Martir pertama dalam
tasawuf
(Al-Hallaj)
Husain ibn Mansur al-Hallaj barangkali adalah syekh
sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal. Ia terkenal karena berkata:
"Akulah Kebenaran", ucapan mana yang membuatnya dieksekusi secara
brutal. Bagi para ulama ortodok, kematian ini dijustifikasi dengan alasan
bid'ah, sebab Islam eksoteris tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa
bersatu dengan Allah dan karena Kebenaran (Al-Haqq) adalah salah satu nama
Allah, maka ini berarti bahwa al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri. Kaum
sufi sejaman dengan al-Hallaj juga terkejut oleh pernyataannya, karena mereka
yakin bahwa seorang sufi semestinya tidak boleh mengungkapkan segenap
pengalaman batiniahnya kepada orang lain. Mereka berpandangan bahwa al-Hallaj
tidak mampu menyembunyikan berbagai misteri atau rahasia Ilahi, dan eksekusi
atas dirinya adalah akibat dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan
segenap kerahasiaan tersebut
Meskipun al-Hallaj tidak punya banyak pendukung
di kalangan kaum sufi sezamannya, hampir semua syekh sufi sesungguhnya memuji
dirinya dan berbagai pelajaran yang diajarkannya. Aththar, dalam karyanya
Tadzkirah al-Awliya, menyuguhkan kepada kita banyak legenda seputar al-Hallaj.
Dalam komentarnya, ia menyatakan, "Saya heran bahwa kita bisa menerima
semak belukar terbakar (yakni, mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa
as) yang menyatakan Aku adalah Allah, serta meyakini bahwa kata-kata itu adalah
kata-kata Allah, tapi kita tidak bisa menerima ucapan al-Hallaj, 'Akulah
Kebenaran', padahal itu kata-kata Allah sendiri!". Di dalam syair epiknya,
Matsnawi, Rumi mengatakan, "Kata-kata 'Akulah Kebenaran' adalah pancaran
cahaya di bibir Manshur, sementara Akulah Tuhan yang berasal dari Fir'aun
adalah kezaliman."
Al-Hallaj di lahirkan di kota Thur yang bercorak
Arab di kawasan Baidhah, Iran tenggara, pada 866M. Berbeda dengan keyakinan
umum, ia bukan orang Arab, melainkan keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang
penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam.
Ketika al-Hallaj masih kanak-kanak, ayahnya,
seorang penggaru kapas (penggaru adalah seorang yang bekerja menyisir dan
memisahkan kapas dari bijinya). Bepergian bolak-balik antara Baidhah, Wasith,
sebuah kota dekat Ahwaz dan Tustar. Dipandang sebagai pusat tekstil pada masa
itu, kota-kota ini terletak di tapal batas bagian barat Iran, dekat dengan
pusat-pusat penting seperti Bagdad, Bashrah, dan Kufah. Pada masa itu,
orang-orang Arab menguasai kawasan ini, dan kepindahan keluarganya berarti
mencabut, sampai batas tertentu, akar budaya al-Hallaj.
Di usia sangat muda, ia mulai mempelajari tata
bahasa Arab, membaca Al-Qur'an dan tafsir serta teologi. Ketika berusia 16
tahun, ia merampungkan studinya, tapi merasakan kebutuhan untuk
menginternalisasikan apa yang telah dipelajarinya. Seorang pamannya bercerita
kepadanya tentang Sahl at-Tustari, seorang sufi berani dan independen yang
menurut hemat pamannya, menyebarkan ruh hakiki Islam. Sahl adalah seorang sufi
yang mempunyai kedudukan spiritual tinggi dan terkenal karena tafsir
Al-Qur'annya. Ia mengamalkan secara ketat tradisi Nabi dan praktek-praktek
kezuhudan keras semisal puasa dan shalat sunat sekitar empat ratus rakaat
sehari. Al-Hallaj pindah ke Tustar untuk berkhidmat dan mengabdi kepada sufi
ini.
Dua tahun kemudian, al-Hallaj tiba-tiba
meninggalkan Sahl dan pindah ke Bashrah. Tidak jelas mengapa ia berbuat
demikian. Sama sekali tidak dijumpai ada laporan ihwal corak pendidikan khusus
yang diperolehnya dari Sahl. Tampaknya ia tidak dipandang sebagai murid
istimewa. Al-Hallaj juga tidak menerima pendidikan khusus darinya. Namun, ini
tidak berarti bahwa Sahl tidak punya pengaruh pada dirinya. Memperhatikan
sekilas praktek kezuhudan keras yang dilakukan al-Hallaj mengingatkan kita pada
Sahl. Ketika al-Hallaj memasuki Bashrah pada 884M, ia sudah berada dalam
tingkat kezuhudan yang sangat tinggi. Di Bashrah, ia berjumpa dengan Amr
al-Makki yang secara formal mentahbiskannya dalam tasawuf. Amr adalah murid
Junaid, seorang sufi paling berpengaruh saat itu.
Al-Hallaj bergaul dengn Amr selama delapan belas
bulan. Akhirnya ia meninggalkan Amr juga. Tampaknya seorang sahabat Amr yang
bernama al-Aqta yang juga murid Junaid mengetahui kemampuan dan kapasitas
spiritual dalam diri al-Hallaj dan menyarankan agar ia menikah dengan saudara
perempuannya, (Massignon menunjukkan bahwa pernikahan ini mungkin punya alasan
politis lantaran hubungan al-Aqta) Betapapun juga Amr tidak diminta
pendapatnya, sebagaiman lazimnya terjadi. Hal ini menimbulkan kebencian dan
permusuhan serta bukan hanya memutuskan hubungan persahabatan antara Amr dan
Al-Aqta, melainkan juga membahayakan hubungan guru-murid antara Amr dan
al-Hallaj. Al-Hallaj yang merasa memerlukan bantuan dan petunjuk untuk
mengatasi situasi ini, berangkat menuju Baghdad dan tinggal beberapa lama
bersama Junaid, yang menasehatinya untuk bersabar. Bagi Al-Hallaj, ini berarti
menjauhi Amr dan menjalani hidup tenang bersama keluarganya dan ia kembali ke
kota kelahirannya. Diperkirakan bahwa ia memulai belajar pada Junaid, terutama
lewat surat-menyurat, dan terus mengamalkan kezuhudan.
Enam tahun berlalu, dan pada 892M, al-Hallaj
memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kaum Muslimin diwajibkan
menunaikan ibadah ini sekurang-kurangnya sekali selama hidup (bagi mereka yang
mampu). Namun ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj tidaklah biasa, melainkan
berlangsung selama setahun penuh, dan setiap hari dihabiskannya dengan puasa
dari siang hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj melakukan praktek kezuhudan
keras seperti ini adalah menyucikan hatinya menundukkannya kepada Kehendak
Ilahi sedemikian rupa agar dirinya benar-benar sepenuhnya diliputi oleh Allah.
Ia pulang dari menunaikan ibadah haji dengan membawa pikiran-pikiran baru
tentang berbagai topik seperti inspirasi Ilahi, dan ia membahas pikiran-pikiran
ini dengan para sufi lainnya. Diantaranya adalah Amr al-Makki dan mungkin juga
Junaid.
Sangat boleh jadi bahwa Amr segera menentang
al-Hallaj. Aththar menunjukkan bahwa al-Hallaj datang kepada Junaid untuk kedua
kalinya dengan beberapa pertanyaan ihwal apakah kaum sufi harus atau tidak
harus mengambil tindakan untuk memperbaiki masyarakat (al-Hallaj berpandangan
harus, sedangkan Junaid berpandangan bahwa kaum sufi tidak usah memperhatikan
kehidupan sementara di dunia ini). Junaid tidak mau menjawab, yang membuat
al-Hallaj marah dan kemudian pergi. Sebaliknya, Junaid meramalkan nasib
Al-Hallaj.
Ketika al-Hallaj kembali ke Bashrah, ia memulai
mengajar, memberi kuliah, dan menarik sejumlah besar murid. Namun
pikiran-pikirannya bertentangan dengan ayah mertuanya. Walhasil, hubungan
merekapun memburuk, dan ayah mertuanya sama sekali tidak mau mengakuinya. Ia
pun kembali ke Tustar, bersama dengan istri dan adik iparnya, yang masih setia
kepadanya. Di Tustar ia terus mengajar dan meraih keberhasilan gemilang. Akan
tetapi, Amr al-Makki yang tidak bisa melupakan konflik mereka, mengirimkan
surat kepada orang-orang terkemuka di Ahwaz dengan menuduh dan
menjelek-jelekkan nama al-Hallaj, situasinya makin memburuk sehingga al-Hallaj
memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi.
Sebaliknya ia malah terjun dalam kancah hingar-bingar dan hiruk-pikuk duniawi.
Al-Hallaj meninggalkan jubah sufi selama
beberapa tahun, tapi tetap terus mencari Tuhan. Pada 899M, ia berangkat
mengadakan pengembaraan apostolik pertamanya ke batasan timur laut negeri itu,
kemudian menuju selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902M. Dalam
perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-guru spiritual dari berbagai macam
tradisi di antaranya, Zoroastrianisme dan Manicheanisme. Ia juga mengenal dan
akrab dengan berbagai terminologi yang mereka gunakan, yang kemudian
digunakannya dalam karya-karyanya belakangan. Ketika ia tiba kembali di Tustar,
ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia berceramah tentang berbagai
rahasia alam semesta dan tentang apa yang terbersit dalam hati jamaahnya.
Akibatnya ia dijuluki Hallaj al-Asrar (kata Asrar bisa
bermakna rahasia atau kalbu. Jadi al-Hallaj adalah sang penggaru segenap
rahasia atau Kalbu, karena Hallaj berarti seorang penggaru) ia menarik sejumlah
besar pengikut, namun kata-katanya yang tidak lazim didengar itu membuat
sejumlah ulama tertentu takut, dan ia pun dituduh sebagai dukun.
Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah haji
kedua. Kali ini ia menunaikan ibadah haji sebagai seorang guru disertai empat
ratus pengikutnya. Banyak legenda dituturkan dalam perjalanan ini berkenaan
dengan diri al-Hallaj berikut berbagai macam karamahnya. Semuanya ini makin
membuat al-Hallaj terkenal sebagai mempunyai perjanjian dengan jin. Sesudah
melakukan perjalanan ini, ia memutuskan meninggalkan Tustar untuk selamanya dan
bermukim di Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi terkenal, ia bersahabat
dengan dua diantaranya mereka, Nuri dan Syibli.
Pada 906M, ia memutuskan untuk mengemban tugas
mengislamkan orang-orang Turki dan orang-orang kafir. Ia berlayar menuju India
selatan, pergi keperbatasan utara wilayah Islam, dan kemudian kembali ke
Bagdad. Perjalanan ini berlangsung selama enam tahun dan semakin membuatnya
terkenal di setiap tempat yang dikunjunginya. Jumlah pengikutnya makin
bertambah.
Tahun 913M adalah titik balik bagi karya
spiritualnya. Pada 912M ia pergi menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya
dan terakhir kali, yang berlangsung selama dua tahun, dan berakhir dengan
diraihnya kesadaran tentang Kebenaran. Di akhir 913M inilah ia merasa bahwa
hijab-hijab ilusi telah terangkat dan tersingkap, yang menyebabkan dirinya
bertatap muka dengan sang Kebenaran (Al-Haqq). Di saat inilah ia mengucapkan,
"Akulah Kebenaran" (Ana Al-Haqq) dalam keadaan ekstase. Perjumpaan
ini membangkitkan dalam dirinya keinginan dan hasrat untuk menyaksikan cinta
Allah pada menusia dengan menjadi "hewan kurban". Ia rela dihukum
bukan hanya demi dosa-dosa yang dilakukan setiap muslim, melainkan juga demi
dosa-dosa segenap manusia. Ia menjadi seorang Jesus Muslim, sungguh ia
menginginkan tiang gantungan.
Di jalan-jalan kota Baghdad, dipasar, dan di
masjid-masjid, seruan aneh pun terdengar: "Wahai kaum muslimin, bantulah
aku! Selamatkan aku dari Allah! Wahai manusia, Allah telah menghalalkanmu untuk
menumpahkan darahku, bunuhlah aku, kalian semua bakal memperoleh pahala, dan
aku akan datang dengan suka rela. Aku ingin si terkutuk ini (menunjuk pada
dirinya sendiri) dibunuh." Kemudian, al-Hallaj berpaling pada Allah seraya
berseru, "Ampunilah mereka, tapi hukumlah aku atas dosa-dosa mereka."
Yang mengherankan, kata-kata ini mengilhami
orang-orang untuk menuntut adanya perbaikan dalam kehidupan dan masyarakat
mereka. Lingkungan sosial dan politik waktu itu menimbulkan banyak
ketidakpuasan di kalangan masyarakat dan kelas penguasa. Orang banyak menuntut
agar khalifah menegakkan kewajiban yang diembankan Allah dan Islam atas
dirinya. Sementara itu, yang lain menuntut adanya pembaruan dan perubahan dalam
masyarakat sendiri.
Tak pelak lagi, al-Hallaj pun punya banyak
sahabat dan musuh di dalam maupun di luar istana khalifah. Para pemimpin
oposisi, yang kebanyakan adalah murid al-Hallaj, memandangnya sebagai Imam
Mahdi atau juru selamat dan, dengan harapan meraih kekuasaan, berusaha
memanfaatkan pengaruhnya pada masyarakat untuk menimbulkan gejolak dan
keresahan. Para pendukungnya di kalangan pemerintahan melindunginya sedemikian
rupa sehingga ia bisa membantu mengadakan pembaruan sosial. Di atas segalanya,
berbagai gejolak pun muncul dan sudah pasti berakhir secara dramatis.
Pada akhirnya, keberpihakan al-Hallaj berikut
pandangan-pandangannya tentang agama, menyebabkan dirinya berada dalam posisi
berseberangan dengan kelas penguasa. Pada 918M, ia diawasi, dan pada 923M ia
ditangkap.
Sang penasehat khalifah termasuk di antara
sahabat al-Hallaj dan untuk sementara berhasil mencegah upaya untuk
membunuhnya. Al-Hallaj dipenjara hampir selama sembilan tahun. Selama itu ia
terjebak dalam baku sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya. Serangkaian
pemberontakan dan kudeta pun meletus di Bagdad. Ia dan sahabat-sahabatnya
disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa ini menimbulkan
pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah. Akhirnya, wazir
khalifah, musuh bebuyutan al-Hallaj berada di atas angin, sebagai unjuk
kekuasaan atas musuh-musuhnya ia menjatuhkan hukuman mati atas al-Hallaj dan
memerintahkan agar ia dieksekusi.
Tak lama kemudian, al-Hallaj disiksa di hadapan
orang banyak dan dihukum di atas tiang gantungan dengan kaki dan tangannya
terpotong. Kepalanya dipenggal sehari kemudian dan sang wazir sendiri hadir
dalam peristiwa itu. Sesudah kepalanya terpenggal, tubuhnya disiram minyak dan
dibakar. Debunya kemudian dibawa ke menara di tepi sungai Tigris dan diterpa
angin serta hanyut di sungai itu.
Demikian, al-Hallaj dibunuh secara brutal. Akan
tetapi ia tetap hidup dalam kalbu orang-orang yang merindukan capaian
rohaninya. Dengan caranya sendiri, ia telah menunjukkan pada para pencari
kebenaran langkah-langkah yang mesti ditempuh sang pecinta agar sampai pada
kekasih
Bagaimana mulanya Husain ibn manshur di sebut
al-Hallaj sebuah nama yang berarti penggaru (khususnya kapas)? Menurut Aththar,
suatu hari Husain ibn Manshur melewati sebuah gudang kapas dan melihat seonggok
buah kapas. Ketika jarinya menunjuk pada onggokan buah kapas itu. Biji-bijinya
pun terpisah dari serat kapas. Ia juga dijuluki Hallaj- al-asrar --penggaru
segenap Kalbu-- karena ia mampu membaca pikiran orang dan menjawab berbagai
pertanyaan mereka sebelum ditanyakan kepadanya.
Al-Hallaj terkenal
karena berbagai keajaibanya. Salah satu orang muridnya menuturkan kisah berikut
ini:
Sewaktu menunaikan ibadah haji kedua kalinya,
al-Hallaj pergi ke sebuah gunung untuk mengasingkan diri bersama beberapa orang
pengikutnya. Sesudah makan malam, al-Hallaj mengatakan bahwa ia ingin makan
manisan.
Murid-muridnya kebingungan lantaran mereka telah
memakan habis semua bekal yang mereka bawa. Al-Hallaj tersenyum dan berjalan
menembus kegelapan malam. Beberapa menit kemudian, ia kembali sambil membawa
makanan berupa kue-kue hangat yang belum pernah mereka ketahui sebelumya. Ia
meminta mereka untuk makan bersamanya, seorang muridnya, yang penasaran dan
ingin tahu dari mana al-Hallaj memperolehnya, menyembunyikan kue bagiannya,
ketika mereka kembali dari mengasingkan diri sang murid ini mencari seseorang
yang bisa mengetahui asal kue itu, seseorang dari Zabid, sebuah kota yang jauh
dari situ, mengetahui bahwa kue itu berasal dari kotanya, sang murid yang
keheranan ini pun sadar bahwa al-Hallaj memperoleh kue itu secara ajaib.
"Tak ada seorang pun dan hanya jin saja yang sanggup menempuh jarak
sedemikian jauh dalam waktu singkat"! serunya.
Pada kesempatan lain
al-Hallaj mengarungi padang pasir bersama sekelompok orang dalam perjalanan
menuju Mekah. Di suatu tempat, sahabat-sahabatnya menginginkan buah ara, dia ia
pun mengabil senampan penuh buah ara dari udara. Kemudian mereka meminta halwa,
ia membawa senampan penuh halwa hangat dan berlapis gula serta memberikannya
kepada mereka, usai memakannya mereka mengatakan bahwa kue itu khas berasal
dari daerah anu di Bagdad, mereka bertanya ihwal bagaimana ia memperolehnya. Ia
hanya menjawab, baginya Baghdad dan padang pasir sama dan tidak ada bedanya,
kemudian mereka meminta kurma, ia diam sejenak berdiri dan menyuruh mereka
untuk menggerakkan tubuh mereka seperti mereka menggoyang-goyang pohon kurma,
mereka melakukannya, dan kurma-kurma segar pun berjatuhan dari lengan baju
mereka.
Al-Hallaj terkenal bukan hanya karena
keajaibannya, melainkan juga karena kezuhudannya. Pada usia lima puluh tahun ia
mengatakan bahwa ia memilih untuk tidak mengikuti agama tertentu, melainkan
mengambil dan mengamalkan praktek apa saja yang paling sulit bagi nafs
(ego)-nya dari setiap agama. Ia tidak pernah meninggalkan shalat wajib, dengan
shalat wajib ini ia melakukan wudhu jasmani secara sempurna.
Ketika ia mulai menempuh
jalan ini, ia hanya mempunyai sehelai jubah tua dan dan bertambal yang telah
dikenakannya selama bertahun-tahun. Suatu hari, jubah itu diambil secara paksa,
dan diketahui bahwa ada banyak kutu dan serangga bersarang didalamnya --yang
salah satunya berbobot setengah ons. Pada kesempatan lain, ketika ia memasuki
sebuah desa, orang-orang melihat kalajengking besar yang mengikutinya. Mereka
ingin membunuh kalajengking itu, ia menghentikan mereka seraya mengatakan bahwa
kalajengking itu telah bersahabat dengannya selama dua belas tahun, tampaknya
ia sudah sangat lupa pada nyeri dan sakit jasmani.
Kezuhudan al-Hallaj adalah sarana yang
ditempanya untuk mencapai Allah, yang dengan-Nya ia menjalin hubungan sangat
khusus sifatnya, suatu hari, pada waktu musim ibadah haji di Mekah, ia melihat
orang-orang bersujud dan berdoa, "Wahai Engkau. Pembimbing mereka yang
tersesat, Engkau jauh di atas segenap pujian mereka yang memuji-Mu dan sifat
yang mereka lukiskan kepada-Mu. Engkau tahu bahwa aku tak sanggup bersyukur
dengan sebaik-baiknya atas kemurahan-Mu. Lakukan ini di tempatku, sebab yang
demikian itulah satu-satunya bentuk syukur yang benar."
Kisah penangkapan dan eksekusi atas dirinya
sangat menyentuh dan mengharu-biru kalbu. Suatu hari, ia berkata kepada
sahabatnya, Syibli, bahwa ia sibuk dengan tugas amat penting yang bakal
mengantarkan dirinya pada kematiannya. Sewaktu ia sudah terkenal dan berbagai
keajaibannya dibicarakan banyak orang. Ia menarik sejumlah besar pengikut dan
juga melahirkan musuh yang sama banyaknya, akhirnya, khalifah sendiri
mengetahui bahwa ia mengucapkan kata-kata bid'ah, "Akulah Kebenaran."
Musuh al-Hallaj menjebaknya untuk mengucapkan, Dia-lah Kebenaran ia hanya menjawab,
"Ya, segala sesuatu adalah Dia! Kalian bilang bahwa Husain (al-Hallaj)
telah hilang, memang benar. Namun Samudra yang meliputi segala sesuatu tidaklah
demikian."
Beberapa tahun sebelumnya, ketika al-Hallaj
belajar dibawah bimbingan Junaid, ia diperintahkan untuk bersikap sabar dan
tenang. Beberapa tahun kemudian, ia datang kembali menemui Junaid dengan
sejumlah pertanyaan. Junaid hanya menjawab bahwa tak lama lagi ia bakal
melumuri tiang gantungan dengan darahnya sendiri, Tampaknya, ramalan ini benar
adanya. Junaid ditanya ihwal apakah kata-kata al-Hallaj bisa ditafsirkan dengan
cara yang bakal bisa menyelamatkan hidupnya. Junaid menjawab, "Bunuhlah
ia, sebab saat ini bukan lagi waktunya menafsirkan." al-Hallaj di
jebloskan ke penjara. Pada malam pertama sewaktu ia dipenjara, para sipir
penjara mencari-carinya. Mereka heran. Ternyata selnya kosong. Pada malam
kedua, bukan hanya al-Hallaj yang hilang, penjara itu sendiri pun hilang!
Pada malam ketiga, segala sesuatunya kembali
normal. Para sipir penjara itu bertanya, di mana engkau pada malam pertama? ia
menjawab, "pada malam pertama aku ada di hadirat Allah. Karena itu aku
tidak ada di sini. Pada malam kedua, Allah ada di sini, karenanya aku dan
penjara ini tidak ada. Pada malam ketiga aku di suruh kembali!"
Beberapa hari sebelum dieksekusi, ia berjumpa
dengan sekitar tiga ratus narapidana yang ditahan bersamanya dan semuanya
dibelenggu. ia berkata bahwa ia akan membebaskan mereka semua, mereka heran
karena ia berbicara hanya tentang kebebasan mereka dan bukan kebebasannya
sendiri ia berkata kepada mereka: "Kita semua dalam belenggu Allah di
sini. Jika kita mau, kita bisa membuka semua belenggu ini," kemudian ia
menunjuk belenggu-belenggu itu dengan jarinya dan semuanya pun terbuka. Para
narapidana pun heran bagaimana mereka bisa melarikan diri, karena semua pintu
terkunci. Ia menunjukkan jarinya ke tembok, dan terbukalah tembok itu.
"Engkau tidak ikut bersama kami?" tanya mereka "Tidak, ada
sebuah rahasia yang hanya bisa diungkapkan di tiang gantungan!" jawabnya
Esoknya, para sipir penjara bertanya kepadanya
tentang yang terjadi pada narapidana lainnya. Ia menjawab bahwa ia telah
membebaskan mereka semua.
"Mengapa engkau tidak sekalian pergi?"
tanya mereka "Dia mencela dan menyalahkanku. Karenanya aku harus tetap tinggal
di sini untuk menerima hukuman," jawabnya
Sang khalifah yang mendengar percakapan ini,
berpikir bahwa al-Hallaj bakal menimbulkan kesulitan, karena itu, ia
memerintahkan, "Bunuhlah atau cambuklah sampai ia menarik kembali
ucapannya!" Al-Hallaj dicambuk tiga ratus kali dengan rotan, setiap kali
pukulan mengenai tubuhnya terdengar suara gaib berseru, "Jangan takut,
putra Manshur."
Mengenang hari itu, seorang sufi syekh Shaffar,
mengatakan aku lebih percaya pada akidah sang algojo ketimbang akidah al-Hallaj.
Sang algojo pastilah mempunyai akidah yang kuat dalam menjalankan Hukum Ilahi
sebab suara itu bisa didengar demikian jelas, tetapi tangannya tetap mantap.
Al-Hallaj digiring untuk
di eksekusi. Ratusan orang berkumpul. Ketika ia melihat kerumunan orang, ia
berseru lantang, "Haqq, Haqq, ana al-Haqq --Kebenaran, kebenaran, Akulah
kebenaran."
Pada waktu itu, seorang darwis memohon al-Hallaj
untuk mengajarinya tentang cinta. Al-Hallaj mengatakan bahwa sang darwis akan
melihat dan mengetahui hakikat cinta pada hari itu, hari esok, dan hari
sesudahnya.
Al-Hallaj dibunuh pada hari itu. Pada hari kedua
tubuhnya dibakar, dan pada hari ketiga abunya ditebarkan dengan angin, Melalui
kematiannya, al-Hallaj menunjukkan bahwa cinta berarti menanggung derita dan
kesengsaraan demi orang lain.
Ketika menuju ke tempat eksekusi, ia berjalan
dengan sedemikian bangga. "Mengapa engkau berjalan sedemikian
bangga?" tanya orang-orang. "Aku bangga lantaran aku tengah berjalan
menuju ketempat pejagalanku," jawabnya kemudian ia melantunkan syair
demikian:
Kekasihku tak bersalah
Diberi aku anggur dan
amat memperhatikanku,
laksana tuan rumah
perhatikan sang tamu
Setelah berlalu sekian
lama,
dia menghunus pedang dan
menggelar tikar
pembantaian
Inilah balasan buat
mereka yang minum anggur lama
bersama dengan singa
tua di musim panas.
Ketika dibawa ke tiang gantungan, dengan suka
rela ia menaiki tangga sendiri. Seseorang bertanya tentang hal (keadaan
spiritual atau emosi batin)-nya. Ia menjawab bahwa perjalanan spiritual para
pahlawan justru dimulai di puncak tiang gantungan, ia berdoa dan berjalan
menuju puncak itu.
Sahabatnya, Syibli, hadir di situ dan bertanya,
"Apa itu tasawuf?" al-Hallaj menjawab bahwa apa yang disaksikan
Syibli saat itu adalah tingkatan tasawuf paling rendah. "Adakah yang lebih
tinggi dari ini?" tanya Syibli "Kurasa, engkau tidak akan
mengetahuinya!", jawab al-Hallaj.
Ketika al-Hallaj sudah berada di tiang
gantungan, setan datang kepadanya dan bertanya, "Engkau bilang aku dan aku
juga bilang aku. Mengapa gerangan engkau menerima rahmat abadi dari Allah dan
aku, kutukan abadi?"
Al-Hallaj menjawab, "Engkau bilang aku dan
melihat dirimu sendiri, sementara aku menjauhkan diri dari keakuan-ku. Aku
beroleh rahmat dan engkau, kutukan. Memikirkan diri sendiri tidaklah benar dan
memisahkan diri dari kedirian adalah amalan paling baik."
Kerumunan orang mulai melempari al-Hallaj dengan
batu. Namun, ketika Syibli melemparkan bunga kepadanya untuk pertama kalinya,
al-Hallaj merasa kesakitan. Seseorang bertanya, "Engkau tidak merasa
kesakitan dilempari batu, tapi lembaran sekuntum bunga justru membuatmu
kesakitan mengapa?
Al-Hallaj menjawab "Orang-orang yang jahil
dan bodoh bisa dimaafkan. Sulit rasanya melihat Syibli melempar lantaran ia
tahu bahwa seharusnya ia tidak melakukannya."
Sang algojo pun memotong kedua tangannya.
Al-Hallaj tertawa dan berkata, "Memang mudah memotong tangan seorang yang
terbelenggu. Akan tetapi, diperlukan seorang pahlawan untuk memotong tangan
segenap sifat yang memisahkan seseorang dari Allah." (dengan kata lain,
meninggalkan alam kemajemukan dan bersatu dengan Allah membutuhkan usah keras
dan luar biasa). Sang Algojo lantas memotong kedua kakinya. Al-Hallaj tersenyum
dan berkata, "Aku berjalan di muka bumi dengan dua kaki ini, aku masih
punya dua kaki lainnya untuk berjalan di kedua alam. Potonglah kalau kau memang
bisa melakukannya!"
Al-Hallaj kemudian mengusapkan kedua lenganya
yang buntung kewajahnya sehingga wajah dan lengannya berdarah. "Mengapa
engkau mengusap wajahmu dengan darah?" tanya orang-orang. Ia menjawab
bahwa karena ia sudah kehilangan darah sedemikian banyak dan wajahnya menjadi
pucat maka ia mengusap pipinya dengan darah agar orang jangan menyangka bahwa
ia takut mati.
"Mengapa," tanya mereka, "Engkau
membasahi lenganmu dengan darah?" Ia menjawab, "Aku sedang berwudu.
Sebab, dalam salat cinta. Hanya ada dua rakaat, dan wudhunya dilakukan dengan
darah."
Sang algojo kemudian mencungkil mata al-Hallaj.
Orang-orang pun ribut dan berteriak. Sebagian menangis dan sebagian lainnya
melontarkan sumpah serapah, lalu, telinga dan hidungnya dipotong. Sang algojo
hendak memotong lidahnya. Al-Hallaj memohon waktu sebentar untuk mengatakan
sesuatu, "Ya Allah, janganlah engkau usir orang-orang ini dari haribaan-Mu
lantaran apa yang mereka lakukan karena Engkau. Segala puji bagi Allah, mereka
memotong tanganku karena Engkau semata. Dan kalau mereka memenggal kepalaku,
itu pun mereka melakukan karena keagungan-Mu." Kemudian ia mengutip sebuah
ayat Al-Qur'an:
"Orang-orang yang mengingkari Hari kiamat bersegera
ingin mengetahuinya, tetapi orang-orang beriman berhati-hati karena mereka tahu
bahwa itu adalah benar."
Kata-kata terakhirnya adalah: Bagi mereka yang
ada dalam ekstase "Cukuplah sudah satu kekasih."
Tubuhnya yang terpotong, yang masih menunjukkan
tanda-tanda kehidupan, dibiarkan berada di atas tiang gantungan sebagai
pelajaran bagi yang lainnya. Esoknya, baru sang algojo memenggal kepalanya.
Ketika kepalanya dipenggal al-Hallaj tersenyum dan meninggal dunia. Orang-orang
berteriak tapi al-Hallaj menunjukkan betapa berbahagia ia bersama dengan
kehendak Allah. Setiap bagian tubuhnya berseru, "Akulah kebenaran",
sewaktu meninggal dunia setiap tetesan darahnya yang jatuh ke tanah membentuk
nama Allah.
Hari berikutnya mereka yang berkomplot
menentangnya, memutuskan bahwa bahkan tubuh al-Hallaj yang sudah
terpotong-potong pun masih menimbulkan kesulitan bagi mereka. Karena itu,
mereka pun memerintahkan agar tubuhnya di bakar saja. Malahan, abu jenazahnya
berseru, "Akulah Kebenaran."
Al-Hallaj telah meramalkan kematiannya sendiri
dan memberitahu pembantunya bahwa ketika abu jenazahnya dibuang ke sungai
Tigris permukaan sungai akan naik sehingga seluruh Baghdad pun terancam
tenggelam. Ia memerintahkan pembantunya menaruh jubahnya ke sungai untuk
meredakan ancaman banjir, pada hari ketiga ketika abu jenazahnya diterbangkan
oleh angin ke sungai. Permukaan air pun terbakar, air mulai naik, dan sang
pembantu melakukan apa yang diperintahkannya, permukaan air pun surut, api
padam, dan abu jenazah al-Hallaj pun diam.
Waktu itu, seorang tokoh terkemuka mengatakan
bahwa ia melakukan salat sepanjang malam di bawah tiang gantungan sepanjang
malam. Ketika fajar menyingsing, terdengarlah suara gaib berseru, "Kami
berikan salah satu rahasia kami dan ia tidak menjaganya. Sungguh, inilah
hukuman bagi mereka yang mengungkapkan segenap rahasia kami."
Syibli menyebutkan bahwa, suatu malam. Ia mimpi
bertemu dengan al-Hallaj dan bertanya, "Bagaimana Allah menghakimi
orang-orang ini?" Al-Hallaj menjawab bahwa mereka yang tahu bahwasanya ia
benar dan juga mendukungnya berbuat demikian karena Allah semata. Sementara
itu, mereka yang ingin melihat dirinya mati tidaklah mengetahui hakikat
kebenaran, oleh sebab itu, mereka menginginkan kematiannya, kematiannya karena
Allah semata. Allah merahmati kedua kelompok ini. Keduanya beroleh berkah
dan rahmat dari Allah.
Om Ringgit_25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar