihatkan sisi kebajikan dari sikap-memaafkan, juga fokus pada keuntungan yang mungkin ada untuk klien. Dalam fase “perjalanan” model ini, therapis membantu klien untuk membangun, untuk menunjukkan empati dan kerendahan hati dan untuk memberi suntikan moral atas sikap-memaafkan kepada yang disakiti. Dengan cara yang sama, model “empati-kerendahan hati-belas kasihan” Worthington (1998) untuk therapi keluarga menjaga penglihatan atas diri dan orang lain sebagai kekeliruan dan menjadikannya bisa diambil dari perspektif orang lain. Dalam tulisan sekarang-sekarang ini, proses therapi ini sekarang disebut model “piramid.” Salah satu langkahnya disebut “sumbangan mementingkan orang lain” pada akhir tugas yang diberikan kepada klien jika mereka ingin menawarkan hadiah sikap-memaafkan. Pendekatan Worthington sama seperti Freedman (2000). Ia memfokuskan pada menolong klien untuk mengeluarkan pandangannya kepada pelaku kesalahan, perubahan yang sering mengarah pada perkembangan rasa empati dan kerendahan hati. Tujuannya, sama seperti therapis lain yang kita catat, ialah untuk membantu klien melihat pelaku bukan sebagai satu-satunya orang yang menyakiti mereka malainkan seseorang dengan masa lampau dan masa depannya yang harus dipertimbangkan dalam konteks personalnya, keterbatasannya dan segala kemungkinannya.
                               
               Sikap memaafkan                                                                                              sikap-memaafkan
             Termasuk kebajikan                                                                                    tidak menuntut kebajikan


Terapi praktis


·         Menekankan pada empati, kerebdahan hati dan belas-kasih pada penganiaya sebagai komponen pencapaian sikap-memaafkan
·         Banyak model therapi yang saling berhubungan, mendekati beberapa model individual

·         Beberapa menekankan pada empati, kerendahan hati dan belas-kasihan
·         Mengnjurkan klien untuk memaafkan sebagai demi penyembuhan mereka sendiri
·         Kerangka berfikir beberapa therapi individual
Kedudukan nilai dan ideologis


·         Pengaruh perspektif Kristen dan akar agama lainnya atas sikap-memaafkan
·         Tanggung jawab pada kelompok, keharmonisan dan rekonsiliasi


·         Nilai: pengampunan, kerendahan hati, nilai-nilai manusia yan hakiki

·         Tidak banyak informasi yang tersedia
·         Pengaruh dari beberapa perspektif feminis dan keadilan sosial




·         Nilai: keadilan, perbaikan diri, individualisme dan kekuasaan
Narasumber


Benson (1992)
Enright dan rekannya (1991, 1992, 1996, 1998, 2000)
Freedman (2000)
Gassin dan Enright (1995)
Hargrave (1994)
McCullough, Sanndage dan Worthington (1995)
McCullough dan Worthington (1994)
Pingleton (1989)
Rosenak dan Harnden (1992)
Worthington (1998a, 1998b)
DiBlasio (1998, 200)
Hill (2001)

Bass and Davis (1994)
Bloomfield dan Felder (1983)
Engel (1989)
Gordon dan Baucom (1998)
Gordon, Baucom dan Snuder (2000)
Herman (1992)
Jenkins et al. (2002)
Simon dan Simon (1990)
Gambar 3. Pebagian berdasar praktek, nilai dan narasumber dalam dimensi kebajikan


Nilai-nilai dasar dan kedudukan ideologis
Sudut pandang kebajikan menempatkan nilai yang nyata dari kemanusiaan, pengampunan dan kekerabatan. Ini bisa dilihat dari ungkapan Freedman: “ketika seseorang memaafkan, ia memahami bahwa pelaku kesalahan adalah manusia yang kompleks yang berhak atas cinta, rasa hormat dan kerendahan hati, tanpa memperhatikan tindakannya” (2000, p. 89). Ia menekankan nilai-nilai intrinsik atas semua manusia. Enright (1998) berpendapat bahwa ide pencapaian pengampunan kepada pelaku konsisten dengan ajaran dari agama Yahudi, Kristen, Islam dan Konfusianisme. Dalam literatur kami mengkaji harapan yang korban ingin usahakan untuk menumbuhkan cinta kepada pelaku kesalahan dalam komunitas yang lebih luas telah disuarakan oleh konselor kristen.
Therapis-therapis itu mengambil pendekatan hubungan yang cenderung berorientasi pada pemulihan atau penguatan hubungan pasangan atau keluarga, juga mungkin untuk membenarkan ide bahwa sikap-memaafkan bermanfaat untuk korban dan pelakunya. Perspektif mereka serupa dengan nilai yang dikarakterisktikkan oleh kedudukan kebajikan: kemungkinan kepada komunitas, perdamaian, pengampunan kepada pelaku dan membuka pintu hubungan.

Sikap-memaafkan tidak menghendaki kebajikan: kedudukan alternatif
Sejumlah penulis therapi mengkonsepsi sikap-memaafkan dengan melibatkan hal lain dari harapan rekonsiliasi atau juga beberapa pikiran positif lain, tingkah laku dan sikap kepada pelaku. Contohnya Simon dan Simon (1990) menggambarkan sikap-memaafkan hanya sebagai “keinginan yang tidak bertahan lama untuk menghukum orang yang menyakiti kita” (p. 19), dan “membiarkan emosi yang kuat mengikat kejadian dari masa lalu” (p. 19). Sama seperti Frech (1998) dan Engel (1989) membatasi sikap-memaafkan hanya sebagai penyerahan pada dendam, rasa bersalah, amarah dan keinginan untuk membalas dendam. Beberapa therapi keluarga diantaranya membenarkan kedudukan alternatif ini. Contohnya, Gordon (2000), dalam perjalanan mereka bersama pasangannya yang pernah mengalami trauma ketidak-percayaan, mengkonsepsikan sikap-memaafkan dalam tiga tahap, yakni: (a) realistis, tanpa penyimpangan, keseimbangan pandangan atas suatu hubungan, (b) keluar dari kontrol pikiran negatif dengan berpartisipasi bersama partner, dan (c) mereduksi keinginan untuk memberikan hukuman pada pelaku (Gordon dan Baucom, 1998. P. 426). Pendekatan mereka tidak menuntut orientasi yang positif pada partner sebagai ukuran keberhasilan tindakan sikap-memaafkan. Mereka menulis, “kami percaya bahwa, dalam beberapa kasus, perasaan itu sangat tidak mungkin. Sesungguhnya kemampuan untuk mengalami kerendahan hati dan keramahan kepada penganiaya mungkin idealnya bisa menjadi hasil terbaik, selanjutnya kami tak yakin kalau ini masih dibutuhkan.”
Beberapa penulis yang tidak memasukan pencapaian dari perasaan positif dalam konsepsinya mengambil lebih pada posisi fokus ke korban. Mereka berpendapat bahwa sikap-memaafkan ialah bukan salah satu dari yang utama atau hanya memberikan keuntungan bagi penganiaya. contohnya, Simon dan Simon (1990) mangatakan bahwa sikap-memaafkan ialah “bukanlah merupakan anugerah bagi mereka (yang memberi maaf)” (p.5). Herman (1992) percaya bahwa kerendahan hati bukanlah untuk diri sendiri, bukan untuk yang tersakiti. Ia mengatakan, “dia (korban) sembuh tergantung pada pemulihan rasa cinta dalam kehidupannya sendiri; ini tidak mengharuskan cintanya ditawarkan kepada penganiaya” (p. 190). Begitu juga Davis dan Bass (1994) menyarankan wanita korban penganiayaan seksual, “menumbuhkan sikap-memaafkan dan kerendahan hati kepada yang menganiaya anda atau anggota keluarga yang tidak menjaga anda, bukanlah bagian yang diharuskan dalam proses penyembuhan anda” (p. 160).

Therapi praktis
Penulis therapis lainnya yang menegaskan sikap-memaafkan hanya sebagai perubahan emosi negatif menulis dengan fokus yang khusus. Untuk sebagian, fokusnya kurang pada memaafkan dan lebih pada proses penyembuhan yang memperbesar rasa duka cita atas kehilangan, mendapatkan kembali kekuatan dan kenyamanan, serta mengusahakan penguatan diri kembali. Penulis lain yang mengarahkan langsung kliennya dalam proses penyembuhan menganjurkan sikap-memaafkan dari tujuan penyembuhan bagi korban. Contoh yang bagus ada pada buku Simon dan Simon (1990) yang secara langsung mengatakan  kepada pembaca pada bagian pertamanya, “sikap-memaafkan adalah sesuatu yang anda lakukan untuk anda sendiri” (p. 20) strategi perintah seperti surat pribadi dan penulisan jadwal serta visualisasi saling meminta maaf dan saling memaafkan antara korban dan penganiaya mendemonstrasikan pendekatan yang terpusat pada korban. Berbeda dengan therapi yang menginstruksi, Jenkins, Hall dan Joy (2002) mengambil pendekatan yang mengundang. Seorang yang teraniaya dianjurkan untuk mengembangkan ide sebelumnya tentang sikap-memaafkan dan menganalisa bagaimana ide itu terpancar dari pokok konteks politis yang mungkin tertindas saat diterapkan pada keadaan khusus. Penulis-penulis itu berbicara tentang “penghapusan” dan rekonsiliasi dengan cara menekankan kesadaran-diri dan kebebasan untuk memilih yang bertentangan dengan hasil dari sikap-memaafkan. Penghapusan ini dijabarkan sebagai menjadi satu dari tiga komponen potensi atas sikap-memaafkan, bukan kebutuhan dalam pencapaian.

Nilai-nilai dasar dan kedudukan ideologis
Kelompok penulis yang terfokus pada korban kebanyakan termasuk seorang penulis feminis yang bekerja dengan wanita korban penganiayaan. Penilaian mereka atas kekuasaan, hukuman dan pembalasan direfleksikan dalam tulisannya. Perlu dicatat bahwa beberapa dari penulis itu mempertahankan pandangan antusiasme paling sedikit atas sikap-memaafkan dan dimensi dari pokok diskusi terdahulu. Mereka mengusulkan, jika sikap-memaafkan untuk mendapatkan keperluan penyembuhan, ini harus disampaikan pada korban yang selamat yang telah dilukai oleh ketidak-adilan, dan mereka bertindak kurang positif pada ide yang memaksudkan keuntungan untuk penganiaya dalam ketidak-adilan ini. Jenkins (2002) juga menyandarkan pendekatannya pada nilai-nilai hukum sosial yang kandas dalam pekerjaanya bersama korban penganiayaan dan, secara terpisah, dengan penganiaya. Fokus utamanya ialah dengan mendekonstruksi konteks politis dan membagi kemungkinan pada penyalahgunaan dan pengkhianatan dengan cara menebus kerusakan yang telah diakibatkan.
Kami mengobservasi penulis yang menghindari keuntungan bagi penganiaya cenderung untuk bekerja dengan klien individual ketimbang dengan pasangan atau keluarga. Yang menarik disini adalah penelitian terkini pada 381 praktisi kesehatan mental oleh Konstam (2000). Peneliti itu menemukan bahwa kebanyakan konselor memandang sikap-memaafkan sebagai hadiah utama untuk diri sendiri, berbeda dengan yang menjadikannya sebagai hadiah kepada penganiaya sama seperti pada dirinya sendiri. Apa yang penting untuk dipertimbangkan sebagai hasilnya, bagaimanapun, ini merupakan deskripsi dari contoh saran yang kebanyakan dari pekerjaan klinis itu dengan individual. Dalam individual konseling dengan kehadiran penganiaya, dan tujuannya bukanlah perbaikan hubungan, memandang sikap-memaafkan sebagi hadiah utama untuk diri pribadi sangatlah bisa dimengerti. Nilai-nilai kekuasaan, perantaraan personal dan individualisme mungkin makin menjauhkan therapi itu dari pada nilai-nilai kebersamaan, keharmonisan interpersonal dan penggabungan kembali. Pertentangan antara pendekatan individual dan therapi hubungan penting untuk dipertimbangkan, dan hasil dari penelitian itu tidak harus digeneralisasikan pada semua cara untuk melakukannya.

Kedudukan perantara
Beberapa penulis therapi kurang empati dalam pandangannya terhadap kebajikan. banyak yang tidak memasukkan pencapaian sikap positif dan emosi kepada penganiaya dalam konsepsinya juga tidak sejauh catatan therapis diatas dalam pembicaraan spesifik pengertiannya tantang sikap-memaafkan untuk sebuah keuntungan. penulis lainnya yang tidak spesifik, mengkonsepsi sikap-memaafkan termasuk dalam kebajikan menyinggung ide empati dan kerendahan hati dalam memfasilitasi sikap-memaafkan. Berdasarkan analisis kami, kami membuat tiga kesimpulan. Pertama, kelihatannya ini memunculkan jarak yang luas dari kedudukan perantara yang diciptakan oleh perbedaan yang tidak diketahui dalam tingkatan penegasan yang diletakkan pada pengalaman pikiran positif untuk penganiaya. Kedua, mungkin tidak ada keterangan serupa antara therapis praktis dan konsepsinya. Ketiga, perbedaan antara penerapan therapi antara posisi yang bukan diakhir dimensi kebajikan mungkin lebih tidak dapat dipercaya dalam bagaimana konsep dari sikap-memaafkan diperlihatkan kepada klien dalam tindakan therapi dari pada apakah empati dipromosikan atau tidak.

Penutup
Dalam waktu yang relatif sangkat, dalam 15 tahun ini, banyak publikasi oleh berbagai penulis telah berkontribusi secara nyata pada pamahaman kami tentang sikap-memaafkan dan tharapi. Pekerjaan yang baik ini telah dimasukan dalam penjelasan konsepsi dan mengembangkan penerapan therapi untuk sebuah konsep yang sebelumnya diabaikan dalam study klinis dan literatur penelitian. Salah satu penguatan terbaik dari bagian literatur ini ialah bertumbuhnya perbedaan tentang hal ini. Penulis dari disiplin ilmu, perspektif dan kedudukan ideologis yang berbeda-beda menyediakan kematangan sudut pandang tentang sikap-memaafkan dan memperluas perbedaan metode dalam therapi untuk pemanfaatan study klinis. Sikap-memaafkan sebagai topik tidak hanya menarik perhatian dari dunia akademis dan profesional: soal ini juga meraih popularitas para penulis therapis dan literatur.
Analisis literatur  therapi kami tentang sikap-memaafkan mengungkapkan beragam nilai, asumsi dan kedudukan ideologis yang berpengaruh. Dikatakan bahwa, kerelatifan sejumlah kecil penulis therapi mengangkat banyak porsi dari literatur, dan penulis-penulis itu mewakili hanya sedikit sudut pandang pilihan. Kedudukan dominan direfleksikan oleh penulis-penulis itu bahwa sikap-memaafkan merupakan pokok dari proses penyembuhan yang telah dengan aktif dikejar dalam therapi layaknya klien yang membuat pilihan yang sadar untuk membiarkan rasa dendamnya menghilang, dan berharap mencapai sikap rendah hati untuk seseorang yang telah mengkhianatinya. Petunjuk berdasarkan tahapan dan teknik psychoeducational ditujukan pada penciptaan untuk membiasakan perubahan kognisi dan sikap merupakan sebuah anugerah. Keunggulannya biasanya bergantung pada nilai-nilai pengampunan, keharmonisan interpersonal dan rekonsiliasi.
Ada ketegangan antara “perbincangan” kedudukan dominan dan alternatif yang berhubungan lebih erat dengan nilai-nilai keadilan, perantaraan personal, pertanggung jawaban kekuasaan. Penulis mengatakan dari kedudukan alternatif yang menyoroti potensi kekurangan dari sikap-memaafkan, kemungkinan bahwa ini merupakan proses panjang yang berorientasi penemuan, dan kebutuhan untuk mengambilnya kedalam catatan konteks hubungan dimana pengkhianatan terjadi. Yang juga penting adalah ide kerendahan hati untuk pelaku kesalahan mungkin tidak dibutuhkan untuk penyembuhan tidak juga sebagai keinginan akhir, khususnya dalam kasus dimana korban beresiko kembali dianiaya dan dimana pelaku kesalahan tidak bertanggung jawab atas apa yang ia perbuat. Kedudukan yang lebih netral, yang berganti antara kedudukan yang dominan dan yang alternatif, sering memberikan konsepsi yang lebih kompleks dan pendekatan yang dilakukan sedikit lebih fleksibel.
Perlu dicatat bahwa banyak promosi pendekatan sikap-memaafkan masih mematuhi beberapa batasan. Pertama, mereka tidak bertumpu pada penelitian empiris. Sekarang ini hanya ada sedikit publikasi study empiris hasil tindakan dari keikut-sertaan sikap-memaafkan. Study kekinian yang dilakukan Olson, Russel, Higgins-Kessler dan Miller (2002) menginvestigasi proses emosi individual penyingkapan, selanjutnya diluar urusan perkawinan, menemukan dukungan untuk hadirnya model konseling sikap-memaafkan. Study ini berdasarkan data kualitatif, sebagai pengecualian dari dominannya penelitian kuantitatif. Kedua, masih banyak model fokus sikap-memaafkan yang hanya pada sikap korban memaafkan penganiayanya. Mereka gagal untuk memasukan aspek dinamis dari reaksi penganiaya atau interaksi terus-menerus dari sebuah hubungan dimana sikap-memaafkan bisa terjadi. Karya Gordon (2000) mengenai pengkhianatan pasangan, juga oleh Jenkins (2002) mengenai pertanggung jawaban penganiaya merupakan pengecualian yang perlu dicatat. Penelitian baru yang melewati tingkatan individual dari analisis dibutuhkan untuk memperkaya bagian kecil dari literatur tentang sikap-memaafkan ini. Ketiga, dan lebih penting lagi, ialah bahwa tidak ada bukti klinis proses sikap-memaafkan ini sendiri, dari pada hanya aspek manfaat umum dari therapi, yang mempersembahkan hasil positif untuk klien. Akhirnya kami sadar setelah kami menseleksi dan menganalisa teks yang, The Templeton Foundation, sebagai organisasi yang aktif mempromosikan sikap-memaafkan, telah membiayai banyak study penelitian yang kami kaji dan penelitian yang ditujukan untuk merefleksikan perbincangan umum dibidangnya. Saat itu juga, proses seleksi kami seperti contoh teks yang kami analisis juga termasuk kedalam kelompok yang kurang antusias tentang sikap-memaafkan dan juga mungkin kurang mengembangkan spesifikasi, intervensi sikap-memaafkan yang disengaja berdasar pada nilai-nilai agama Kristen. Harapan kami adalah hasil dari analisis kami bisa menstimulasi penelitian selanjutnya untuk melengkapi pengalaman dan efek dari sikap-memaafkan dan sikap tidak memaafkan. Seperti memperbaiki transparansi pada bagian penelitian dan study klinis mengenai nilai asumsi yang mendasari metode, model dan praktek investigasi mereka.
Beberapa penulis yang karyanya kami kaji mengundang konsensus yang lebih besar dan tujuannya mengenai pendefinisian sikap-memaafkan dan praktek terbaik dari poin pandangan therapis. Keinginan atas konsepsi universal dari sikap-memaafkan yang mudah dipahami memberikan kompleksitas pada prosesnya, juga memberikan potensi merugikan melalui konsepsi dan aplikasi sikap-memaafkan yang, contohnya, memastikan kelanjutan penindasan. Study baru-baru ini oleh Butler (2002) menemukan bahwa dasar pemikiran diberikan untuk hipotasis sikap pura-pura memaafkan klien membuka intervensi therapi yang berhubungan dengan sikap-memaafkan. Peneliti juga mengusulkan bahwa kekurangan model artikulasi yang bagus dan ambiguitas antar definisi mungkin mengarah pada kebingungan dan skeptimisme mengenai tujuan dan proses sikap-memaafkan dalam therapi dari bagian dunia klinis. Kebingungan therapis mungkin menimbulkan ketidak-percayaan kepada kliennya dalam sikap-memaafkan saat hal ini menjadi sangat membantu untuk dijadikan topik, atau untuk duka cita kliennya saat isu yang mereka sodorkan dalam therapi tidak mendapat cukup tanggapan.
Analisis kritis kami atas literatur sikap-memaafkan mengangkat penambahan dan menghadapi fokus yang penting. Pencarian atas definisi tunggal dan pendekatan universal mengenai area muatan nilai dari karya klinis beresiko disamping kesadaran, sensitifitas dan menghormati perbedaan kedudukan sikap-memaafkan yang bergantung pada pengalaman personal, perbedaan keyakinan agama, adat-istiadat, pengalaman gender dan dimensi lainnya dari tempat sosial (Rotter, 2001). Untuk praktek secara kompeten, therapis diharapkan menjadi sensitif dan lebih bisa mempelajar mengenai perbedaan klien seperti efek dari marjinalisasi hubungan untuk diskriminasi pada unsur dasar kebiasaan, keyakinan agama, ras, gender, usia, identitas sosial, dll. Dunia klinis perlu untuk menginformasikan pada bagaimana untuk menyatukan ilmu ini kedalam therapi sehingga ketidak-adilan, penganiayaan dan penindasan dihitung dalam konteks permintaan maaf dan memaafkan. Berdasarkan analisis kami, pandangan yang kini menguasai literatur ialah orang-orang yang tidak melihat isu ini lebih luas dari ketimpangan dan perbedaan kultur. mereka juga menempatkan sedikit penekanan pada pilihan klien. Konsepsi kedepan harus merefleksikan  bukan hanya perhatian pada perbedaan namun juga lebih bisa bekerja sama dengan menghormati faktor kontekstual dan kekuatan hubungan. Kekuatan hubungan antara korban dan penganiaya, seperti dalam sistem penting lainnya, perlu dimengerti oleh therapis dan kliennya. Baru kemudian therapis bisa membantu klien untuk membuat pilihan sikap-memaafkan yang merefleksikan nilai personal mereka. Baru sedikit penulis yang mulai mengisi bagian yang hilang dari literatur ini. Curahan hati yang cukup memadai dari bagaimana kekuatan dan konteks berhubungan dengan sikap-memaafkan juga akan membutuhkan untuk memasukan analisis kekuatan hubungan antara therapis dan klien, dan dari kekuatan hubungan yang berpadu antar masing-masing pendekatan kembali dikaji dalam artikel ini. Hal ini juga mungkin termasuk diskusi atas implikasi keterpaduan nilai pada masing-masing pendekatan untuk sebuah karya klinis dan pelatihan. Tugas ini diluar lingkup analisis umum kami dan direncanakan untuk tulisan kami selanjutnya.
Apa yang telah kami paparkan disini ialah rangkaian tiga dimensi yang muncul melalui analisis yang luas dan kaku atas literatur sikap-memaafkan. Dimensi itu melingkupi konseptualisasi, praktek dan asumsi nilai yang berhubungan. Ilmu klinis bisa menempatkan dirinya selama tiga dimensi itu memandang dirinya pada ide dan nilai yang berhubungan dengan sikap-memaafkan. Mereka juga bisa menggunakan tiga dimensi itu sebagai petunjuk untuk menempatkan perspektif kliennya: (a) apakah klien percaya bahwa sikap-memaafkan merupakan komponen inti untuk penyembuhan atau tidak, (b) apakah ia mengharapkan secara aktif pengejaran sebuah pilihan untuk memaafkan lebih awal dalam therapi atau lebih mengembangkan perasaan terkhianati sebagai bagian dari perjalanan panjang penemuan diri, dan akhirnya, (c) apakah nilai-nilai klien dan keadaan fit dengan kesatuan manfaat untuk orang lain dan rekonsiliasi dalam proses sikap-memaafkan atau tidak. Therapis bisa memunculkan kesadarannya dari asumsi personal yang mereka pertahankan yang mungkin mengarahkan mereka pada penekanan klien yang tidak disengaja untuk meniru ide dan keyakinan atau untuk mengambil tindakan yang bukan bagian therapi. Pertanyaan etis berikut untuk menyoroti therapis sebagai aspek khusus dari proses refleksif: bagaimana saya bisa mengupayakan pendekatan therapis untuk sikap-memaafkan yang tergambar dalam pengetahuan klinis dan skill saya dan, pada saat yang sama, mempertaahankan kesadaran bukan hanya pada kedudukan personal saya pada topik ini namun juga bertanggung jawab pada keyakinan, nilai,  keadaan unik dan hak atas kebebasan untuk memilih klien saya?