Ajaran Syekh Siti Jenar
1) “Allah itu adalah
keadaanku, kenapa kawan-kawan pada memakai penghalang? Sesungguhnya aku inilah
haq Allah pun tiada wujud dua, nanti Allah sekarang Allah, tetap dzahir batin
Allah, kenapa kawan-kawan masih memakai pelindung?” (Babad Tanah Sunda,
Sulaeman Sulendraningrat, 1982, bagian XLIII).
Ucapan spiritual Syekh Siti Jenar
tersebut diucapkan pada saat para wali menghendaki diskusi yang membahas
masalah Micara Ilmu tanpa Tedeng Aling-aling. Diskusi para wali diadakan
setelah Dewan Walisanga mendengar bahwa Syekh Siti Jenar mulai mengajarkan ilmu
ma’rifat dan hakikat. Sementara dalam tugas resmi yang diberikan oleh Dewan
Walisanga hanya diberi kewenangan mengajarkan syahadat dan tauhid. Sementara
menurut Syekh Siti Jenar justru inti paling mendasar tentang tauhid adalah
manunggal, di mana seluruh ciptaan pasti akan kembali menyatu dengan yang
menciptakan.
Pada saat itu, Sunan Gunung Jati
mengemukakan, “Adapun Allah itu adalah yang berwujud haq”; Sunan Giri
berpendapat, “Allah itu adalah jauhnya tanpa batas, dekatnya tanpa rabaan.”;
Sunan Bonang berkata, “Allah itu tidak berwarna, tidak berupa, tidak berarah,
tidak bertempat, tidak berbahasa, tidak bersuara, wajib adanya, mustahil tidak
adanya.”; Sunan Kalijaga menyatakan, “Allah itu adalah seumpama memainkan
wayang.”; Syekh Maghribi berkata, “Allah itu meliputi segala sesuatu.”; Syekh
Majagung menyatakan, “Allah itu bukan disana atau disitu, tetapi ini.”; Syekh
Bentong menyuarakan, “Allah itu itu bukan disana sini, ya inilah.”; Setelah ungkapan
Syekh Bentong inilah, tiba giliran Syekh Siti Jenar dan mengungkapkan konsep
dasar teologinya di atas. Hanya saja ungkapan Syekh Siti Jenar tersebut
ditanggapi dengan keras oleh Sunan Kudus, yang salah menangkap makna ungkapan
mistik tersebut, “Jangan suka terlanjur bahasa menurut pendapat hamba adapun
Allah itu tidak bersekutu dengan sesama.”
Mulai persidangan itulah hubungan Syekh
Siti Jenar dengan para wali memanas, sebab Syekh Siti Jenar tetap teguh pada
pendirian tauhid sejatinya. Sementara para Dewan Wali mengikuti madzhab resmi
yang digariskan oleh kerajaan Demak, Sunni-Syafi’i. Sampai masa persidangan
penentuannya, Syekh Siti Jenar tetap menyuarakan dengan lantang teologi
manunggalnya bahwa, “Utawi Allah iku nyataning sun kang sampurna kang tetep ing
dalem dhohir batin,” (bahwa Allah itu nyatanya aku yang sempurna yang tetap di
dalam dzahir dan batin) . Riwayat yang agak sama juga tercantum dalam Babad
Cerbon, terbitan Brandes (1911) pada Pupuh 23, Kinanti bait 1-8.
2) “Jika ada seorang manusia yang percaya kepada
kesatuan lain selain dari Tuhan yang Mahakuasa, ia akan kecewa karena ia tidak
akan memperoleh apa yang ia inginkan.” (S. Soebardi, The Book of ebolek, hlm.
103).
Menurut beberapa sumber, di antaranya Soebardi (1975), beberapa
saat setelah Syekh Siti Jenar wafat, para wali mendengar suara yang berasal
dari roh Syekh Siti Jenar yang berupa ungkapan mistik tersebut. Ungkapan mistik
itu merupakan ungkapan terakhir dari sang sufi sebagai bukti bahwa sampai
sesudah wafatnya, dia memperoleh apa yang diinginkannya, dan menjadi bukti
kebenaran ajarannya, yakni kehidupan sejati dalam kesatuan; manunggaling
kawula-Gusti.
3) “… tidak usah kebanyakan teori semu,
sesungguhnya ingsun inilah Allah. Nyata Ingsun Yang Sejati, bergelar Prabu
Satmata, yang tidak ada lain kesejatiannya, yang disebut sebangsa Allah…” (R.
Tanoyo: Walisanga, hlm. 124)
Maksud bebas ungkapan tersebut adalah “tidak usah kebanyakan
bicara tentang teori ketuhanan, sesungguhnya ingsun (aku sejati) inilah Allah.
Yaitu Ingsun (Kedirian) Yang Sejati, juga bergelar Prabu Satmata (Tuhan Yang
Maha Melihat, mengetahui segala-galanya), dan tidak boleh ada yang lain yang
penyebutannya mengarah kepada Allah sebagai Tuhan”.
4) “Mungguh sajatine ananing zdat kang sanyata iku
muhung ana anteping tekat kita, tandhane ora ana apa-apa, ananging kudu dadi sabarang
sedya kita kang satuhu” [Sebenarnya, keberadaan dzat yang nyata itu hanya
berada pada mantapnya tekad kita, tandanya tidak ada apa-apa, akan tetapi harus
menjadi segala niat kita yang sungguh-sungguh]. (Serat Candhakipun Riwayat
Jati, hlm. 1).
Menurut Syekh Siti Jenar, keberadaan dzat hanya ada beserta
kemantapan hati dalam merengkuh Tuhan. Dalam diri tidak ada apa-apa kecuali
menjadikan menunggal sebagai niat dan yang mewarnai segala hal yang berhubungan
dengan asma, sifat dan af’al Pribadi. Inilah di antara maksud utama ungkapan di
atas. Jadi pemahaman atas ungkapan itu harus tetap berada dalam lingkup
kemanunggalan. Kemanunggalan tidak akan berhasil jika hanya mengandalkan
perangkat syari’at dan tarekat. Apalagi sekedar syari’at lahiriyah (nominal).
Kemanunggalan akan berhasil seiring dengan tekad hati dan keseluruhan Pribadi
dalam merengkuh Allah, sebagaimana roh Allah pada awalnya ditiupkan atas setiap
pribadi manusia.
5) “…marilah kita berbicara dengan terus terang.
Aku ini Allah. Akulah yang sebenarnya disebut Prabu Satmata, tidak ada lain
yang bernama Allah…saya menyampaikan ilmu tertinggi yang membahas ketunggalan.
Ini bukan badan, selamanya bukan, karena badan tidak ada. Yang kita bicarakan
ialah ilmu sejati dan untuk semua orang kita membuka tabir [artinya membuka
rahasia yang paling tersembunyi.]” (Serat Siti Jenar Asmarandana, hlm. 15, bait
20-22).
6)
“Tidak usah banyak tingkah, saya inilah Tuhan, Ya, betul-betul
saya ini adalah Tuhan yang sebenarnya, bergelar Prabu Satmata, ketahuilah bahwa
tidak ada bangsa Tuhan yang lain selain saya. …. Saya ini mengajarkan ilmu
untuk betul-betul dapat merasakan adanya kemanunggalan. Sedangkan bangkai itu
selamanya kan tidak ada. Adapun yang dibicarakan sekarang ini adalah ilmu yang
sejati yang dapat membuka tabir kehidupan. Dan lagi, semuanya sama. Sudah tidak
ada tanda secara samar-samar, bahwa benar-benar tidak ada perbedaan lagi. Jika
ada perbedaan yang bagaimanapun, saya akan tetap mempertahankan tegaknya ilmu
tersebut.” (Boekoe Siti Djenar, Tan Khoen Swie, hlm. 18-20).
7)
“Jika Anda menanyakan dimana rumah Tuhan, jawabnya tidaklah sulit.
Allah berada pada dzat yang tempatnya tidak jauh, yaitu bersemayam di dalam
tubuh. Tetapi hanya orang yang terpilih yang bisa melihatnya, yaitu orang yang
suci.” (Suluk Wali Sanga, R. Tanaja, hlm. 42-46).
Ungkapan no. 5, 6, dan 7. Dinyatakan dalam sidang para wali yang
dipimpin oleh Sunan Giri bertempat di Giri Kedaton. Penjelasan Syekh Siti Jenar
bahwa dirinya bukan badan menanggapi pernyataan Maulana Maghribi yang bertanya,
“Tetapi yang kau tunjukkan itu hanya badan.” Syekh Siti Jenar menyampaikan
ajaran “ingsun” yang dikemukakan secara radikal, yang mengajarkan kesamaan
tuntas antara san pembicara dengan Allah. Ini sebagai efek dari berbagai
pengalaman spiritualnya yang demikian tinggi, sehingga Manunggaling
Kawula-Gusti juga meniscayakan adanya manunggalnya kalam (pembicaraan, sabda,
firman). Adapun gelar Prabu Satmata memilki makna sama dengan Hyang Manon atau
Yang Maha Tahu. Gelar tersebut juga diberikan kepada para Walisanga kepada
Sunan Giri. Nampak bahwa Syekh Siti Jenar memiliki pendirian tegas, bahwa ilmu
spiritual harus diajarkan kepada semua orang. Karena justru dengan membuka
tabir itulah, orang akan mengetahui hakikat kehidupan dan rahasia hidupnya.
8) “Syekh Lemah Abang namaku, Rasulullah ya aku,
Muhammad ya aku, Asma Allah itu sesungguhnya diriku; ya Akulah yang menjadi
Allah ta’ala.” (Wawacan Sunan Gunung Jati terbitan Emon Suryaatmana dan T.D.
Sudjana, Pupuh 38 Sinom, bait 13).
Ungkapan mistik Syekh Siti Jenar tersebut menunjukkan, bahwa dalam
teologi manunggaling kawula-Gusti, tidak hanya terjadi proses kefanaan antara
hamba dan pencipta sebagaimana apa yang dialami oleh Bayazid al-Bustami dan
Manshur al-Hallaj. Dalam kasus pengalaman mistik Syekh Siti Jenar, antara
syahadat Rasul dan syahadat Tauhid ikut larut dalam kefanaan.
Sehingga dalam pengalaman mistik manunggal ini, terjadi
kemanunggalan diri, Rasul dan Tuhan. Suatu titik puncak pengalaman spiritual,
yang sudah dialami oleh para ulama sufi sejak abad ke-9, yakni sejak fana’nya
Bayazid al-Busthami, Junaid al-Baghdadi, “ana al-Haqq”-nya Manshur al-Hallaj,
juga ‘Aynul Quddat al-Hamadani, dan Syaikh al-Isyraq Syuhrawardi al-Maqtul, dan
akhirnya menemukan titik kulminasinya pada teologi Manunggaling Kawula-Gusti
Syekh Siti Jenar.
9)
“Sesungguhnyalah, Lapal Allah yaitu
kesaksian akan Allah, yang tanpa rupa dan tiada tampak, membingungkan orang,
karena diragukan kebenarannya. Dia tidak mengetahui akan diri pribadinya yang
sejati, sehingga ia menjadi bingung. Sesungguhnya nama Allah itu untuk menyebut
wakil-Nya, diucapkan untuk menyatakan yang dipuja dan menyatakan suatu janji.
Nama itu ditumbuhkan menjadi kalimat yang diucapkan: “Muhammad Rasulullah”.
Padahal sifat kafir berwatak jisim, yang akan membusuk, hancur lebur bercampur
tanah.” “Lain jika kita sejiwa dengan Zat Yang Maha Luhur. Ia gagah berani,
naha sakti dalam syarak, menjelajahi alam semesta. Dia itu Pangeran saya, yang
menguasai dan memerintah saya, yang bersifat wahdaniyah, artinya menyatukan
diri dengan ciptaan-Nya. Ia dapat abadi mengembara melebihi peluru atau anak
sumpitan, bukan budi bukan nyawa, bukan hidup tanpa asal dari manapun, bukan
pula kehendak tanpa tujuan.” “Dia itu yang bersatu padu menjadi wujud saya.
Tiada susah payah, kodrat dan kehendak-Nya, pergi ke mana saja tiada haus,
tiada lelah tanpa penderitaan dan tiada lapar. Kekuasan-Nya dan kemampuan-Nya
tiada kenal rintangan, sehingga pikiran keras dari keinginan luluh tiada
berdaya. Maka timbullah dari jiwa raga saya kearif-bijaksanaan tanpa saya
ketahui keluar dan masuk-Nya, tahu-tahu saya menjumpai Ia sudah ada disana”.
(Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sastrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 45-48).
Pernyataan di atas adalah tafsir sederhana dari sasahidan yang
menjadi intisari ajaran Syekh Siti Jenar, dan landasan mistik teologi
kemanunggalan. Kalimah syahadat yang hanya diucapkan dengan lisan dan hanya
dihiasi dengan perangkat kerja fisik (pelaksanaan fiqih Islam dengan tanpa
aplikasi spiritual), hakikatnya adalah kebohongan. Pelaksanaan aspek fisik
keagamaan yang tidak disertai dengan implikasi kemanunggalan roh, sebenarnya
jiwa orang itu mencuri, yakni mencuri dari perhatiannya kepada aspek Allah
dalam diri. Itulah sebenar-benarnya munafik dalam tinjauan batin, dan fasik
dalam kacamata lahir. Sebab manusia sebagai khalifah-Nya adalah cermin Ilahiyah
yang harus menampak kepada seluruh alam. Sebagai alatnya adalah kemanunggalan
wujudiyah sebagaimana terdapat dalam Sasahidan. Terdapat kesatupaduan antara
Allah, Rasul dan manusia. Masing-masing bukanlah sesuatu yang saling asing
mengasingkan.
Kesejatian Hidup
dan Kehidupan
10)“Rahasia kesadaran kesejatian kehidupan, ya
ingsun ini kesejatian hidup, engkau sejatinnya Allah, ya ingsun sejatinya
Allah; yakni wujud (yang berbentuk) itu sejatinya Allah, sir (rahsa=rahasia)
itu Rasulullah, lisan (pangucap) itu Allah, jasad Allah badan putih tanpa
darah, sir Allah, rasa Allah, rahasia kesejatian Allah, ya ingsun (aku) ini
sejatinya Allah.” (Wejangan Walisanga: hlm. 5).
Subtansi dari ungkapan spiritual tersebut adalah bahwa kesejatian
hidup, rahasia kehidupan hanya ada pada pengalaman kemanunggalan antara
kawula-Gusti. Dan dalam tataran atau ukuran orang ‘awam hal itu bisa diraih
dengan memperhatikan uraian dan wejangan Syekh Siti Jenar tentang “Shalat Tarek
Limang Waktu”.
11)“Adanya kehidupan itu karena pribadi, demikian pula keinginan
hidup itupun ditetapkan oleh diri sendiri. Tidak mengenal roh, yang
melestarikan kehidupan, tiada turut merasakan sakit ataupun lelah. Suka dukapun
musnah karena tiada diinginkan oleh hidup. Dengan demikian hidupnya kehidupan
itu, berdiri sendiri sekehendak.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya,
Pupuh III Dandanggula, 32).
Pernyataan tersebut menunjukkan adanya kebebasan manusia dalam
menentukan jalan hidup. Manusia merdeka adalah manusia yang terbebas dari
belenggu kultural maupun belenggu struktural. Dalam hidup ini, tidak boleh ada
sikap saling menguasai antar manusia, bahkan antara manusia dengan Tuhanpun
hakikatnya tidak ada yang menguasai dan yang dikuasai. Ini jika melihat
intisari ajaran manunggalnya Syekh Siti Jenar. Sebab dalam manusia ada roh
Tuhan yang menjamin adanya kekuasaan atas pribadinya dalam menjalani kehidupan
di dunia ini.
Dan allah itulah satu-satunya Wujud. Yang lain hanya sekedar
mewujud. Cahaya hanya satu, selain itu hanya memancarkan cahaya saja, atau
pantulannya saja. Subtansi pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut adalah Qs.
Al-Baqarah/2;115, “Timur dan Barat kepunyaan Allah. Maka ke mana saja kamu
menghadap di situlah Wajah Allah. ” Wujud itu dalam Pribadi, dan di dunia atau
alam kematian ini, memerlukan wadah bagi pribadi untuk mengejawantah, menguji
diri sejauh mana kemampuannya mengelola keinginan wadag, sementara Pribadinya
tetap suci.
Tuhan dan Kemanusiaan
12)“Zat wajibul maulana adalah yang menjadi pemimpin budi yang menuju
ke semua kebaikan. Citra manusia hanya ada dalam keinginan yang tunggal. Satu
keinginan saja belum tentu dapat melaksanakan dengan tepat, apa lagi dua. Nah,
cobalah untuk memisahkan zat wab/jibul maulana dengan budi, agar supaya manusia
dapat menerima keinginan yang lain”. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya,
Pupuh III Dandanggula, 44).
Manusia yang mendua adalah manusia yang tidak sampai kepada
derajat kemanunggalan. Sementara manusia yang manunggal adalah pemilik jiwa
yang iradah dan kodratnya telah pula menyatu dengan Ilahi. Sehingga akibat
terpecahnya jiwa dengan roh Ilahi, maka kehidupannya dikuasai oleh keinginan
yang lain, yang dalam al-Qur’an disebut sebagai hawa nafsu. Maka agar tidak
terjadi split personality, dan tidak mengakibatkan kerusakan dalam tatanan
kehidupan, harus ada keterpaduan antara Zat Wajibul Maulana dengan budi
manusia. Dan sang Zat Wajibul Maulana ini berada di dalam kedirian manusia,
bukan di luarnya.
13)“Hyang Widi, kalau dikatakan dalam bahasa di
dunia ini, baka bersifat abadi, tanpa antara, tiada erat dengan sakit ataupun
rasa tidak enak. Ia berada baik di sana, maupun di sini, bukan itu bukan ini.
Oleh tingkah yang banyak dilakukan dan yang tidak wajar, menuruti raga, adalah
sesuatu yang baru. Segala sesuatu yang berwujud, yang tersebar di dunia ini,
bertentangan dengan sifat seluruh yang diciptakan, sebab isi bumi itu angkasa
yang hampa.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 30).
Tuhan adalah yang maha meliputi. Keberadaannya, tidak dibatasi
oleh lingkup ruang dan waktu, keghaiban atau kematerian. Hakikat keberadaan
segala sesuatu adalah keberadaan-Nya. Oleh karenanya keberadaan segala sesuatu
di hadapan-Nya sama dengan ketidakberadaan segala sesuatu, termasuk kedirian
manusia. Maka sikap yang selalu menuruti raga disebut sebagai “sesuatu yang
baru” dalam arti tidak mengikuti iradah-Nya. Raga seharusnya tunduk kepada jiwa
yang dinaungi roh Ilahi. Sebab raga hanyalah sebagai tempat wadag bagi
keberadaan roh itu. Jangan terjebak hanya menghiasi wadahnya, namun seharusnya
yang mendapat prioritas untuk dipenuhi perhiasan dan dicukupi kebutuhannya
adalah isi dari wadah.
14)“Gagasan adanya badan halus itu mematikan
kehendak manusia. Dimanakah adanya Hyang Sukma, kecuali hanya diri pribadi.
Kelilingilah cakrawala dunia, membumbunglah ke langit yang tinggi, selamilah
dalam bumi sampai lapisan ke tujuh, tiada ditemukan wujud yang Mulia.” “Ke mana saja sunyi senyap adanya; ke utara, selatan, barat,
timur dan tengah, yang ada di sana-sana hanya di sini adanya. Yang ada di sini
bukan wujud saya. Yang ada didalamku adalah hampa yang sunyi. Isi dalam daging
tubuh adalah isi perut yang kotor. Maka bukan jantung bukan otak yang pisah
dari tubuh, laju pesat bagaikan anak panah lepas dari busur, menjelajah Mekah
dan Madinah.”
“Saya ini bukan budi, bukan angan-angan hati, bukan pikiran yang
sadar, bukan niat, bukan udara, bukan angin, bukan panas dan bukan kekosongan
atau kehampaan. Wujud saya ini jasad, yang akhirnya menjadi jenazah, busuk
bercampur tanah dan debu. Napas saya mengelilingi dunia, tanah, api, air dan
udara kembali ke tempat asalnya atau aslinya, sebab semuanya barang baru, bukan
asli.”
“Maka saya ini Zat yang sejiwa, menyukma dalam Hyang Widi.
Pangeran saya bersifat jalal dan jamal, artinya Mahamulia dan Mahaindah. Ia
tidak mau shalat atas kehendak sendiri, tidak pula mau memerintahkan untuk
shalat kepada siapapun. Adapun orang shalat, itu budi yang menyuruh, budi yang
laknat dan mencelakakan, tidak dapat dipercaya dan diturut, karena perintahnya
berubah-ubah. Perkataannya tidak dapat dipegang, tidak jujur, jika diturut
tidak jadi dan selalu mengajak mencuri.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki
Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 33-36).
Menurut Syekh Siti Jenar, Allah bukanlah sesuatu yang asing bagi
diri manusia. Allah juga bukan yang ghaib dari manusia. Walaupun Ia penyandang
asma al-Ghayb, namun itu hanya dari sudut materi atau raga manusia. Secara
rohiyah, Allah adalah ke-Diri-an manusia itu. Dalam diri manusia terdapat roh
al-idhafi yang membimbing manusia untuk mengenal dan menghampirinya. Sebagai
sarananya, dalam otak kecil manusia, Allah menaruh God-spot (titik Tuhan)
sebagai filter bagi kerja otak, agar tidak terjebak hanya berpikir materialistik
dan matematis. Inilah titik spiritual yang akan menghubungkan jiwa dan raga
melalui roh al-idhafi. Dari sistem kerja itulah kemudian terjalin kemanunggalan
abadi. Maka kalau ada anggapan bahwa Allah itu ghaib bagi manusia, sesuatu yang
jauh dari manusia, pandangan itu keliru dan sesat.
Sekali lagi apa yang terurai di atas, adalah suatu kedaaan dan
kesadaran yang sudah tidak ada tingkatan lagi. Jika masih ada terdapat
tingkatan maka sebaiknya disempurnakan lagi. Karena tingkatan itu telah dilebur
menjadi satu dengan nama keyakinan, sehingga tidak ada perbedaan atau
tingkatan. Semuanya berpulang kepada Allah, Tuhan sekalian Alam, apa kata Alam
ini ialah juga kehendak-Nya yang merupakan wujud ADA dalam kehidupan manusia
beserta makhluk lainnya…allahu akbar.
15)“Syukur kalo saya sampai tiba di alam kehidupan yang sejati. Dalam
alam kematian ini saya kaya akan dosa. Siang malam saya berdekatan dengan api
neraka. Sakit dan sehat saya temukan di dunia ini. Lain halnya apabila saya
sudah lepas dari alam saya kematian ini. Saya akan hidup sempurna, langgeng
tiada ini itu.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VI Pangkur,
20-21).
Dalam prespektif kemanunggalan, dunia adalah alam kematian yang
sesungguhnya, dikarenakan roh Ilahinya terpenjara dalam badan wadagnya. Dengan
badan wadag yang berhias nafsu itulah, terjadi dosa manusia. Sehingga
keberadaan manusia di dunia penuh dengan api neraka. Ini sangat berbeda
kondisinya dengan alam setelah manusia memasuki pintu kematian. Manusia akan
manunggal di alam kehidupan sejati setelah mengalami mati. Disanalah ditemukan
kesejatian Diri yang tidak parsial. Dirinya yang utuh, sempurna, dengan segala
kehidupan yang juga sempurna.
16)“Menduakan kerja bukan watak saya! Siapa yang
mau mati! Dalam alam kematian orang kaya akan dosa! Balik jika saya hidup yang
tak kenal ajal, akan langgeng hidup saya, tidak perlu ini itu. Akan tetapi bila
saya disuruh milih hidup atau mati saya tidak sudi! Sekalipun saya hidup, biar
saya sendiri yang menentukan! Tidak usah Walisanga memulangkan saya ke alam
kehidupan! Macam bukan wali utama saya ini, mau hidup saja minta tolong pada
sesamanya. Nah marilah kamu saksikan! Saya akan pulang sendiri ke alam
kehidupan sejati.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VIII
Dandanggula, 14-16).
Karena kematian hanya sebagai pintu bagi kesempurnaan hidup yang
sesungguhnya, maka sebenarnya kematian juga menjadi bagian tidak terpisahkan
dari keberadaan manusia sebagai pribadi. Oleh karena itu, kematian bukanlah
sesuatu yang menakutkan bukan sesuatu yang bisa dipilih orang lain. Kematian
adalah hal yang muncul dengan kehendak Pribadi, menyertai keinginan pribadi
yang sudah berada dalam kondisi manunggal. Oleh karena itu, dalam sistem
teologi Syekh Siti Jenar, sebenarnya tidak ada istilah “dimatikan” atau
“dipulangkan”, baik oleh Allah atau oleh siapapun. Sebab dalam hal mati ini,
sebenarnya tidak ada unsur tekan-menekan atau paksaan. Pintu kematian adalah
sesuatu hal yang harus dijalani secara sukarela, ikhlas, dan harus diselami
pengetahuannya, agar ia mengetahui kapan saatnya ia menghendaki kematiannya
itu. Barulah jika seseorang memang tidak pernah mempersiapkan diri, dan tidak
pernah mau mempelajari ilmu kematian, tanpa tau arahnya ke mana, dan tidak
mengerti apa yang sedang dialami.
17)“…Betapa banyak nikmat hidup manfaatnya mati.
Kenikmatan ini dijumpai dalam mati, mati yang sempurna teramat oleklah dia.
Manusia sejati-sejatinya yang sudah meraih puncak ilmu. Tiada dia mati, hidup
selamanya. Menyebutkan mati syirik, lantaran tak tersentuh lahat, hanya beralih
tempatlah dia dengan memboyong kratonnya. Kenikmatan mati tak dapat dihitung…”
“…Tersasar, tersesat, lagi terjerumus, menjadikan kecemasan, menyusahkan dalam
patinya, justru bagi ilmu orang remeh…” (Babad Jaka Tingkir-Babad Pajang, hlm.
74).
Menurut penuturan Babad Jaka Tingkir, ungkapan mistik itu keluar
dari ucapan darah Syekh Siti Jenar, setelah dipenggal kepalanya oleh Dewan
Walisanga. Darah yang menyembur, jatuh ke tanah melukis kaligrafi la ilaaha
illallah, dan mengeluarkan ucapan-ucapan mistik tersebut. Para wali dan
masyarakat yang menyaksikannya terkejut campur bingung. Setelah beberapa saat,
dari lisan kepala yang sudah dipenggal, keluar ucapan yang memerintahkan agar
darah kembali ke jasadnya, demikian pula kepala menyatu dengan tubuh. Jelas
bahwa kematian fisik tak mampu menyentuh Syekh Siti Jenar. Mati ada dalam
hidup, hidup ada dalam mati.hidup selamanya tidak mati, kembali ke tujuan,
langgeng selamanya. Setelah berpamitan dan mengucapkan salam kepada semua yang
menyaksikan, Syekh Siti Jenar dengan diliputi oleh semerbak bau harum
terbungkus cahaya gemerlapan yang menyorot ke atas, kemudian lenyap terserap ke
dalam al-Ghaib, Dia Yang Sudah Dimuliakan. Iringan cahaya bersinar cemerlang,
berkilau gemilang, berkobar menyala, menyuramkan sinar sang mentari,
menyilaukan pandang semua orang yang menyaksikan.
Adapun pelaksanaan hukuman atas dirinya, oleh Syekh Siti Jenar
sengaja dibiarkan terlaksana, guna memenuhi hukum duniawi, sekaligus sebagai
monumen kebenaran ajarannya. Tanpa bukti yang dinampakkan secara dzahir, maka
kebenaran ajaran Manunggaling Kawula-Gusti tidak akan pernah terwujud. Sebab
pembuktian itu –sebagaimana sudah terjadi pada Mansur al-Hallaj, al-Syuhrawardi
dan ‘Aynul Quddat al-Hamadani sebagai pendahulunya – memang menuntut jasad sang
Guru sebagai martir atau syahid bagi kesufiannya. Dengan kemartirannya dan
kesediannya sebagai syuhada’ bagi sufisme di Tanah Jawa itulah ia disebut
sebagai Syekh Jatimurni, Guru Pemilik Inti Kesejatian atau Pusar Ilmu
Kasampurnan.
Ajaran tentang
Penerapan Rukun Iman, Islam dan Ihsan
Materi Pokok
Pengajaran Syekh Siti Jenar
18)“…Kepada mereka, Siti Jenar pertama-tama
mengajarkan akan asal usul kehidupan, kedua diberitahukan akan pintu kehidupan.
Ketiga, tempat besok bila sudah hidup kekal abadi, keempat alam kematian yaitu
yang sedang dijalani sekarang ini. Lagipula mereka diberitahu akan adanya Yang
Maha Luhur…” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh IV Sinom, 6-7).
Kepada pada muridnya, Syekh Siti Jenar mengajarkan ilmu ma’rifat secata
bertahap, yang harus dikuasai oleh seseorang, jika ingin menjadi manusia
sempurna (al-insan al-kamil), serta bagi yang ingin menempuh laku manunggal
dengan Tuhan. (1) Pertama-tama Syekh Siti Jenar mengajarkan tentang asal-usul
manusia [ngelmu sangkan-paran]; (2) Langkah berikutnya, ia mengajarkan masalah
yang berkaitan dengan kehidupan, khususnya apa yang disebut sebagai pintu
kehidupan; (3) Langkah ketiga Syekh Siti Jenar menunjukkan tempat manusia besok
ketika sudah hidup kekal abadi; (4) Taham keempat, ia menunjukkan tempat alam
kematian, yaitu yang sedang dialami dan dijalani manusia sekarang ini, di dunia
ini, serta berbagai kiat cara menghadapinya; (5) Langkah terakhir Syekh Siti
Jenar mengajarkan tentang adanya Tuhan Yang Maha Luhur yang menjadikan bumi dan
angkasa, sebagai pelabuhan akhir bagi kemanunggalan dan keabadian.
Sasahidan:
Intisari Ajaran Syekh Siti Jenar
19)“Insun anakseni ing Datingsun dhewe, satuhune ora ana Pangeran
amung Ingsun, lan nakseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun, iya
sajatine kang aran Allah iku badan Ingsun, Rasul iku rahsaning-Sun, Muhammad
iku cahyaning-Sun, iya Ingsun kang eling tan kena ing lali, iya Ingsun kan
langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati, iya Ingsun kang waskitha ora
kasamaran ing sawiji-wiji, iya Ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa
wicaksana ora kukurangan ing pangerti, byar.. sampurna padhang terawang-an, ora
karasa apa-apa, ora ana keton apa-apa, mung Insun kang nglimputi ing ngalam
kabeh, kalawan kodrating-Sun.” (R. Ng. Ranggawarsita, WIRID Punika Serat Wirid
Anyariyo-saken Wewejanganipun Wali VIII, Administrasi Jawi Kandha Surakarta,
penerbit Albert Rusche & Co., Surakarta, 1908, hlm.15-16).
Terjemahan, “Aku angkat saksi di hadapan Dzat-Ku sendiri,
sesungguhnya tidak ada Tuhan kecuali Aku, dan Aku angkat saksi sesungguhnya
Muhammad itu utusan-Ku, sesungguhnya yg disebut Allah Ingsun diri sendiri
(badan-Ku), Rasul itu Rahsa-Ku, Muhammad itu cahaya-Ku, Akulah Dzat yg hidup
tidak akan terkena mati, Akulah Dzat yang selalu ingat tidak pernah lupa,
Akulah Dzat yg kekal tidak ada perubahan dalam segala keadaan, (bagi-Ku) tidak
ada yg samar sesuatupun, Akulah Dzat yang Maha Menguasai, yang Kuasa dan
Bijaksana, tidak kekurangan dalam pengertian, sempurna terang benerang, tidak
terasa apa-apa, tidak kelihatan apa-apa, hanya Aku yg meliputi sekalian alam
dengan kodrat-Ku.”
Ajaran tersebut disebut sebagai ajaran atau wejangan Sasahidan
Serat Wirid Hidayat Jati merupakan naskah paling terkenal hasil karya R. Ng.
Ranggawarsita. Menurut R. Ng. Ranggawarsita, naskah tersebut merupakan wejangan
wali ke-8. wali VIII yang dimaksud adalah Sunan Kajenar atau Syekh Siti Jenar.
Ini sesuai dengan pernyataan Ranggawarsita sendiri dalam naskah tersebut pada
halaman 5 dan 6, dimana wejangannya adalah Sasahidan atau Penyaksian. Oleh
Ranggawarsita, Sunan Kajenar disebut sebagai wali dalam dua angkatan, yakni
angkatan pertama di awal Kerajaan Demak dan angkatan dua, yakni pada masa akhir
Kerajaan Demak. Melihat pernyataan ini, logis jika tahun wafatnya Syekh Siti
Jenar ditetapkan pada tahun 1517, sebab setelah kekuasaan Raden Fatah usia
Kerajaan Demak tidak berlangsung lama, disambung dengan Kerajaan Pajang.
Dari wejangan Sasahidan itu, nampaklah pengalaman spiritual dan
keadaan kemanunggalan pada diri Syekh Siti Jenar terjadi dalam waktu yang lama,
dan mendominasi keseluruhan wahana batin Syekh Siti Jenar. Nampak juga bahwa
dalam intisari ajaran tersebut, konsistensi sikap batin dan sikap dzahir dari
ajaran Syekh Siti Jenar. Jika ilmu tidak ada yang dirahasiakan dalam
pengajaran, maka demikian pula pengalaman batin dari keagamaan juga tidak bisa
disembunyikan. Dan pengalaman keagamaan yang terlahir tidak harus
ditutup-tutupi walaupun dengan dalih dan selubung syari’at. Dan akhirnya dalam
ajaran Sasahidan itulah, semua ajaran Syekh Siti Jenar tersimpul.
Kemanunggalan
Ke-Iman-an
20)“Adapun manunggalnya keimanan, itu menjadi
tempat berkumpulnya jauhar (mutiara) Muhammad, terdiri atas 15 perkara, seperti
perincian di bawah ini:
a) Imannya imam, maksudnya adalah jangan ragu dan
jangan mensekutukan, engkau adalah keberadaan Allah.
b) Imannya tokide (tauhid), maksudnya adalah jangan
ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah panunggale (tempat manunggalnya)
Allah.
c) Imannya syahadat, maksudnya adalah jangan ragu
dan jangan mensekutukan, engkau adalah sifatullah (sifatnya Allah).
d) Imannya ma’rifat, maksudnya adalah jangan ragu
dan jangan mensekutukan, engkau adalah kewaspadaan Allah.
e) Imannya shalat, maksudnya adalah jangan ragu dan
jangan mensekutukan, engkau adalah menghadap Allah.
f) Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu
dan jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah.
g) Imannya takbir, maksudnya adalah jangan ragu dan
jangan mensekutukan, engkau adalah kepunyaan keangungan Allah.
h) Imannya saderah, maksudnya adalah jangan ragu
dan jangan mensekutukan, engkau adalah pertemuan Allah.
i) Imannya kematian, maksudnya adalah jangan ragu
dan jangan mensekutukan, engkau adalah kesucian Allah.
j) Imannya junud, maksudnya adalah jangan ragu dan
jangan mensekutukan, engkau adalah wadahnya Allah.
k) Imannya jinabat, maksudnya adalah jangan ragu
dan jangan mensekutukan, engkau adalah kawimbuhaning (bertambahnya ni’mat dan
anugerah) Allah.
l) Imannya wudlu, maksudnya adalah jangan ragu dan
jangan mensekutukan, engkau adalah asma (Nama) Allah.
m) Imannya kalam (perkataan), maksudnya adalah
jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah ucapan Allah.
n) Imannya akal, maksudnya adalah jangan ragu dan
jangan mensekutukan, engkau adalah juru bicara Allah.
o) Imannya nur, maksudnya adalah jangan ragu dan
jangan mensekutukan, engkau adalah wujudullah, yaitu tempat berkumpulnya
seluruh jagat (makrokosmos), dunia akhirat, surga neraka, ‘arsy kursi, loh
kalam (lauh al-kalam), bumi langit, manusia, jin, belis (iblis) laknat,
malaikat, nabi, wali, orang mukmin, nyawa semua, itu berkumpul di pucuknya
jantung yang disebut alam kiyal (‘alam al-khayal), maksudnya adalah
angan-angannya Tuhan, itulah yang agung yang disebut alam barzakh, yang
dimaksudnya adalah pamoring gusti kawula, yang disebut alam mitsal, yang dimaksudnya
adalah awal pengetahuan, yaitu kesucian dzat sifat asma af’al, yang disebut
alam arwah, maksudnya berkumpulnya nyawa yang adalah dipenuhi sifat kamal
jamal.” (Wedha Mantra, hlm. 54-55).
Ajaran tersebut terkenal dengan sebutan panunggaling iman. Dari aplikasi
iman dalam bentuk keimanan Manunggaling Kawula-Gusti tersebut tampak, bahwa
fungsi manusia sebagai khalifatullah (wakil real Allah) di muka bumi
betul-betul nyata. Manusia adalah cermin dan pancaran wujud Allah, dengan
fungsi iradah dan kodrat yang berimbang. Semua bentuk syari’at agama ternyata
memiliki wujud implementasi bagi tekad hatinya, sekaligus ditampakkan melalui
tingkah lahiriyahnya.
Jelas sudah bahwa dalam sistem sufisme Imannya kehidupan,
maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah
kehidupannya Allah, ajaran “langit” Allah berhasil “dibumikan” oleh Imannya
kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah
kehidupannya Allah.
Melalui doktrin utama Manunggaling Kawula-Gusti. Manusia diajak
untuk membuktikan keberadaan Allah secara langsung, bukan hanya memahami
“keberadaan” dari sisi nalar-pikir (ilmu) dan rasa sentimen makhluk (perasaan
yang dipaksa dengan doktrin surga dan neraka). Imannya kehidupan, maksudnya
adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah.
Mengajarkan dan mengajak manusia bersama-sama “merasakan” Allah dalam diri
pribadi masing-masing.
21)Adapun yang menjadi maksud:
a) Iman, adalah pangandeling (pusaka andalan), roh.
b) Tokid (tauhid), panunggale (saudara tak terpisah, tempat
manunggal) roh.
c) Ma’rifat, penglihatan roh.
d) Kalbu, penerimaan (antena penerima) roh.
e) Akal, pembicaraannya roh.
f) Niat, pakaremaning roh.
g) Shalat, menghadapnya roh.
h) Syahadat, keadaan roh.” (Wedha Mantra, hlm. 54).
Pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut mempertegas maksud
Manunggalnya Iman di atas. Di dalam hal ini, Syekh Siti Jenar menjelaskan
maksud dari masing-masing doktrin pokok tauhid dan fiqih ketika dikaitkan
dengan spiritual. Iman, tauhid, ma’rifat, qalbu, dan akal adalah doktrin pokok
dalam wilayah tauhid; dan niat, shalat serta syahadat adalah doktrin pokok
fiqih. Oleh Syekh Siti Jenar semua itu sirangkai menjadi bentuk perbuatan roh
manusia, sehingga masing-masing memiliki peran dan fungsi yang dapat
menggerakkan seluruh kepribadian manusia, lahir dan batin, roh dan jasadnya.
Itulah makna keimanan yang sesungguhnya. Sebab rukun iman, rukun Islam dan
ihsan pada hakikatnya adalah suatu kesatuan yang utuh yang membentuk
kepribadian illahiyah pada kedirian manusia.
22)“Yang disebut kodrat itu yang berkuasa, tiada yang mirip atau yang
menyamai. Kekuasaannya tanpa piranti, keadaan wujudnya tidak ada baik luar
maupun dalam merupakan kesantrian yang beraneka ragam. Iradatnya artinya
kehendak yang tiada membicarakan, ilmu untuk mengetahui keadaan, yang lepas
jauh dari pancaindera bagaikan anak gumpitan lepas tertiup.” (Serat Syaikh Siti
Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandangula, 31).
Bagi Syekh Siti Jenar, kodrat
dan iradat bukanlah hal yang terpisah dari manusia, dan bukan mutlak milik Allah.
Kodrat dan iradat menurut Syekh Siti Jenar terkait erat dengan eksistensi sang
Pribadi (manusia). Pribadi adalah eksistensi roh. Maka jika roh adalah pancaran
cahaya-Nya, pribadi adalah tajalli-Nya, penjelmaan Diri-Nya. Pribadi adalah
Allah yang menyejarah. Maka Syekh Siti Jenar mengemukakan bahwa dirinya adalah
sang pemilik dua puluh sifat ketuhanan. Oleh karena itu kodrat merupakan kuasa
pribadi, sifat yang melekat pada pribadi sejak zaman azali dan itu langgeng.
Demikian pula adanya iradat, kehendak atau keinginan.
Antara karsa, keinginan dan
kuasa, adalah hal yang selalu berkelindan bagi wujud keduanya. Tentu menyangkut
kehendak, setiap pribadi memiliki karsa yang mandiri dan yang berhak merumuskan
hanyalah “perundingan” antara pemilik iradah dengan Yang Maha Memiliki Iradah.
Kemudian untuk mewujudkan rasa cipta itu, perlu juga pelimpahan kodrat Allah
pada manusia. Untuk itu semua, Syekh Siti Jenar mendidik manusia untuk
mengetahui Yang Maha Kuasa, dan mengetahui letak pintu kehidupan serta kematian.
Tujuannya jelas, agar manusia menjadi Pribadi Sejati, pemilik iradah dan kodrat
bagi dirinya sendiri.
Syahadat
DUA PULUH TIGA
“Inilah maksud syahadat: ‘Ashadu;jatuhnya rasa, ilaha;kesejatian rasa, illallah; bertemu rasa. Muhammad hasil karya yang maujud, Pangeran; kesejatian kehidupan.”
“Inilah maksud syahadat: ‘Ashadu;jatuhnya rasa, ilaha;kesejatian rasa, illallah; bertemu rasa. Muhammad hasil karya yang maujud, Pangeran; kesejatian kehidupan.”
Dalam hal syahadat
ini, Syekh Siti Jenar mengajarkan berbagai macam syahadat dan hal itu selaras
dengan konsep utama ajarannya, manunggaling kawula-Gusti, serta tetap di atas
fondasi ajaran shalat daim. Syahadat dalam hal ini, adalah menjadi keadaan roh,
bukan sekedar ucapan lisan, dan hasil pengolahan nalar-pikiran, atau bisikan
hati. Susunan kalimat syahadat adalah campuran bahasa Arab dan bahasa Jawa. Hal
ini menjadi kebiasaan Syekh Siti Jenar dalam mengajarkan ajaran-ajarannya,
sehingga dengan mudah dan gamblang murid serta pengikutnya mampu memahami dan
mengamalkan ajaran tersebut, tanpa kesulitan akibat kendala bahasa.
Beberapa wali di
Jawa, selain Syekh Siti Jenar juga memiliki dan mengajarkan syahadat. Misalnya
syahadat Sunan Giri, “Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana sinarawedi,
sahadu minangka kencana sinarawedi, dzat sukma kang ginawa mati, kurungan mas
ilang tanpa kerana, sira muliha maring kubur.” Syahadat Sunan Bonang,
“Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana, linggih ing maligi mas, ulir
sjroh-ning geni muskala, ilang ing kawulat aja kari, ya hu ya hu ya hu, sirna
kurungan tanpa kerana.” Dan syahadat Sunan Kalijaga, “Bismillahirrahmanirrahim,
syahadat kencana, kurungan mas, kuliting jati sajatining sukma, ginawa mati,
sirna tan ana kari, sukma ilang jiwa ilang, kang lunga padha rupane, dap lap
ilang,” (Wejangan Walisanga, hlm. 50).
Dibawah ini adalah
aplikasi syahadat menurut Syekh Siti Jenar. Sebagian syahadat yang ada
merupakan dzikir dan wirid ketika Syekh Siti Jenar mengajarkan cara melepaskan
air kehidupan (tirta nirmaya) untuk membuka pintu kematian menuju kehidupan
sejati di alam akhirat. Syahadat-syahadat sejenis juga diajarkan oleh Ki Ageng
Pengging kepada Sunan Kudus, sebelum wafatnya.
Jatunya rasa
(tibaning rasa) maksudnya adalah meresapnya Allah dalam kehendak dan kedalaman
jiwa. Ini kemudian dipupuk dengan laku spiritual yang melahirkan sajatining
rasa (kesejatian rasa), di mana ruang keseluruhan jiwa telah terdominasi oleh
al-Haqq (Allah). Kemudian lahirlah ungkapan illallah sebagai puncak, yakni
pertemuan rasa, manunggalnya yang mengungkapkan “asyhadu” dengan sarana
ungkapan, yakni Allah. Kemanunggalan ini memunculkan tenaga dan energi
kreativitas positif, dalam bentuk karya yang berbentuk nyata, bermanfaat dan
berdaya guna, serta bersifat langgeng, yang diidentifikasikan dengan sebutan
Muhammad (Yang Memiliki Segala Keterpujian) sebagai perwujudan riil dari sang
Wajib al-Wujud. Maka diri manusia sebagai ”Pangeran” (Tuhan) itulah yang perupakan
kesejatian hidup atau kehidupan. Syahadat dalam sistem ajaran Syekh Siti Jenar
bukanlah hanya sekedar bentuk pengakuan lisan yang berupa syahadat tauhid dan
syahadat rasul. Namun syahadat adalah persaksian batin, yang teraplikasi dalam
tindakan dzahir sebagai wujud kemanunggalan kawula-Gusti. Dengan demikian
syahadat mampu melahirkan karya-karya yang bermanfaat.
DUA PULUH EMPAT
“Mengertilah, bahwa sesungguhnya ini syahadat sakarat, jika tidak tau maka sekaratnya masih mendapatkan halangan, hidupnya dan matinya hanya seperti hewan. Lafalnya mengucapkan adalah : “Syahadat Sakarat Sajati, iya Syahadat Sakarat, wus gumanang waluya jati sirne eling mulya maring tunggal, waluya jati iya sajatining rasa, lan dzat sajatining dzat pesthi anane langgeng tan kenaning owah, dzat sakarat roh madhep ati muji matring nyawa, tansah neng dzatullah, kurungan mas melesat, eling raga tan rusak sukma mulya Maha Suci.” (Mantra Wedha, bab 205, hlm. 53).
“Mengertilah, bahwa sesungguhnya ini syahadat sakarat, jika tidak tau maka sekaratnya masih mendapatkan halangan, hidupnya dan matinya hanya seperti hewan. Lafalnya mengucapkan adalah : “Syahadat Sakarat Sajati, iya Syahadat Sakarat, wus gumanang waluya jati sirne eling mulya maring tunggal, waluya jati iya sajatining rasa, lan dzat sajatining dzat pesthi anane langgeng tan kenaning owah, dzat sakarat roh madhep ati muji matring nyawa, tansah neng dzatullah, kurungan mas melesat, eling raga tan rusak sukma mulya Maha Suci.” (Mantra Wedha, bab 205, hlm. 53).
(Syahadat Sakarat
Sejati adalah Syahadat Sakarat [Menjelang dan proses datangnya pintu kematian],
sudah nyata penuh kesempatan hilangnya ingatan kemuliaan kepada yang tunggal,
keselamatan dan kesentosaan itu adalah sejatinya kehidupan, tunggal sejatinya
hidup, hidup sejatinya rasa dan sejatinya rasa dan dzat sejatinya dzat pasti
dalam keberadaan kelanggengan tidak terkena perubahan, dzat sekarat roh
menghadap hati memuji nyawa, selalu berada dalam dzatullah, sangkar mas hilang,
mengingat raga tidak terkena kerusakan sukma mulia Maha Suci).
Syahadat Sakarat
adalah syahadat atau persaksian menjelang kematian. Sebagaimana diketahui,
bahwa salah satu ajaran Syekh Siti Jenar adalah kemampuan memadukan iradah dan
qudrat diri dengan iradah dan qudrat Ilahi, sebagai efek kemanunggalan.
Sehingga apa yang menjadi ilmu Allah, maka itu adalah ilmu diri manusia yang
manunggal. Maka orang yang sudah meninggal mencapai al-Insan al-Kamil, juga
mengetahui kapan saatnya dia meninggalkan alam kematian di dunia ini, menuju
alam kehidupan sejati di akhirat, untuk menyatu selamanya dengan Allah. Syahadat
sekarat yang terpapar di atas, adalah syahadat sakarat yang bersifat umum,
sebab nanti masih ada beberapa syahadat. Semua syahadat yang diajarkan Syekh
Siti Jenar menjadi lafal harian atau dzikir, terutama saat menjelang tidur,
agar dalam kondisi tidur juga tetap berada dalam kondisi kemanunggalan iradah
dan qodrat. Namun syahadat-syahadat yang ada tidak hanya sekedar ucapan, sebab
saat pengucapan harus disertai dengan laku (meditasi) dan paling tidak
mengheningkan daya cipta, rasa dan karsa, sehingga lafal-lafal yang berupa
syahadat tersebut, menyelusup jauh ke dalam diri atau dalam sukma.
DUA PULUH LIMA
“Syahadat Allah, Allah, Allah lebur badan, dadi nyawa, lebur nyawa dadi cahya, lebur cahya dadi idhafi, lebur idhafi dadi rasa, lebur rasa dadi sirna mulih maring sajati, kari amungguh Allah kewala kang langgeng tan kena pati.” (syahadat Allah, Allah, Allah badan lebur menjadi (roh) idhafi, (roh) idhafi lebur menjadi rasa, rasa lebur sirna kembali kepada yang sejati, tinggallah hanya Allah semata yang abadi tidak terkena kematian). [Mantra Wedha, hlm. 53).
“Syahadat Allah, Allah, Allah lebur badan, dadi nyawa, lebur nyawa dadi cahya, lebur cahya dadi idhafi, lebur idhafi dadi rasa, lebur rasa dadi sirna mulih maring sajati, kari amungguh Allah kewala kang langgeng tan kena pati.” (syahadat Allah, Allah, Allah badan lebur menjadi (roh) idhafi, (roh) idhafi lebur menjadi rasa, rasa lebur sirna kembali kepada yang sejati, tinggallah hanya Allah semata yang abadi tidak terkena kematian). [Mantra Wedha, hlm. 53).
Syahadat paleburan
diucapkan ketika (menjalani keheningan = samadhi), menyatukan diri kepada
Allah. Lafal tersebut lahir dari pengalaman Syekh Siti Jenar ketika memasuki
relung-relung kemanunggalan, di mana jasad fisiknya ditinggalkan rohnya,
sesudah semua nafs dalam dirinya mengalami kasyaf.
DUA PULUH ENAM
“Ashadu-ananingsun, la ilaha rupaningsun, illallah – Pangeransun, satuhune ora ana Pangeran angging Ingsun, kang badan nyawa kabeh” (ashadu-keberadaanku, la ilaha – bentuk wajahku, illallah – Tuhanku, sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku, yaitu badan dan nyawa seluruhnya).
“Ashadu-ananingsun, la ilaha rupaningsun, illallah – Pangeransun, satuhune ora ana Pangeran angging Ingsun, kang badan nyawa kabeh” (ashadu-keberadaanku, la ilaha – bentuk wajahku, illallah – Tuhanku, sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku, yaitu badan dan nyawa seluruhnya).
Inilah yang
disebut Syahadat Sajati. Pengakuan sejati ini adalah ungkapan yang sebenarnya
bersifat biasa-biasa saja, di mana ungkapan tersebut lahir dari hati dan
rohnya, sehingga dari ungkapan yang ada dapat diketahui sampai di mana
tingkatan tauhidnya (tauhid dalam arti pengenalan akan ke-Esaan Allah), bukan
sekedar pengenalan akan nama-nama Allah.
DUA PULUH TUJUH
“Sakarat pujine pati, maksude napas pamijile napas, kaketek meneng-meneng, iya iku sing ameneng, pati sukma badan, mulya sukma sampurna, mulih maring dzatullah, Allah kang bangsa iman, iman kang bangsa nur, nur kang bangsa Rasulullah, iya shalat albar, Muhammad takbirku, Allah Pangucapku, shalat jati asembahyang kalawan Allah, ora ana Allah, ora ana Pangeran, amung iku kawula tunggal, kang agung kang kinasihan.” (mantra Wedha, hlm. 53).
“Sakarat pujine pati, maksude napas pamijile napas, kaketek meneng-meneng, iya iku sing ameneng, pati sukma badan, mulya sukma sampurna, mulih maring dzatullah, Allah kang bangsa iman, iman kang bangsa nur, nur kang bangsa Rasulullah, iya shalat albar, Muhammad takbirku, Allah Pangucapku, shalat jati asembahyang kalawan Allah, ora ana Allah, ora ana Pangeran, amung iku kawula tunggal, kang agung kang kinasihan.” (mantra Wedha, hlm. 53).
“Sekarat ku
kemuliaan kematian, maksudnya adalah napas munculnya napas, yang hilang berangsur-angsur
secara diam-diam, yaitu yang kemudian diam, kematian sebagai sukma badan-wadag,
kemuliaan sukma kesempurnaan, kembali kepada dzatullah, Allah sebagai labuhan
iman, iman yang berbentuk cahaya, cahaya yang berwujud Rasulullah, yaitu adalah
shalat yang agung, Muhammad sebagai takbirku, Allah sebagai ucapanku, shalat
sejati menyembah Allah, tidak ada Allah tidak ada Tuhan, hanyalah aku (kawula)
yang tunggal saja, yang agung dan dikasihi.”
Ini adalah
Syahadat Sakarat Permulaan Kematian. Ketika seseorang sudah melihat akhir
hayatnya, maka orang tersebut diajarkan untuk memperbanyak melafalkan dan
mengamalkan “syahadat sakarat wiwitane pati” ini.
DUA PULU DELAPAN
“Ashadu ananingsun, anuduhake marga kang padhang, kang urip tan kenaning pati, mulya tan kawoworan, elinge tan kena lali, iya rasa iya rasulullah, sirna manjing sarira ening, sirna wening tunggal idhep jumeneng langgeng amisesa budine, angen-angene tansah amadhep ing Pangeran.” (mantra Wedha, hlm. 54).
“Ashadu ananingsun, anuduhake marga kang padhang, kang urip tan kenaning pati, mulya tan kawoworan, elinge tan kena lali, iya rasa iya rasulullah, sirna manjing sarira ening, sirna wening tunggal idhep jumeneng langgeng amisesa budine, angen-angene tansah amadhep ing Pangeran.” (mantra Wedha, hlm. 54).
(Ashadu
keberadaanku, yang menunjukkan jalan yang terang, yang hidup tidak terkena
kematian, yang mulia tanpa kehinaan, kesadaran yang tidak terkena kematian,
yang mulia tanpa kehinaan, kesadaran yang tidak terkena lupa, itulah rasa yang
tidak lain adalah Rasulullah, selesailah berada di alam terang, itulah hakikat
Rasulullah, hilang musnah ketempat wujud yang hening, hilang keheningan
menyatu-tunggal menempati secara abadi memelihara budi, angan-angan selalu
menghadap Tuhan).
Syahadat Sekarat
Hati pada hakikatnya adalah syahadat Nur Muhammad. Suatu penyaksian bahwa
kedirian manusia adalah bagian dari Nur Muhammad. Dari inti syahadat ini, jelas
bahwa kematian manusia bukanlah jenis kematian pasif, atau kematian negatif,
dalam arti kematian yang bersifat memusnahkan. Kematian dalam pandangan sufisme
Syekh Siti Jenar hanya sebagai gerbang menuju kemanunggalan, dan itu harus
memasuki alam Nur Muhammad. Bentuk konkretnya, dalam pengalaman kematian itu,
orang tersebut tidaklah kehilangan akan kesadaran manunggal-Nya. Ia melanglang
buana menuju asal muasal hidup. Oleh karenanya keadaan kematiannya bukanlah
suatu kehinaan sebagaimana kematian makhluk selain manusia. Di sinilah arti
penting adanya syafa’at sang Utusan (Rasulullah) dalam bentuk Nur Muhammad atau
hakikat Muhammad. Nur Muhammad adalah roh kesadaran bagi tiap Pribadi dalam
menuju kemanunggalannya. Sehingga dengan Nur Muhammad itulah maka pengalaman
kematian oleh manusia, bagi Syekh Siti Jenar bukan sejenis kematian yang pasif,
atau kematian yang negatif, dalam arti kematian dalam bentuk kemusnahan
sebagaimana yang terjadi terhadap hewan.
Kematian itu
adalah sesuatu aktivitas yang aktif. Sebab ia hanyalah pintu menuju keadaan
manunggal. Dalam ajaran Syekh Siti Jenar yang diperuntukkan bagi kaum ‘awam
(orang yang belum mampu mengalami Manunggaling Kawula-Gusti secara sempurna) di
atas, nampak bahwa dalam kematian itu, seseorang tetap tidak kehilangan
kesadaran kemanunggalannya. Dengan hakikat Muhammadnya ia tetap sadar dalam
pengalaman kematian itu, bahwa ia sedang menempuh salah satu lorong manunggal.
Melalui lorong itulah kediriannya menuju persatuan dengan Sang Tunggal.
Kematian manusia adalah proses aktif sang al-Hayyu (Yang Maha Hidup), sehingga
hanya dengan pintu yang dinamakan kematian itulah, manusia menuju kehidupan
yang sejati, urip kang tan kena pati, hidup yang tidak terkena kematian.
DUA PULUH SEMBILAN
“Syahadat Panetep panatagama, kang jumeneng roh idlafi, kang ana telenging ati, kang dadi pancere urip, kang dadi lajere Allah, madhep marang Allah, iku wayanganku roh Muhammad, iya, iku sajatining manusia, iya iku kang wujud sampurna. Allahumma kun walikun, jukat astana Allah, pankafatullah ya hu Allah, Muhammad Rasulullah.” (mantra Wedha, hlm. 54).
“Syahadat Panetep panatagama, kang jumeneng roh idlafi, kang ana telenging ati, kang dadi pancere urip, kang dadi lajere Allah, madhep marang Allah, iku wayanganku roh Muhammad, iya, iku sajatining manusia, iya iku kang wujud sampurna. Allahumma kun walikun, jukat astana Allah, pankafatullah ya hu Allah, Muhammad Rasulullah.” (mantra Wedha, hlm. 54).
(Syahadat Penetap
Panatagama, yang menempati roh idlafi, yang ada di kedalaman hati, yang menjadi
sumbernya kehidupan, yang menjadi bertempatnya Allah, menghadap kepada Allah,
bayanganku adalah roh Muhammad, yaitu sejatinya manusia, yaitu wujudnya yang
sempurna. Allahumma kun walikun jukat astana Allah, pankafatullah ya hu Allah,
Muhammad Rasulullah).
Syahadat ini
adalah sejenis syahadat netral, yakni yang memiliki fungsi dan esensi yang
umum. Pengucapannya tidak berhubungan dengan waktu, tempat, dan keadaan
tertentu sebagaimana syahadat yang lain. Hakikat syahadat ini hanyalah
berfungsi untuk meneguhkan hati akan tauhid al-wujud.
TIGA PULUH
“Ini adalah syahadat sakaratnya roh (pecating nyawa), yang meliputi empat perkara :
“Ini adalah syahadat sakaratnya roh (pecating nyawa), yang meliputi empat perkara :
1. Ketika roh keluar dari jasad, yakni ketika roh ditarik sampai
pada pusar, maka bacaan syahadatnya adalah, “la ilaha illalah, Muhammad
rasulullah.”
2. Kemudian, ketika roh ditarik dari pusar sampai ke hati,
syahadat rohnya adalah “la ilaha illa Anta”.
3. Kemudian roh ditarik sampai otak, maka syahadatnya “la ilaha
illa Huwa”.
4. Maka kemudian roh ditarik dengan halus. Saat itu sudah tidak
mengetahui jalannya keluar roh dalam proses sekarat lebih lanjut. Sekaratnya
manusia itu sangat banyak sakitnya, seakan-akan hidupnya sekejap mata, sakitnya
sepuluh tahun. Dalam keadaan seperti itulah manusia kena cobaan setan, sehingga
kebanyakkan kelihatan bahwa kalau tidak melihat jalan keluarnya roh menjadi
lama dalam proses sekaratnya. Jika rohnya tetap mendominasi kesadarannya, tidak
kalah oleh sifat setan, maka syahadatnya roh adalah “la ilaha illa Ana”.
(Mantra Wedha, bab 211, hlm. 57).
Ajaran tentang
syahadat pecating nyawa tersebut diberikan oleh Syekh Siti Jenar bagi orang
yang belum mampu menempuh laku manusia manunggal, sehingga diperlukan prasyarat
lahiriyah yang berupa syahadat pecating nyawa tersebut. Bagi yang sudah mampu
menempuh laku manunggal, maka prosesnya seperti yang dilakukan Syekh Siti
Jenar, kematian bukan masalah kapan ajalnya datang, juga bukan masalah waktu.
Kematian termasuk dalam salah satu agenda manunggalnya iradah dan qudrat kawula
Gusti dan sebaliknya.
Kalau diperhatikan
secara seksama, ajaran Syekh Siti Jenar yang dikhususkan bagi kalangan ‘awam
(yang tidak mampu mengalami Manunggaling Kawula Gusti secara sempurna) tersebut
hampir sama dengan ajaran Syuhrawardi.
Shalat (tarek dan
Daim)
Syekh Siti Jenar
mengajarkan dua macam bentuk shalat, yang disebut shalat tarek dan shalat daim.
Shalat tarek adalah shalat thariqah, diatas sedikit dari syari’at. Shalat tarek
diperuntukkan bagi orang yang belum mampu untuk sampai pada tingkatan
Manunggaling Kawula Gusti, sedang shalat daim merupakan shalat yang tiada putus
sebagai efek dari kemanunggalannya. Sehingga shalat daim merupakan hasil dari
pengalaman batin atau pengalaman spiritual. Ketika seseorang belum sanggup
melakukan hal itu, karena masih adanya hijab batin, maka yang harus dilakukan
adalah shalat tarek. Shalat tarek masih terbatas dengan adanya lima waktu
shalat, sedang shalat daim adalah shalat yang tiada putus sepanjang hayat,
teraplikasi dalam keseluruhan tindakan keseharian ( penambahan, mungkin efeknya
adalah berbentuk suci hati, suci ucap, suci pikiran ); pemaduan hati, nalar,
dan tindakan ragawi.
Kata “tarek”
berasal dari kata Arab “tarki” atau “tarakki” yang memiliki arti pemisahan.
Namun maksud lebih mendalam adalah terpisahnya jiwa dari dunia, yang disusul
dengan tanazzul (manjing)-nya al-Illahiyah dalam jiwa. Shalat tarek yang
dimaksud di sini adalah shalat yang dilakukan untuk dapat melepaskan diri dari
alam kematian dunia, menuju kemanunggalan. Sehingga menurut Syekh Siti Jenar,
shalat yang hanya sekedar melaksanakan perintah syari’at adalah tindakan
kebohongan, dan merupakan kedurjanaan budi.
Pengambilan shalat
tarek ini berasal dari Kitab Wedha Mantra bab 221; Shalat Tarek Limang Wektu.
(Sang Indrajit: 1979, hlm. 63-66).
Keterangan bagi
yang mengamalkan ilmu shalat tarek lima waktu ini.
(Semua hal yang berkaitan dengan shalat tarek ini diterjemahkan dengan apa adanya dari Kitab Wedha Mantra. Makna terjemahan yang bertanda kutip hanyalah arti untuk memudahkan pemahaman. Adapun maksud dan substansi yang ada dalam kalimat-kalimat asli dalam bahasa Jawa-Kawi, lebih mendalam dan luas dari pemahaman dan terjemahan diatas.(penulisnya wanti-wanti banget). Pelaksanaan shalat tarek bisa saja diamalkan bersamaan dengan shalat syari’at sebagaimana biasa, bisa juga dilaksanakan secara terpisah. Hanya saja terdapat perbedaan dalam hal wudlunya. Jika dalam shalat syari’at, anggota wudhu yang harus dibasuh adalah wajah, tangan, sebagian kepala, dan kaki, sementara dalam shalat tarek adalah di samping tempat-tempat tersebut, harus juga membasuh seluruh rambut, tempat-tempat pelipatan anggota tubuh, pusar, dada, jari manis, telinga, jidat, ubun-ubun, serta pusar tumbuhnya rambut (Jawa; unyeng-unyengan). Walhasil wudlu untuk shalat tarek sama halnya dengan mandi besar (junub/jinabat).
(Semua hal yang berkaitan dengan shalat tarek ini diterjemahkan dengan apa adanya dari Kitab Wedha Mantra. Makna terjemahan yang bertanda kutip hanyalah arti untuk memudahkan pemahaman. Adapun maksud dan substansi yang ada dalam kalimat-kalimat asli dalam bahasa Jawa-Kawi, lebih mendalam dan luas dari pemahaman dan terjemahan diatas.(penulisnya wanti-wanti banget). Pelaksanaan shalat tarek bisa saja diamalkan bersamaan dengan shalat syari’at sebagaimana biasa, bisa juga dilaksanakan secara terpisah. Hanya saja terdapat perbedaan dalam hal wudlunya. Jika dalam shalat syari’at, anggota wudhu yang harus dibasuh adalah wajah, tangan, sebagian kepala, dan kaki, sementara dalam shalat tarek adalah di samping tempat-tempat tersebut, harus juga membasuh seluruh rambut, tempat-tempat pelipatan anggota tubuh, pusar, dada, jari manis, telinga, jidat, ubun-ubun, serta pusar tumbuhnya rambut (Jawa; unyeng-unyengan). Walhasil wudlu untuk shalat tarek sama halnya dengan mandi besar (junub/jinabat).
Bahwa kematian
orang yang menerapkan ilmu ini masih terhenti pada keduniaan, akan tetapi sudah
mendapatkan balasan surga sendiri. Maka paling tidak ujaran-ujaran shalat tarek
ini hendaknya dihafalkan, jangan sampai tidak, agar memperoleh kesempurnaan
kematian.
Bagi yang akan membuktikan, siapa saja yang sudah melaksanakan ilmu ini, dapat saja dibuktikan. Ketika kematian jasadnya didudukkan di daratan (di atas tanah), di kain kafan serta diberi kain lurub (penutup) serta selalu ditunggu, kalau sudah mendapatkan dan sampai tujuh hari, bisa dibuka, niscaya tidak akan membusuk, (bahkan kalau iradah dan qudrahnya sudah menyatu dengan Gusti), jasad dalam kafan tersebut sudah sirna. Kalau dikubur dengan posisi didudukkan, maka setelah mendapat tujuh hari bisa digali kuburnya, niscaya jasadnya sudah sirna, dan yang dikatakan bahwa sudah menjadi manusia sempurna. Maka karena itu, orang yang menerapkan ilmu ini, sudah menjadi manusia sejati.
Bagi yang akan membuktikan, siapa saja yang sudah melaksanakan ilmu ini, dapat saja dibuktikan. Ketika kematian jasadnya didudukkan di daratan (di atas tanah), di kain kafan serta diberi kain lurub (penutup) serta selalu ditunggu, kalau sudah mendapatkan dan sampai tujuh hari, bisa dibuka, niscaya tidak akan membusuk, (bahkan kalau iradah dan qudrahnya sudah menyatu dengan Gusti), jasad dalam kafan tersebut sudah sirna. Kalau dikubur dengan posisi didudukkan, maka setelah mendapat tujuh hari bisa digali kuburnya, niscaya jasadnya sudah sirna, dan yang dikatakan bahwa sudah menjadi manusia sempurna. Maka karena itu, orang yang menerapkan ilmu ini, sudah menjadi manusia sejati.
Sedangkan tentang
ilmu ini, bukanlah manusia yang mengajarkan, cara mendapatkannya adalah hasil
dari laku-prihatin, berada di dalam khalwat (meditasi, mengheningkan cipta,
menyatu karsa dengan Tuhan sebagaimana diajarkan Syekh Siti Jenar).
Tentang anjuran
untuk pembuktian di atas, sebenarnya tidak diperlukan, sebab yang terpenting
adalah penerapan pada diri kita masing-masing. Justru pembuktian paling efektif
adalah jika kita sudah mengaplikasikan ilmu tersebut. Apalagi pembuktian
seperti itu jika dilaksanakan akan memancing kehebohan, sebagaimana terjadi
dalam kasus kematian Syekh Siti Jenar serta para muridnya.
TIPULUH SATU
Shalat Subuh
Shalat Subuh
Niat yang paling
awal, “Niyatingsun shalat, roh Kudus kang shalat, iya iku rohing Allah. Allah
iku lungguh ana ing paningal, shalat iku sajrone shalat ana gusti, sajroning
gusti ana sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip,
sajro-ning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing
awakku.”
(Aku berniat
shalat, roh Kudus yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Allah. Allah yang
menempati penglihatan, shalat yang di dalam shalat itu ada gusti, di dalam
gusti ada sukma, di dalam sukma ada nyawa, di dalam nyawa terdapat kehidupan,
di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala,
Allahu akbar tetap mantap mengerti akan diriku sendiri).
Malaikatnya adalah
Haruman (malaikat Rumman), memujinya dengan “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya,
“Niyatingsun shalat, sirku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep
madhep langgeng weruh ing sirku.”
(Aku berniat
shalat, sir [rahasia]-ku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar,
tetap menghadap dengan abadi mengerti akan sir [rahasia]-ku).
Malaikatnya
Haruman, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji;
“ya Rajamu, ya Rajaku.” (Arab; Ya maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan,
“Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi,
“Lah giri-giri Allah, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe jagat,”
(Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah,
cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian
berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.” (Sungguh sudah
kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan
dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”, (Sungguh sudah
kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
TIGA PULUH DUA
Shalat Luhur
Shalat Luhur
Niat yang paling
awal, “Niyatingsun shalat, roh idlafi kang shalat, iya iku rohing Pangeran.
Pangeran iku lungguhe ana ing kaketek, shalat iku sajroning sukma, sajroning
sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu
ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing Pangeranku.” (Aku berniat shalat,
roh Idlafi yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Tuhan. Tuhan yang
menempati ketiak, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam gusti
terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya
kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari
Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan Tuhanku). Malaikatnya
adalah Jabarail (malaikat Jibril), memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus
kali.
Niatnya,
“Niyatingsun shalat, kang shalat osikku, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep
mantep madhep langgeng weruh ing osikku.” (Aku berniat shalat, yang shalat
bisikan dan gerak hatiku, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap
menghadap dengan abadi mengerti akan bisikan nuraniku).
Malaikatnya Jabarail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Malaikatnya Jabarail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji;
“Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan,
“Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi,
“Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung
agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat
berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian
berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”
(Sungguh sudah
kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan
dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”,
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
TIGA PULUH TIGA
Shalat ‘Ashar
Shalat ‘Ashar
Niat yang paling
awal, “Niyatingsun shalat, roh Abadi kang shalat, iya iku rohing Rasul. Rasul
iku lungguhe ana ing poking ilat, shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma
ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala
Allahu akbar, tetep mantep weruh ing Rasulku.”
(Aku berniat
shalat, roh keabadian yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Utusan. Utusan
Tuhan yang menempati ujung lidah, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti,
didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa
adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban
dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan Utusanku).
Malaikatnya adalah
Mikail, memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya,
“Niyatingsun shalat, angen-angenku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar,
tetep mantep madhep langgeng weruh ing angen-angenku.”
(Aku berniat
shalat, angan-anganku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap
mantap menghadap dengan abadi mengerti akan angan-anganku).
Malaikatnya
Mikail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji;
“Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan,
“Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi,
“Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung
agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat
berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian
berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.” (Sungguh sudah
kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan
dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”, (Sungguh sudah
kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
TIGA PULUH EMPAT
Shalat Maghrib
Shalat Maghrib
Niat yang paling
awal, “Niyatingsun shalat, rokhani kang shalat, iya iku rohing Muhammad.
Muhammad iku lungguhe ana ing talingan, shalat iku sajroning sukma, sajroning
sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu
ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing Muhammadku.”
(Aku berniat
shalat, rohani yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Muhammad. Muhammad
yang menempati ujung telinga, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti,
didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa
adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban
dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan Muhammadku).
Malaikatnya adalah
Israfil, memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya,
“Niyatingsun shalat, tekadku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep
mantep madhep langgeng weruh ing tekadku.”
(Aku berniat
shalat, tekadku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap
mantap menghadap dengan abadi mengerti akan tekadku).
Malaikatnya
Israfil, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji;
“Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan,
“Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi,
“Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung
agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat
berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian
berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”
(Sungguh sudah
kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan
dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”, (Sungguh sudah
kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
TIGA PULUH LIMA
Shalat ‘Isya’
Shalat ‘Isya’
Niat yang paling
awal, “Niyatingsun shalat, roh Robbi kang shalat, iya iku rohing urip. urip iku
lungguhe ana ing napas, shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa,
sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar,
tetep mantep weruh ing uripku.”
(Aku berniat
shalat, roh Pembimbing yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya kehidupan.
Utusan Tuhan yang menempati napas, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti,
didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa
adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban
dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan kehidupanku).
Malaikatnya adalah
Izrail, memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya,
“Niyatingsun shalat, karepku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep
mantep madhep langgeng weruh ing karepku.”
(Aku berniat
shalat, keinginanku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap
mantap menghadap dengan abadi mengerti akan keinginanku).
Malaikatnya
Izrail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji;
“Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi,
“Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung
agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat
berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian
berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”
(Sungguh sudah
kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan
dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”, (Sungguh sudah
kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
TIGA PULUH ENAM
“Inilah shalat satu raka’at salam, yang dilaksanakan setiap tanggal (bulan purnama), dengan waktu tengah malam tepat :
“Inilah shalat satu raka’at salam, yang dilaksanakan setiap tanggal (bulan purnama), dengan waktu tengah malam tepat :
a. Inilah niatnya, “Ushalli urip dzatullah Allahu akbar” (Aku
berniat melaksanakan shalat kehidupan dzatullah, Allahu akbar).
b. Membaca surat al-Fatihah, kemudian membaca ayat dengan
menyebut, “aku pan Sukma” (Aku sang pemilik Sukma).
c. Melakukan ruku’ dengan menyebut, “langgeng urip dzatullah”
(Kehidupan abadi dzatullah).
d. Sujud dengan mengucapkan, “ibu bumi dzatullah”.
e. Duduk di antara dua sujud dengan doa, “langgeng urip dzatullah
tan kena pati” (kehidupan abadi dzatullah yang tidak terkena kematian).
f. Sujud lagi dengan bacaan, “Ibu bumi dzatullah”.
g. Tahiyat dengan membaca, “Urip dzatullah”.
h. Membaca syahadat dengan bacaan, “Ashadu uripingsun lan sukma”
(Ashadu kehidupanku dan Sukma).
I. Salam dengan bacaan, “Ingsun kang agung, ingsun kang memelihara
kehidupan yang tidak terkena kema-tian.
j. Membaca doa, “Allahumma papan tulis hadhdhari langgeng urip tan
kena pati” (Allahumma papan tulis segala sesuatu yang abadi hidup yang tak
pernah terkena mati).
k. Kemudian berdoa dalam hati, “Ingsun kang agung ingsun kang
wisesa suci dhiriningsun” (ingsun yang Agung, ingsun yang memelihara, suci
diriku sendiri [ingsun]).
Dalam Islam
dikenal shalat satu raka’at, namun itu hanya sebagian dari shalat witir (shalat
penutup akhir malam dengan raka’at yang ganjil).
Shalat satu
raka’at salam dalam ajaran Syekh Siti Jenar bukanlah shalat witir, namun shalat
ngatunggal, atau shalat yang dilaksanakan dalam rangka mencapai kemanunggalan
diri dengan Gusti.
Bacaan-bacaan
shalat ngatunggal tidak semuanya memakai bahasa Arab, hanya lafazh takbir dan
al-Fatihah serta ayat-ayat yang dibaca satu madzhab fiqih Islam sekalipun
(yakni madzhab Imam Hanafi, dan di Indonesia terutama madzhab Hasbullah Bakri),
bacaan dalam shalat selain takbir dan al-Fatihah boleh diucapkan dengan bahasa
‘ajam (selain bahasa Arab).
TIGA PULUH TUJUH
“Shalat lima kali sehari, puji dan dzikir itu adalah kebijaksanaan dalam hati menurut kehendak pribadi. Benar atau salah pribadi sendiri yang akan menerima, dengan segala keberanian yang dimiliki.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 33).
“Shalat lima kali sehari, puji dan dzikir itu adalah kebijaksanaan dalam hati menurut kehendak pribadi. Benar atau salah pribadi sendiri yang akan menerima, dengan segala keberanian yang dimiliki.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 33).
Syekh Siti Jenar
menuturkan bahwa sebenarnya shalat sehari-hari itu hanyalah bentuk tata krama
dan bukan merupakan shalat yang sesungguhnya, yakni shalat sebagai wahana
memasrahkan diri secara total kepada Allah dalam kemanunggalan. Oleh karenanya
dalam tingkatan aplikatif, pelaksanaannya hanya merupakan kehendak
masing-masing pribadi.
Demikian pula,
masalah salah dan benarnya pelaksanaan shalat yang lima waktu dan ibadah
sejenisnya, bukanlah esensi dari agama. Sehingga merupakan hal yang tidak
begitu penting untuk menjadi perhatian manusia. Namanya juga sebatas krama,
yang tentu saja masing-masing orang memiliki sudut pandang sendiri-sendiri.
TIGA PULUH DELAPAN
“Pada waktu saya shalat, budi saya mencuri, pada waktu saya dzikir, budi saya melepaskan hati, menaruh hati kepada seseorang, kadang-kadang menginginkan keduniaan yang banyak. Lain dengan Zat Allah yang bersama diriku. Nah, saya inilah Yang Maha Suci, Zat Maulana yang nyata, yang tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dibayangkan.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 37).
“Pada waktu saya shalat, budi saya mencuri, pada waktu saya dzikir, budi saya melepaskan hati, menaruh hati kepada seseorang, kadang-kadang menginginkan keduniaan yang banyak. Lain dengan Zat Allah yang bersama diriku. Nah, saya inilah Yang Maha Suci, Zat Maulana yang nyata, yang tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dibayangkan.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 37).
Pada kritik yang
dikemukakan Syekh Siti Jenar terhadap Islam formal Walisanga tersebut, namun
jelas penolakan Syekh Siti Jenar atas model dan materi dakwah Walisanga.
Pernyataan tersebut sebenarnya berhubungan erat dengan pernyataan-pernyataan
pada point 37 diatas, dan juga pernyataan mengenai kebohongan syari’at yang
tanpa spiritualitas di bawah.
Menurut Syekh Siti Jenar, umumnya orang yang melaksanakan shalat, sebenarnya akal-budinya mencuri, yakni mencuri esensi shalat yaitu keheningan dan kejernihan busi, yang melahirkan akhlaq al-karimah. Sifat khusyu’nya shalat sebenarnya adalah letak aplikasi pesan shalat dalam kehidupan keseharian.
Menurut Syekh Siti Jenar, umumnya orang yang melaksanakan shalat, sebenarnya akal-budinya mencuri, yakni mencuri esensi shalat yaitu keheningan dan kejernihan busi, yang melahirkan akhlaq al-karimah. Sifat khusyu’nya shalat sebenarnya adalah letak aplikasi pesan shalat dalam kehidupan keseharian.
Sehingga dalam
al-Qur’an, orang yang melaksanakan shalat namun tetap memiliki sifat riya’ dan
enggan mewujudkan pesan kemanusiaan disebut mengalami celaka dan mendapatkan
siksa neraka Wail. Sebab ia melupakan makna dan tujuan shalat (QS.
Al-Ma’un/107;4-7). Sedang dalam Qs.Al-Mukminun/23; 1-11 disebutkan bahwa orang
yang mendapatkan keuntungan adalah orang yang shalatnya khusyu’. Dan shalat
yang khusyu’ itu adalah shalat yang disertai oleh akhlak berikut : (1)
menghindarkan diri dari hal-hal yang sia-sia dan tidak berguna, juga tidak
menyia-siakan waktu serta tempat dan setiap kesempatan; (2) menunaikan zakat
dan sejenisnya; (3) menjaga kehormatan diri dari tindakan nista; (4) menepati
janji dan amanat serta sumpah; (5) menjaga makna dan esensi shalat dalam kehidupannya.
Mereka itulah yang disebutkan akan mewarisi tempat tinggal abadi;
kemanunggalan.
Namun dalam
aplikasi keseharian, apa yang terjadi? Orang muslim yang melaksanakan shalat
dipaksa untuk berdiam, konsentrasi ketika melaksanakan shalat. Padahal pesan esensialnya
adalah, agar pikiran yang liar diperlihara dan digembalakan agar tidak liar.
Sebab pikiran yang liar pasti menggagalkan pesan khusyu’ tersebut. Khusyu’ itu
adalah buah dari shalat. Sedangkan shalat hakikatnya adalah eksperimen
manunggal dengan Gusti. Manunggal itu adalah al-Islam, penyerahan diri <Wong
Jowo ngomonge’ Pasrah Bongkoan>. Sehingga doktrin manunggal bukanlah masalah
paham qadariyah atau jabariyah, fana’ atau ittihad.
Namun itu adalah
inti kehidupan. Khusyu’ bukanlah latihan konsentrasi, bukan pula meditasi.
Konsentrasi dan meditasi hanya salah satu alat latihan menggembalaan pikiran.
Wajar jika Syekh Siti Jenar menyebut ajaran para wali sebagai ajaran yang telah
dipalsukan dan menyebut shalat yang diajarkan para Wali adalah model shalatnya
para pencuri.
Puasa Zakat dan
Haji
TIGA PULUH
SEMBILAN
“Syahadat, shalat dan puasa itu, sesuatu yang tidak diinginkan, jadi tidak perlu. Adapun zakat dan naik haji ke Mekah, itu semua omong kosong (palson kabeh). Itu seluruhnya kedurjanaan budi, penipuan terhadap sesama manusia. Orang-orang dungu yg menuruti aulia, karena diberi harapan surga di kelak kemudian hari, itu sesungguhnya keduanya orang yang tidak tahu. Lain halnya dengan saya, Siti Jenar. Tiada pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di mesjid mengenakan jubah, pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang. Sesungguhnya hal ini tidak masuk akal! Di dunia ini semua manusia adalah sama. Mereka semua mengalami suka-duka, menderita sakit dan duka nestapa, tiada beda satu dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal saja, yaitu Gusti Zat Maulana.” <Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 38-39>.
“Syahadat, shalat dan puasa itu, sesuatu yang tidak diinginkan, jadi tidak perlu. Adapun zakat dan naik haji ke Mekah, itu semua omong kosong (palson kabeh). Itu seluruhnya kedurjanaan budi, penipuan terhadap sesama manusia. Orang-orang dungu yg menuruti aulia, karena diberi harapan surga di kelak kemudian hari, itu sesungguhnya keduanya orang yang tidak tahu. Lain halnya dengan saya, Siti Jenar. Tiada pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di mesjid mengenakan jubah, pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang. Sesungguhnya hal ini tidak masuk akal! Di dunia ini semua manusia adalah sama. Mereka semua mengalami suka-duka, menderita sakit dan duka nestapa, tiada beda satu dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal saja, yaitu Gusti Zat Maulana.” <Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 38-39>.
Syekh Siti jenar
menyebutkan bahwa syariat yang diajarkan para wali adalah “omong kosong
belaka”, atau “wes palson kabeh”(sudah tidak ada yang asli). Tentu istilah ini
sangat amat berbeda dengan anggapan orang selama ini, yang menyatakan bahwa
Syekh Siti Jenar menolak syari’at Islam. Yang ditolak adalah reduksi atas
syari’at tersebut. Syekh Siti Jenar menggunakan istilah “iku wes palson kabeh”,
yg artinya “itu sudah dipalsukan atau dibuat palsu semua.” Tentu ini berbeda
pengertiannya dengan kata “iku palsu kabeh” atau “itu palsu semua.”
Jadi yang
dikehendaki Syekh Siti Jenar adalah penekanan bahwa syari’at Islam pada masa
Walisanga telah mengalami perubahan dan pergeseran makna dalam pengertian
syari’at itu. Semuanya hanya menjadi formalitas belaka. Sehingga manfaat
melaksanakan syariat menjadi hilang. Bahkan menjadi mudharat karena
pertentangan yang muncul dari aplikasi formal syariat tsb.
Bagi Syekh Siti
Jenar, syariat bukan hanya pengakuan dan pelaksanaan, namun berupa penyaksian
atau kesaksian. Ini berarti dalam pelaksanaan syariat harus ada unsur
pengalaman spiritual. Nah, bila suatu ibadah telah menjadi palsu, tidak dapat
dipegangi dan hanya untuk membohongi orang lain, maka semuanya merupakan
keburukan di bumi. Apalagi sudah tidak menjadi sarana bagi kesejahteraan hidup
manusia. Ditambah lagi, justru syariat hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan
(seperti sekarang ini juga).Yang mengajarkan syari’at juga tidak lagi memahami
makna dan manfaat syari’at itu, dan tidak memiliki kemampuan mengajarkan
aplikasi syari’at yg hidup dan berdaya guna. Sehingga syari’at menjadi hampa
makna dan menambah gersangnya kehidupan rohani manusia.
Nah, yg dikritik
Syekh Siti Jenar adalah shalat yg sudah kehilangan makna dan tujuannya itu.
Shalat haruslah merupakan praktek nyata bagi kehidupan. Yakni shalat sebagai
bentuk ibadah yg sesuai dgn bentuk profesi kehidupannya. Orang yg melakukan
profesinya secara benar, karena Allah, maka hakikatnya ia telah melaksanakan
shalat sejati, shalat yg sebenarnya. Orientasi kepada yang Maha Benar dan
selalu berupaya mewujudkan Manunggaling Kawula Gusti, termasuk dalam karya,
karsa-cipta itulah shalat yg sesungguhnya. Itulah pula yang menjadi rangkaian
antara iman, Islam, dan Ihsan. Lalu bagaimana posisi shalat lima waktu? Shalat
lima waktu dalam hal ini menjadi tata krama syari’at atau shalat nominal.
Makna Ihsan
EMPAT PULUH
“Itulah yang dianggap Syekh Siti Jenar Hyang Widi. Ia berbuat baik dan menyembah atas kehendak-NYA. Tekad lahiriahnya dihapus. Tingkah lakunya mirip dengan pendapat yg ia lahirkan. Ia berketetapan hati untuk berkiblat dan setia, teguh dalam pendiriannya, kukuh menyucikan diri dari segala yg kotor, untuk sampai menemui ajalnya tidak menyembah kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar berpendapat dan menggangap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat rasul yg sejati, sifat Muhammad yg kudus.”
“Itulah yang dianggap Syekh Siti Jenar Hyang Widi. Ia berbuat baik dan menyembah atas kehendak-NYA. Tekad lahiriahnya dihapus. Tingkah lakunya mirip dengan pendapat yg ia lahirkan. Ia berketetapan hati untuk berkiblat dan setia, teguh dalam pendiriannya, kukuh menyucikan diri dari segala yg kotor, untuk sampai menemui ajalnya tidak menyembah kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar berpendapat dan menggangap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat rasul yg sejati, sifat Muhammad yg kudus.”
EMPAT PULUH SATU
“Gusti Zat Maulana. Dialah yg luhur dan sangat sakti, yg berkuasa maha besar, lagipula memiliki dua puluh sifat, kuasa atas kehendak-NYA. Dialah yg maha kuasa, pangkal mula segala ilmu, maha mulia, maha indah, maha sempurna, maha kuasa, rupa warna-NYA tanpa cacat seperti hamba-NYA. Di dalam raga manusia Ia tiada nampak. Ia sangat sakti menguasai segala yg terjadi dan menjelajahi seluruh alam semesta, Ngidraloka”.
“Gusti Zat Maulana. Dialah yg luhur dan sangat sakti, yg berkuasa maha besar, lagipula memiliki dua puluh sifat, kuasa atas kehendak-NYA. Dialah yg maha kuasa, pangkal mula segala ilmu, maha mulia, maha indah, maha sempurna, maha kuasa, rupa warna-NYA tanpa cacat seperti hamba-NYA. Di dalam raga manusia Ia tiada nampak. Ia sangat sakti menguasai segala yg terjadi dan menjelajahi seluruh alam semesta, Ngidraloka”.
Dua kutipan di
atas adalah aplikasi dari teologi Ihsan menurut Syekh Siti Jenar, bahwa
sifatullah merupakan sifatun-nafs. Ihsan sebagaimana ditegaskan oleh Nabi dalam
salah satu hadistnya (Sahih Bukhari, I;6), beribadah karena Allah dgn kondisi
si ‘Abid dalam keadaan menyaksikan (melihat langsung) langsung adanya si Ma’bud.
Hanya sikap inilah yg akan mampu membentuk kepribadian yg kokoh-kuat,
istiqamah, sabar dan tidak mudah menyerah dalam menyerukan kebenaran.
Sebab Syekh Siti
Jenar merasa, hanya Sang Wujud yg mendapatkan haq untuk dilayani, bukan
selain-NYA. Sehingga, dgn kata lain, Ihsan dalam aplikasinya atas pernyataan
Rasulullah adalah membumikan sifatullah dan sifatu-Muhammad menjadi sifat
pribadi.
Dengan memiliki
sifat Muhammad itulah, ia akan mampu berdiri kokoh menyerukan ajarannya dan
memaklumkan pengalamannya dalam “menyaksikan langsung” ada-NYA Allah.
“Persaksian langsung” itulah terjadi dalam proses manunggal.
EMPAT PULUH DUA
“Bonang, kamu mengundang saya datang di Demak. Saya malas untuk Datang, sebab saya merasa tidak di bawah atau diperintah oleh siapapun, kecuali oleh hati saya. Perintah hati itu yang saya turutinya, selain itu tidak ada yang saya patuhi perintahnya. Bukankah kita sesama mayat? Mengapa seseorang memerintah orang lain? Manusia itu sama satu dengan yang lain, sama-sama tidak mengetahui siapa Hyang Sukma itu. Yang disembah itu hanya nama-Nya saja. Meskipun demikian ia bersikap sombong, dan merasa berkuasa memerintah sesama bangkai.” <Serat Syaikh Siti Jenar, Ki Sasrawijaya, Pupuh VII Asmarandana, 50-51>.
“Bonang, kamu mengundang saya datang di Demak. Saya malas untuk Datang, sebab saya merasa tidak di bawah atau diperintah oleh siapapun, kecuali oleh hati saya. Perintah hati itu yang saya turutinya, selain itu tidak ada yang saya patuhi perintahnya. Bukankah kita sesama mayat? Mengapa seseorang memerintah orang lain? Manusia itu sama satu dengan yang lain, sama-sama tidak mengetahui siapa Hyang Sukma itu. Yang disembah itu hanya nama-Nya saja. Meskipun demikian ia bersikap sombong, dan merasa berkuasa memerintah sesama bangkai.” <Serat Syaikh Siti Jenar, Ki Sasrawijaya, Pupuh VII Asmarandana, 50-51>.
Ihsan berasal dari
kondisi hati yg bersih. Dan hati yg bersih adalah pangkal serta cermin seluruh
eksistensi manusia di bumi. Keihsanan melahirkan ketegasan sikap dan menentang
ketundukan membabi-buta kepada makhluk. Ukuran ketundukan hati adalah Allah
atau Sang Pribadi. Oleh karena itu, sesama manusia dan makhluk saling memiliki
kemerdekaan dan kebebasan diri. Dan kebebasan serta kemerdekaan itu sifatnya
pasti membawa kepada kemajuan dan peradaban manusia, serta tatanan masyarakat
yg baik, sebab diletakkan atas landasan Ke-Ilahian manusia. Penjajahan atas
eksistensi manusia lain hakikatnya adalah bentuk dari ketidaktahuan manusia
akan Hyang Widhi…Allah (seperti Rosul sering sekali mengatakan bahwa
“Sesungguhnya mereka tidak mengerti”).
Karena buta
terhadap Allah Yang Maha Hadir bagi manusia itulah, maka manusia sering
membabi-buta merampas kemanusiaan orang lain. Dan hal ini sangat ditentang oleh
Syekh Siti Jenar. Termasuk upaya sakralisasi kekuasaan Kerajaan Demak dan
Sultannya, bagi Syekh Siti Jenar harus ditentang, sebab akan menjadi akibat tergerusnya
ke-Ilahian ke dalam kedzaliman manusia yang mengatasnamakan hamba Allah yg
shalih dan mengatasnamakan demi penegakan syari’at Islam.
EMPAT PULUH TIGA
“Hyang Widi, wujud yg tak nampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnya mempunyai wujud, seperti penampakan raga yg tiada tampak. Warnanya melambangkan keselamatan, tetapi tanpa cahaya atau teja, halus, lurus terus-menerus, menggambarkan kenyataan tiada berdusta, ibaratnya kekal tiada bermula, sifat dahulu yg meniadakan permulaan, karena asal dari diri pribadi.”
“Hyang Widi, wujud yg tak nampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnya mempunyai wujud, seperti penampakan raga yg tiada tampak. Warnanya melambangkan keselamatan, tetapi tanpa cahaya atau teja, halus, lurus terus-menerus, menggambarkan kenyataan tiada berdusta, ibaratnya kekal tiada bermula, sifat dahulu yg meniadakan permulaan, karena asal dari diri pribadi.”
Pribadi adalah
pancaran roh, sebagai tajalli atau pengejawantahan Tuhan. Dan itu hanya
terwujud dengan proses wujudiyah, Manuggaling Kawula-Gusti, sebagai puncak dan
substansi tauhid. Maka manusia merupakan wujud dari sifat dan dzat Hyang Widi
itu sendiri. Dengan manusia yg manunggal itulah maka akan menjadikan
keselamatan yg nyata bukan keselamatan dan ketentraman atau kesejahteraan yg
dibuat oleh rekayasa manusia, berdasarkan ukurannya sendiri. Namun keselamatan
itu adalah efek bagi terejawantah-NYA Allah melalui kehadiran manusia.
Sehingga proses
terjadinya keselamatan dan kesejahteraan manusia berlangsung secara natural
(sunnatullah), bukan karena hasil sublimasi manusia, baik melalui kebijakan
ekonomi, politik, rekayasa sosial dan semacamnya sebagaimana selama ini
terjadi.
Maka dapat
diketahui bahwa teologi Manuggaling Kawula Gusti adalah teologi bumi yg lahir
dengan sendirinya sebagai sunnatullah. Sehingga ketika manusia
mengaplikasikannya, akan menghasilkan manfaat yg natural juga dan tentu
pelecehan serta perbudakan kemanusiaan tidak akan terjadi, sifat merasa ingin
menguasai, sifat ingin mencari kekuasaan, memperebutkan sesama manusia tidak
akan terjadi. Dan tentu saja pertentangan antar manusia sebagai akibat
perbedaan paham keagamaan, perbedaan agama dan sejenisnya juga pasti tidak akan
terjadi.
EMPAT PULUH EMPAT
“Sabda sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah Allah, kang murba amisesa.” <Kitab Mantra Yoga, hlm. 63>.
“Sabda sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah Allah, kang murba amisesa.” <Kitab Mantra Yoga, hlm. 63>.
Pernyataan Syekh
Siti Jenar di atas sengaja penulis nukilkan dalam bahasa aslinya, dikarenakan
multi-interpretasi yang dapat muncul dari mutiara ucapan tersebut. Secara garis
besar maknanya adalah, “Pernyataan roh, yang bertemu-hadapan dengan Allah, yang
menyembah Allah, yang disembah Allah, yang meliputi segala sesuatu.”
Inilah adalah
salah satu sumber pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar yang maksudnya adalah
sukma (roh di kedalaman jiwa) sebagai pusat kalam (pembicaraan dan ajaran). Hal
itu diakibatkan karena di kedalaman roh batin manusia tersedia cermin yang
disebut mir’ah al-haya’ (cermin yang memalukan). Bagi orang yang sudah bisa
mengendalikan hawa nafsunya serta mencapai fana’ cermin tersebut akan muncul,
yang menampakkan kediriannya dengan segala perbuatan tercelanya. Jika ini telah
terbuka maka tirai-tirai rohani juga akan tersingkap, sehingga kesejatian
dirinya beradu-satu (adhep-idhep), “aku ini kau, tapi kau aku”. Maka jadilah
dia yang menyembah sekaligus yang disembah, sehingga dirinya sebagai
kawula-Gusti memiliki wewenang murba amisesa, memberi keputusan apapun tentang
dirinya, menyatu iradah dan kodrat kawula-Gusti.
EMPAT PULUH LIMA
“Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman yang jika sudah diminta oleh yang empunya, akan menjadi tanah dan membusuk, hancurlebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur, dan seringkali tidak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya. Kalau sudah sampai sedemikian jauhnya, baru orang menyesalkan perbuatannya.” <Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 42-44>.
“Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman yang jika sudah diminta oleh yang empunya, akan menjadi tanah dan membusuk, hancurlebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur, dan seringkali tidak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya. Kalau sudah sampai sedemikian jauhnya, baru orang menyesalkan perbuatannya.” <Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 42-44>.
Menurut Syekh Siti
Jenar, baik pancaindera maupun perangkat akal tidak dapat dijadikan pegangan
dan pedoman hidup. Sebab semua itu bersifat baru, bukan azali. Satu-satunya
yang bisa dijadikan gondhelan dan gandhulan hanyalah Zat Wajibul Maulana, Zat
Yang Maha Melindungi. Pancaindera adalah pintu nafsu, dan akal adalah pintu
bagi ego. Semuanya harus ditundukkan di bawah Zat Yang Wajib Memimpin.
Karena itu Dialah
yang menunjukkan semua budi baik. Jadi pencaindera harus dibimbing oleh budi
dan budi dipimpin oleh Sang Penguasa Budi atau Yang Maha Budi.
Sedangkan Yang
Maha Budi itu tidak terikat dalam jeratan dan jebakan nama tertentu. Sebab nama
bukanlah hakikat. Nama itu bisa Allah, Hyang Widhi, Hyang Manon, Sang Wajibul
Maulana, dan sebagainya. Semua itu produk akal sehingga nama tidak perlu
disembah. Jebakan nama dalam syari’at justru malah merendahkan Nama-Nya.
EMPAT PULUH LIMA
“Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, sungsum, bisa rusak dan bagaimana cara Anda memperbaikinya? Biarpun bersembahyang seribu kali setiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan Anda, Anda tutupi akhirnya menjadi debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para Wali dapat membawa pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini baru. Tuhan tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat tatanan baru, dalilnya layabtakiru hilamuhdil yang artinya tidak membuat sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam semesta sesudah dia membuat dunia.” <Suluk Wali Sanga R. Tanaja, hlm. 44, 51>.
“Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, sungsum, bisa rusak dan bagaimana cara Anda memperbaikinya? Biarpun bersembahyang seribu kali setiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan Anda, Anda tutupi akhirnya menjadi debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para Wali dapat membawa pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini baru. Tuhan tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat tatanan baru, dalilnya layabtakiru hilamuhdil yang artinya tidak membuat sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam semesta sesudah dia membuat dunia.” <Suluk Wali Sanga R. Tanaja, hlm. 44, 51>.
Dari pernyataan
Syekh Siti Jenar tersebut, nampak bahwa Syekh Siti Jenar memandang alam semesta
sebagai makrokosmos sama dengan mikrokosmos (manusia). Sekurangnya kedua hal
itu merupakan barang baru ciptaan Tuhan yang sama-sama akan mengalami
kerusakan, tidak kekal dan tidak abadi.
Pada sisi yang
lain, pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut juga memiliki muatan makna
pernyataan sufistik, “Barangsiapa mengnal dirinya, maka ia pasti mengenal
Tuhannya.” Sebab bagi Syekh Siti Jenar, manusia yang utuh dalam jiwa raganya
merupakan wadag bagi penyanda, termasuk wahana penyanda alam semesta. Itulah
sebabnya pengelolaan alam semesta menjadi tanggungjawab manusia. Maka,
mikrokosmos manusia tidak lain adalah blueprint dan gambaran adanya jagat besar
termasuk semesta.
Bagi Syekh Siti
Jenar, manusia terdiri dari jiwa dan raga yang intinya ialah jiwa sebagai
penjelmaan dzat Tuhan (sang Pribadi). Sedangkan raga adalah bentuk luar dari
jiwa yang dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh seperti daging, otot,
darah dan tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman
yang suatu saat setelah manusia terlepas dari pengalaman kematian di dunia ini,
akan kembali berubah menjadi tanah. Sedangkan rohnya yang menjadi tajalli
Ilahi, manunggal ke dalam keabadian dengan Allah.
Manusia tidak lain
adalah ke-Esa-an dalam af’al Allah. Tentu ke-Esa-an bukan sekedar af’al, sebab
af’al digerakkan oleh dzat. Sehingga af’al yang menyatu menunjukkan adanya
ke-Esa-an dzat, ke mana af’al itu dipancarkan.
EMPAT PULUH LIMA
“Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini pada hakikatnya adalah af’al (perbuatan) Allah. Berbagai hal yang dinilai baik maupun buruk pada hakikatnya adalah dari Allah juga. Jadi keliru dan sesat pandangan yang mengatakan bahwa yang baik dari Allah dan yang buruk selain Allah.” “…Af’al Allah harus dipahami dari dalam dan luar diri. Saat manusia menggoreskan pena misalnya, di situlah terjadi perpaduan dua kemampuan kodrati yang dipancarkan oleh Allah kepada makhluk-Nya, yakni kemampuan kodrati gerak pena. Di situlah berlaku dalil Wa Allahu khalaqakum wa ma ta’malun (QS. Ash-Shaffat:96), yang maknanya Allah yang menciptakan engkau dan segala apa yang engkau perbuat. Di sini terkandung makna mubasyarah. Perbuatan yang terlahir dari itu disebut al-tawallud. Misalnya saya melempar batu. Batu yang terlempar dari tangan saya itu adalah berdasar kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku dalil Wa ma ramaitaidz ramaita walakinna Allaha rama (QS. Al-Anfal:17), maksudnya bukanlah engkau yang melempar, melainkan Allah jua yang melempar ketika engkau melempar. Namun pada hakikatnya antara mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni af’al Allah sehingga berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-‘aliyi al-adzimi. Rasulullah bersabda la tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi, yang maksudnya tidak bergerak satu dzarah pun melainkan atas izin Allah.” <Suluk Syekh Siti Jenar, I, hlm. 182-283>.
“Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini pada hakikatnya adalah af’al (perbuatan) Allah. Berbagai hal yang dinilai baik maupun buruk pada hakikatnya adalah dari Allah juga. Jadi keliru dan sesat pandangan yang mengatakan bahwa yang baik dari Allah dan yang buruk selain Allah.” “…Af’al Allah harus dipahami dari dalam dan luar diri. Saat manusia menggoreskan pena misalnya, di situlah terjadi perpaduan dua kemampuan kodrati yang dipancarkan oleh Allah kepada makhluk-Nya, yakni kemampuan kodrati gerak pena. Di situlah berlaku dalil Wa Allahu khalaqakum wa ma ta’malun (QS. Ash-Shaffat:96), yang maknanya Allah yang menciptakan engkau dan segala apa yang engkau perbuat. Di sini terkandung makna mubasyarah. Perbuatan yang terlahir dari itu disebut al-tawallud. Misalnya saya melempar batu. Batu yang terlempar dari tangan saya itu adalah berdasar kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku dalil Wa ma ramaitaidz ramaita walakinna Allaha rama (QS. Al-Anfal:17), maksudnya bukanlah engkau yang melempar, melainkan Allah jua yang melempar ketika engkau melempar. Namun pada hakikatnya antara mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni af’al Allah sehingga berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-‘aliyi al-adzimi. Rasulullah bersabda la tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi, yang maksudnya tidak bergerak satu dzarah pun melainkan atas izin Allah.” <Suluk Syekh Siti Jenar, I, hlm. 182-283>.
EMPAT PULUH
DELAPAN
Menurut Syekh Siti Jenar, bahwa al-Fatihah adalah termasuk salah satu kunci sahnya orang yang menjalani laku manunggal (ngibadah). Maka seseorang wajib mengetahui makna mistik surat al-Fatihah. Sebab menurut Syekh Siti Jenar, lafal al-Fatihah disebut lafal yang paling tua dari seluruh sabda-Sukma. Inilah tafsir mistik al-Fatihah Syekh Siti Jenar. <Primbon Sabda Sasmaya; hlm. 26-27>.
Menurut Syekh Siti Jenar, bahwa al-Fatihah adalah termasuk salah satu kunci sahnya orang yang menjalani laku manunggal (ngibadah). Maka seseorang wajib mengetahui makna mistik surat al-Fatihah. Sebab menurut Syekh Siti Jenar, lafal al-Fatihah disebut lafal yang paling tua dari seluruh sabda-Sukma. Inilah tafsir mistik al-Fatihah Syekh Siti Jenar. <Primbon Sabda Sasmaya; hlm. 26-27>.
Bis…………………………
kedudukannya…………. ubun-ubun.
Millah………………………kedudukannya….. ………rasa.
Al-Rahman-al-Rahim…….kedudukannya……………penglihatan (lahir batin).
Al-hamdu…………………kedudukannya………… …hidupmu (manusia).
Lillahi………………………kedudukannya…. ……….cahaya.
Rabbil-‘alamin…………….kedudukannya…………..n yawa dan napas.
Al-Rahman al-Rahim…….kedudukannya……………leher dan jakun.
Maliki……………………..kedudukannya…… ………dada.
Yaumiddin………………..kedudukannya……… ……jantung (hati).
Iyyaka……………………kedudukannya…….. …….hidung.
Na’budu…………………..kedudukannya…….. …….perut.
Waiyyaka nasta’in………kedudukannya…………….dua bahu.
Ihdinash………………….kedudukannya…….. ……..sentil (pita suara).
Shiratal…………………..kedudukannya……. ………lidah.
Mustaqim…………………kedudukannya……… ……tulang punggung (ula-ula).
Shiratalladzina…………..kedudukannya……… …….dua ketiak.
An’amta…………………..kedudukannya…….. ……..budi manusia.
‘alaihim……………………kedudukannya…… ………tiangnya (pancering) hati.
Ghairil…………………….kedudukannya…… ……….bungkusnya nurani.
Maghdlubi………………..kedudukannya……… …….rempela/empedu.
‘alaihim……………………kedudukannya…… ……….dua betis.
Waladhdhallin……………kedudukannya………. ……mulut dan perut (panedha).
Amin………………………kedudukannya……. ………penerima.
Millah………………………kedudukannya….. ………rasa.
Al-Rahman-al-Rahim…….kedudukannya……………penglihatan (lahir batin).
Al-hamdu…………………kedudukannya………… …hidupmu (manusia).
Lillahi………………………kedudukannya…. ……….cahaya.
Rabbil-‘alamin…………….kedudukannya…………..n yawa dan napas.
Al-Rahman al-Rahim…….kedudukannya……………leher dan jakun.
Maliki……………………..kedudukannya…… ………dada.
Yaumiddin………………..kedudukannya……… ……jantung (hati).
Iyyaka……………………kedudukannya…….. …….hidung.
Na’budu…………………..kedudukannya…….. …….perut.
Waiyyaka nasta’in………kedudukannya…………….dua bahu.
Ihdinash………………….kedudukannya…….. ……..sentil (pita suara).
Shiratal…………………..kedudukannya……. ………lidah.
Mustaqim…………………kedudukannya……… ……tulang punggung (ula-ula).
Shiratalladzina…………..kedudukannya……… …….dua ketiak.
An’amta…………………..kedudukannya…….. ……..budi manusia.
‘alaihim……………………kedudukannya…… ………tiangnya (pancering) hati.
Ghairil…………………….kedudukannya…… ……….bungkusnya nurani.
Maghdlubi………………..kedudukannya……… …….rempela/empedu.
‘alaihim……………………kedudukannya…… ……….dua betis.
Waladhdhallin……………kedudukannya………. ……mulut dan perut (panedha).
Amin………………………kedudukannya……. ………penerima.
Tafsir mistik
Syekh Siti Jenar tetap mengacu kepada Manunggaling Kawula-Gusti, sehingga baik
badan wadag manusia sampai kedalaman rohaninya dilambangkan sebagai tempat
masing-masing dari lafal surat al-Fatihah. Tentu saja pemahaman itu disertai
dengan penghayatan fungsi tubuh seharusnya masing-masing, dikaitkan dengan
makna surahi dalam masing-masing lafadz, maka akan ditemukan kebenaran tafsir
tersebut, apalagi kalau sudah disertai dengan pengalaman rohani/spiritual yang
sering dialami.
Konteks pemahaman
yang diajukan Syekh Siti Jenar adalah, bahwa al-Qur’an merupakan “kalam” yang
berarti pembicaraan. Jadi sifatnya adalah hidup dan aktif. Maka taksir mistik
Syekh Siti Jenar bukan semata harfiyah, namun di samping tafsir kalimat, Syekh
Siti Jenar menghadirkan tafsir mistik yang bercorak menggali makna di balik
simbol yang ada (dalam hal ini huruf, kalimat dan makna historis).
EMPAT PULUH
SEMBILAN
“Di di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yang cepat juga akan menjadi busuk dan bercampur tanah…Ketahuilah juga, apa yang dinamakan kawula-Gusti tidak berkaitan dengan seorang manusia biasa seperti yang lain-lain. Kawula dan Gusti itu sudah ada dalam diriku, siang malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya untuk saat ini nama kawula-Gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, gusti dan kawula lenyap, yang tinggal hanya hidupku sendiri, ketentraman langgeng dalam Ada sendiri. Bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dengan tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang terdapat banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera. Itu hanya impian yang sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan cepat lenyap. Gilalah orang yang terikat padanya. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yang kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan.” <Serat Syekh Siti Jenar, Sinom, Widya Pustaka; hlm. 25-26 bait 30-36>.
“Di di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yang cepat juga akan menjadi busuk dan bercampur tanah…Ketahuilah juga, apa yang dinamakan kawula-Gusti tidak berkaitan dengan seorang manusia biasa seperti yang lain-lain. Kawula dan Gusti itu sudah ada dalam diriku, siang malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya untuk saat ini nama kawula-Gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, gusti dan kawula lenyap, yang tinggal hanya hidupku sendiri, ketentraman langgeng dalam Ada sendiri. Bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dengan tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang terdapat banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera. Itu hanya impian yang sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan cepat lenyap. Gilalah orang yang terikat padanya. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yang kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan.” <Serat Syekh Siti Jenar, Sinom, Widya Pustaka; hlm. 25-26 bait 30-36>.
Syekh Siti Jenar
menyatakan secara tegas bahwa dirinya sebagai Tuhan, ia memiliki hidup dan Ada
dalam dirinya sendiri, serta menjadi Pangeran bagi seluruh isi dunia. Sehingga
didapatkan konsistensi antara keyakinan hati, pengalaman keagamaan, dan sikap
perilaku dzahirnya. Juga ditekankan satu satu hal yang selalu tampil dalam
setiap ajaran Syekh Siti Jenar. Yakni pendapat bahwa manusia selama masih
berada di dunia ini, sebetulnya mati, baru sesudah ia dibebaskan dari dunia
ini, akan dialami kehidupan sejati. Kehidupan ini sebenarnya kematian ketika
manusia dilahirkan. Badan hanya sesosok mayat karena ditakdirkan untuk sirna.
(bandingkan dengan Zotmulder; 364). Dunia ini adalah alam kubur, di mana roh
suci terjerat badan wadag yang dipenuhi oleh berbagai goda-nikmat yang
menguburkan kebenaran sejati, dan berusaha mengubur kesadaran Ingsun Sejati.
LIMA PULUH
“Syekh Siti Jenar berpendapat dan mengganggap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat Rasul yang sejati, sifat Muhammad yang kudus. Ia berpendapat juga, bahwa hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman, yang jika sudah diminta oleh empunya akan menjadi tanah dan membusuk, hancur-lebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup.”
“Syekh Siti Jenar berpendapat dan mengganggap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat Rasul yang sejati, sifat Muhammad yang kudus. Ia berpendapat juga, bahwa hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman, yang jika sudah diminta oleh empunya akan menjadi tanah dan membusuk, hancur-lebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup.”
“Demikian pula
budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat
dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa
tidur, dan sering kali tidak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak
dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju
perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah
kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya.” <Serat Syekh Siti Jenar, Ki
Sasrawijaya, Pupuh III : Dandang Gula, 27-28; Falsafah Sitidjenar, hlm. 33>.
“Kalau kamu ingin
berjumpa dengan dia, saya pastikan kamu tidak akan menemuinya, sebab Kyai Ageng
berbadan sukma, mengheningkan puja ghaib. Yang dipuja dan yang memuja, yang
dilihat dan melihat yang bersabda sedang bertutur, gerak dan diam bersatu
tunggal. Nah, buyung yang sedang berkunjung, lebih baik kembali saja.”
<Pupuh XIII Sinom, 29; Falsafah Sitidjenar, hlm. 34>.
Ini adalah
pandangan Syekh Siti Jenar tentang psikologi dan pengetahuan. Menurut Syekh
Siti Jenar, sumber ilmu pengetahuan itu terdiri atas tiga macam; pancaindera,
akal-nalar, dan intuisi (wahyu). Hanya saja pancaindera dan nalar tidak bisa
dijadikan pedoman pasti. Hanya intuisi yang berasal dari orang yang sudah
manunggallah yang betul-betul diandalkan sebagai pengetahuan.
Oleh karenanya,
konsistensi dengan pendapat tersebut, Syekh Siti Jenar menegaskan bahwa baginya
Muhammad bukan semata sosok utusan fisik, yang hanya memberikan ajaran Islam
secara gelondongan, dan setelah wafat tidak memiliki fungsi apa-apa, kecuali
hanya untuk diimani.
Justru Syekh Siti
Jenar menjadikan Pribadi Rasulullah Muhammad sebagai roh yang bersifat aktif.
Dalam memahami konsep syafa’at, Syekh Siti Jenar berpandangan bahwa syafa’at
tidak bisa dinanti dan diharap kehadirannya kelak di kemudian hari. Justru
syafa’at Muhammad hanya terjadi bagi orang yang menjadikan dirinya Muhammad,
me-Muhammad-kan diri dengan keseluruhan sifat dan asmanya. Rahasia asma Allah
dan asma Rasulullah adalah bukan hanya untuk diimani, tetapi harus merasuk
dalam Pribadi, menyatu-tubuh dan rasa. Itulah perlunya Nur Muhammad, untuk
menyatu cahaya dengan Sang Cahaya. Dan itu semua bisa terjadi dalam proses
Manunggaling Kawula-Gusti.
LIMA PULUH SATU
“Bukan kehendak, angan-angan, bukan ingatan, pikir atau niat, hawa nafsu pun bukan, bukan juga kekosongan atau kehampaan. Penampilanku bagai mayat baru, andai menjadi gusti jasadku dapat busuk bercampur debu, napasku terhembus ke segala penjuru dunia, tanah, api, air, kembali sebagai asalnya, yaitu kembali menjadi baru. Syekh Siti Jenar belum mau menuruti perintah sultan. Hal ini disebabkan karena bumi, langit, dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia. Manusialah yang memberikan nama. Buktinya sebelum saya lahir tidak ada.
“Bukan kehendak, angan-angan, bukan ingatan, pikir atau niat, hawa nafsu pun bukan, bukan juga kekosongan atau kehampaan. Penampilanku bagai mayat baru, andai menjadi gusti jasadku dapat busuk bercampur debu, napasku terhembus ke segala penjuru dunia, tanah, api, air, kembali sebagai asalnya, yaitu kembali menjadi baru. Syekh Siti Jenar belum mau menuruti perintah sultan. Hal ini disebabkan karena bumi, langit, dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia. Manusialah yang memberikan nama. Buktinya sebelum saya lahir tidak ada.
Syekh Siti Jenar
menghubungkan antara alam yang diciptakan Allah, dengan konteks kebebasan dan
kemerdekaan manusia. Kebebasan alam mencerminkan kebebasan manusia. Segala
sesuatu harus berlangsung dan mengalami hal yang natural (alami), tanpa
rekayasa, tanpa pemaksaan iradah dan qudrah. Maka ketidakmauannya memenuhi
penggilan sultan, dikarenakan dirinya hanyalah milik Dirinya Sendiri. Jadi
seluruh manusia masing-masing mamiliki hak mengelola alam. Alam bukan milik
negara atau raja, namun milik manusia bersama. Maka setiap orang harus memiliki
dan diberi hak kepemilikan atas alam. Ada yang harus dimiliki secara privat dan
ada juga yang harus dimiliki secara kolektif.
Dari wejangan
Syekh Siti Jenar tersebut, juga diketahui bahwa hakikat seluruh alam semesta
adalah tajaliyat Tuhan (penampakan wajah Tuhan). Adapun mengenai alam yang
kemudian memiliki nama, bukanlah nama yang sesungguhnya, sebab segala sesuatu
yang ada di bumi ini, manusialah yang memberi nama, termasuk nama Tuhanpun,
dalam pandangan Syekh Siti Jenar, diberikan oleh manusia. Dan nama-nama itu
seluruhnya akan kembali kepada Sang Pemilik Nama yang sesungguhnya. <Untuk
sejarah pemberian nama Tuhan, lihat buku Karen Armstrong, The History of God:
The 4.000 Quest of Judaism, Christianity and Islam. New York: Ballatine,
1993>. Maka memang nama itu perlu, namun jangan sampai menjebak manusia
hanya untuk memperdebatkan nama.
Tarekat dan Jalan
Mistik Syekh Siti Jenar
LIMA PULUH DUA
“Adapun asalnya kehidupan itu, berdasar kitab Ma’rifat al’iman, seperti dijelaskan di bawah ini, terbebani 16 macam titipan;
Yang dari Muhammad : roh, napas.
Yang dari Malaikat : budi, iman.
Yang dari Tuhan : pendengaran, penciuman, pengucapan, penglihatan.
Yang dari Ibu : kulit, daging, darah, bulu.
Yang dari Bapak : tulang, sungsum, otot, otak.
“Adapun asalnya kehidupan itu, berdasar kitab Ma’rifat al’iman, seperti dijelaskan di bawah ini, terbebani 16 macam titipan;
Yang dari Muhammad : roh, napas.
Yang dari Malaikat : budi, iman.
Yang dari Tuhan : pendengaran, penciuman, pengucapan, penglihatan.
Yang dari Ibu : kulit, daging, darah, bulu.
Yang dari Bapak : tulang, sungsum, otot, otak.
Inilah maksud dari
lafal “kulusyaun halikun ilawajahi”, maksudnya semua itu akan rusak kecuali
dzat Allah yang tidak rusak. <Sang Indrajit, Wedha Mantra : 1979, Bab 203,
hlm. 51>.
Kitab Ma’rifat
al-Iman adalah karya dari Maulana Ibrahim al-Ghazi, al-Samarqandi, yang menjadi
salah satu sumber bacaan Syekh Siti Jenar.
Kalimat “kulusyaun
halikun ilawajahi” lebih tepatnya berbunyi “kullu syai-in halikun illa wajhahu”
(Segala sesuatu itu pasti hancur musnah, kecuali wajah-Nya (penampakan wajah
Allah)) [QS : Al-Qashashash / 28:88]. Dari kalimat inilah Syekh Siti Jenar
mengungkapkan pendapatnya, bahwa badan wadag akan hancur mengikuti asalnya,
tanah. Sedangkan Ingsun Sejati (Jiwa) mengikuti “illa wajhahu”, (kecuali
wajah-Nya). Ini juga menjadi salah satu inti dan kunci dalam memahami teori
kemanunggalan Syekh Siti Jenar. Maka kata wajhahu di sini diberikan makna
Dzatullah.
Bagi Syekh Siti
Jenar, antara Nur Muhammad, Malaikat, dan Tuhan, bukanlah unsur yang saling
berdiri sendiri-sendiri sebagaimana umumnya dipahami manusia. Nur Muhammad dan
malaikat adalah termasuk dalam Ingsun Sejati. Ini berhubungan erat dengan
pernyataan Allah, bahwa segala sesuatu yang diberikan kepada manusia (seperti
pendengaran, penglihatan dan sebagainya) akan dimintakan pertanggungjawabannya
kepada Allah, maksudnya adalah apakah dengan alat titipan itu, manusia bisa
manunggal dengan Allah atau tidak. Sedangkan proses kejadian manusia yang
melalui orangtua, adalah sarana pembuatan jasad fisik, yang di alam kematian
dunia, roh berada dalam penjara badan wadag tersebut.
LIMA PULUH TIGA
“Kehilangan adalah kepedihan. Berbahagialah engkau, wahai musafir papa, yang tidak memiliki apa-apa. Sebab, engkau yang tidak memiliki apa-apa maka tidak pernah kehilangan apa-apa.” <Suluk Syekh Siti Jenar, I, hlm. 292>.
“Kehilangan adalah kepedihan. Berbahagialah engkau, wahai musafir papa, yang tidak memiliki apa-apa. Sebab, engkau yang tidak memiliki apa-apa maka tidak pernah kehilangan apa-apa.” <Suluk Syekh Siti Jenar, I, hlm. 292>.
Hakikat Zuhud
bukanlah meninggalkan atau mengasingkan diri dari dunia. Zuhud adalah perasaan
tidak memiliki apa-apa terhadap makhluk lain, sebab teologi kepemilikan itu
hakikatnya tunggal. Manusia baru memiliki segalanya ketika ia telah berhasil
Manunggal dengan Gustinya, sebab Gusti adalah Yang Maha Kuasa, otomatis Yang
Maha Memiliki. Sehingga dalam menjalani kehidupan di dunia ini, sikap yang
realistis adalah perasaan tidak memiliki, karena sebatas itu antara makhluk
(manusia) dengan makhluk lain (apa pun yang bisa ‘dimiliki’ manusia) tidak bisa
saling memiliki dan dimiliki. Karena semua itu merupakan aspek dari
ketunggalan.
Orang yang masih
selalu merasa ‘memiliki’ akan makhluk lain, pasti tidak akan berhasil menjadi
salik (penempuh jalan spiritual) yang akan sampai ke tujuan sejatinya, yakni
Allah Yang Maha Tunggal, karena memang ia belum mampu untuk manunggal. Nah,
zuhud dalam pandangan Syekh Siti Jenar adalah menjadi satu maqamat menuju
kemanunggalan dan menjadi salah satu poros keihsanan dan keikhlasan.
LIMA PULUH EMPAT
“Jika engkau kagum kepada seseorang yang engkau anggap Wali Allah, janganlah engkau terpancang pada kekaguman akan sosok dan perilaku yang diperbuatnya. Sebab saat seseorang berada pada tahap kewalian maka keberadaan dirinya sebagai manusia telah lenyap, tenggelam ke dalam al-Waly. Kewalian bersifat terus-menerus, hanya saja saat Sang Wali tenggelam dalam al-Waly. Berlangsungnya Cuma beberapa saat. Dan saat tenggelam ke dalam al-Waly itulah sang wali benar-benar menjadi pengejawantahan al-Waly. Lantaran itu, sang wali memiliki kekeramatan yang tidak bisa diukur dengan akal pikiran manusia, di mana karamah itu sendiri pada hakikatnya adalah pengejawantahan dari kekuasaan al-Waly. Dan lantaran itu pula yang dinamakan karamah adalah sesuatu di luar kehendak sang wali pribadi. Semua itu semata-mata kehendak-Nya mutlak.
“Jika engkau kagum kepada seseorang yang engkau anggap Wali Allah, janganlah engkau terpancang pada kekaguman akan sosok dan perilaku yang diperbuatnya. Sebab saat seseorang berada pada tahap kewalian maka keberadaan dirinya sebagai manusia telah lenyap, tenggelam ke dalam al-Waly. Kewalian bersifat terus-menerus, hanya saja saat Sang Wali tenggelam dalam al-Waly. Berlangsungnya Cuma beberapa saat. Dan saat tenggelam ke dalam al-Waly itulah sang wali benar-benar menjadi pengejawantahan al-Waly. Lantaran itu, sang wali memiliki kekeramatan yang tidak bisa diukur dengan akal pikiran manusia, di mana karamah itu sendiri pada hakikatnya adalah pengejawantahan dari kekuasaan al-Waly. Dan lantaran itu pula yang dinamakan karamah adalah sesuatu di luar kehendak sang wali pribadi. Semua itu semata-mata kehendak-Nya mutlak.
Kekasih Allah itu
ibarat cahaya. Jika ia berada di kejauhan, kelihatan sekali terangnya. Namun
jika cahaya itu di dekatkan ke mata, mata kita akan silau dan tidak bisa
melihatnya dengan jelas. Semakin dekat cahaya itu ke mata maka kita akan
semakin buta tidak bisa melihatnya. Engkau bisa melihat cahaya kewalian pada
diri seseorang yang jauh darimu. Namun, engkau tidak bisa melihat cahaya
kewalian yang memancar dari diri orang-orang yang terdekat denganmu.” <Suluk
Syekh Siti Jenar, II, hlm. 246-248>.
Doktrin kewalian
Syekh Siti Jenar sangat berbeda dengan doktrin kewalian orang Islam pada
umumnya. Bagi Syekh Siti Jenar, yang menentukan seseorang itu wali atau bukan
hanyalah pemilik nama al-Waliy, yaitu Allah. Sehingga seorang wali tidak akan
pernah peduli dengan berbagai tetek-bengek pandangan manusia dan makhluk lain
terhadapnya. Demikian pula terhadap orang yang memandang kewalian seseorang.
Syekh Siti Jenar
menasihatkan agar jangan terkagum-kagum dan menetukan kewalian hanya karena perilaku
serta kewajiban yang muncul darinya. Yang harus diingat adalah bahwa para
auliya’ Allah adalah pengejawantahan dari Allah al-Waliy. Sehingga apapun yang
lahir dari wali tersebut, bukanlah perilaku manusia dalam wadagnya, namun itu
adalah perbuatan Allah. Seorang wali dalam pandangan Syekh Siti Jenar tidak
lain adalah manusia yang manunggal dengan al-Waliy dan itu berlangsung
terus-menerus. Hanya saja perlu diingat, setiap tajalliyat-Nya adalah bagian
dari si Wali tersebut, namun tidak semua sisi dan perbuatan si wali adalah
perbuatan atau af’al al-Waliy.
Oleh karena itu
sampai di sini, kita harus menyikapi dengan kritis terhadap sebagian
naskah-naskah Jawa Tengahan yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar pernah
mengungkapkan pernyataan, “di sini tidak ada Syekh Siti Jenar, yang ada hanya
Allah,” serta ungkapan sebaliknya “di sini tidak ada Allah, yang ada hanya Siti
Jenar.” Kisah yang berhubungan dengan pernyataan tersebut, hanya anekdot atau
kisah konyol dan bukan kisah yang sebenarnya. Dan itu merupakan bentuk
penggambaran ajaran anunggaling Kawula Gusti yang salah kaprah. Pernyataan
pertama “di sini tidak ada Syekh Siti Jenar, yang ada hanya Allah,” memang
benar adanya. Namun pernyataan kedua, “di sini tidak ada Allah, yang ada hanya
Siti Jenar,” tidak bisa dianggap benar, dan jelas keliru.
Teologi
Manunggaling Kawula Gusti bukanlah teologi Fir’aun yang menganggap
kedirian-insaniyahnya menjadi Tuhan, sekaligus dengan keberadaan manusia
sebagai makhluk di dunia ini. Jadi kita harus ekstra hati-hati dalam memilah
dan memilih naskah-naskah tersebut., sebab banyak juga pernyataan yang
disandarkan kepada Syekh Siti Jenar, namun nyatanya itu bukan berasal dari
Syekh Siti Jenar.
Ajaran Syekh Siti
Jenar menurut Ki Lonthang Semarang
“Kalau menurut
wejangan guru saya, orang sembahyang itu siang malam tiada putusnya ia lakukan.
Hai Bonang ketahuilah keluarnya napasku menjadi puji. Maksudnya napasku menjadi
shalat. Karena tutur penglihatan dan pendengaran disuruh melepaskan dari
angan-angan, jadi kalau kamu shalat masih mengiaskan kelanggengan dalam alam
kematian ini, maka sesungguhnyalah kamu ini orang kafir.”
“Jika kamu
bijaksana mengatur tindakanmu, tanpa guna orang menyembah Rabbu’l ‘alamien,
Tuhan sekalian alam, sebab di dunia ini tidak ada Hyang Agung. Karena orang
melekat pada bangkai, meskipun dicat dilapisi emas, akhirnya membusuk juga,
hancur lebur bercampur dengan tanah. Bagaimana saya dapat bersolek?”
“Menurut wejangan
Syekh Siti Jenar, orang sembahyang tidak memperoleh apa-apa, baik di sana,
maupun di sini. Nyatanya kalau ia sakit, ia menjadi bingung. Jika tidur seperti
budak, disembarang tempat. Jika ia miskin, mohon agar menjadi kaya tidak
dikabulkan. Apalagi bila ia sakaratul maut, matanya membelalak tiada kerohan.
Karena ia segan meninggalkan dunia ini. Demikianlah wejangan guru saya yang
bijaksana.”
“Umumnya santri
dungu, hanya berdzikir dalam keadaan kosong dari kenyataan yang sesungguhnya,
membayangkan adanya rupa Zat u’llahu, kemudian ada rupa dan inilah yang ia
anggap Hyang Widi.”
“Apakah ini bukan
barang sesat? Buktinya kalau ia memohon untuk menjadi orang kaya tidak
diluluskan. Sekalipun demikian saya disuruh meluhurkan Dzat’llahu yang rupanya
ia lihat waktu ia berdzikir, mengikuti syara’ sebagai syari’at, jika Jum’at ke
mesjid berlenggang mengangguk-angguk, memuji Pangeran yang sunyi senyap, bukan
yang di sana, bukan yang di sini.”
“Saya disuruh makbudullah, meluhurkan Tuhan itu, serta akan ditipu diangkat menjadi Wali, berkeliling menjual tutur, sambil mencari nasi gurih dengan lauknya ayam betina berbulu putih yang dimasak bumbu rujak pada selamatan meluhurkan Rasulullah. Ia makan sangat lahap, meskipun lagaknya seperti orang yang tidak suka makan. Hal itulah gambaran raja penipu!”
“Bonang, jangan berbuat yang demikian. Ketahuilah dunia ini alam kematian, sedang akhirat alam kehidupan yang langgeng tiada mengenal waktu. Barang siapa senang pada alam kematian ini, ia terjerat goda, terlekat pada surga dan neraka, menemui panas, sedih, haus, dan lapar”. <Serat Syaikh Siti Jenar, Ki Sastrawijaya, Pupuh XI Pangkur, 9-20>.
“Saya disuruh makbudullah, meluhurkan Tuhan itu, serta akan ditipu diangkat menjadi Wali, berkeliling menjual tutur, sambil mencari nasi gurih dengan lauknya ayam betina berbulu putih yang dimasak bumbu rujak pada selamatan meluhurkan Rasulullah. Ia makan sangat lahap, meskipun lagaknya seperti orang yang tidak suka makan. Hal itulah gambaran raja penipu!”
“Bonang, jangan berbuat yang demikian. Ketahuilah dunia ini alam kematian, sedang akhirat alam kehidupan yang langgeng tiada mengenal waktu. Barang siapa senang pada alam kematian ini, ia terjerat goda, terlekat pada surga dan neraka, menemui panas, sedih, haus, dan lapar”. <Serat Syaikh Siti Jenar, Ki Sastrawijaya, Pupuh XI Pangkur, 9-20>.
“Tiada usah merasa
enggan menerima petuahku yang tiga buah jumlahnya. Pertama janganlah hendaknya
kamu menjalankan penipuan yang keterlaluan, agar supaya kamu tidak ditertawakan
orang di kelak kemudian hari. Yang kedua, jangan kamu merusak barang-barang
peninggalan purba, misalnya : lontar naskah sastra yang indah-indah, tulisan
dan gambar-gambar pada batu candhi. Demikian pula kayu dan batu yang merupakan
peninggalan kebudayaan zaman dulu, jangan kamu hancur-leburkan. Ketahuilah bagi
suku Jawa sifat-sifat Hindu-Budha tidak dapat dihapus. Yang ketiga, jika kamu
setuju, mesjid ini sebaiknya kamu buang saja musnahkan dengan api. Saya
berbelas kasihan kepada keturunanmu, sebab tidak urung mereka menuruti kamu,
mabuk do’a, tersesat mabuk-tobat, berangan-angan lam yakunil.”
“…orang menyembah
nama yang tiada wujudnya, harus dicegah. Maka dari itu jangan kamu
terus-teruskan, sebab itu palsu.” <Serat Syaikh Siti Jenar, Ki Sastrawijaya,
Pupuh XI Pangkur, 25-36>.
Khotbah Perpisahan
Sunan Panggung
“Banyak orang yang
gemar dengan ksejatian, tapi karena belum pernah berguru maka semua itu
dipahami dalam konteks dualitas. Yang satu dianggap wjud lain. Sesungguhnya
orang yng melihat sepeti ini akan kecewa. Apalagi yang ditemui akan menjadi
hilang. Walaupun dia berkeliling mencari, ia tidak akan menemukan yang dicari.
Padahal yang dicari, sesungguhnya telah ditimang dan dipegang, bahkan sampai
keberatan membawanya. Dan karena belum tahu kesejatiannya, ciptanya tanpa guru
menyepelekan tulisan dan kesejatian Tuhan.”
“Walaupun
dituturkan sampai capai, ditunjukkan jalannya, sesungguhnya dia tidak
memahaminya karena ia hanya sibuk menghitung dosa besar dan kecil yg
diketahuinya. Tentang hal kufur kafir yang ditolaknya itu, bukti bahwa ia
adalah orang yang masih mentah pengetahuannya. Walaupun tidak pernah lupa
sembahyang, puasanya dapat dibangga-banggakan tanpa sela, tapi ia terjebak
menaati yang sudah ditentukan Tuhan.
Sembah puji dan
puasa yang ditekuni, membuat orang justru lupa akan sangkan paran (asal dan
tujuan). Karena itu, ia lebih konsentrasi melihat dosa besar-kecil yang
dikhawatirkan, dan ajaran kufur kafir yang dijauhi justru membuat bingung
sikapnya. Tidak ada dulu dinulu. Tidak merasa, tidak menyentuh. Tidak saling
mendekati, sehingga buta orang itu. Takdir dianggap tidak akan terjadi,
salah-salah menganggap ada dualisme antara Maha Pencipta dan Maha Memelihara.
Jika aku punya pemikiran yang demikian, lebih baik aku mati saja ketika masih bayi. Tidak terhitung tidak berfikir, banyak orang yang merasa menggeluti tata lafal, mengkaji sembahyang dan berletih-letih berpuasa. Semua itu dianggap akan mampu mengantarkan. Padahal salah-salah menjadikan celaka dan bahkan banyak yang menjadi berhala.”
Jika aku punya pemikiran yang demikian, lebih baik aku mati saja ketika masih bayi. Tidak terhitung tidak berfikir, banyak orang yang merasa menggeluti tata lafal, mengkaji sembahyang dan berletih-letih berpuasa. Semua itu dianggap akan mampu mengantarkan. Padahal salah-salah menjadikan celaka dan bahkan banyak yang menjadi berhala.”
“Pemikiran saya
sejak kecil, Islam tidak dengan sembahyang, Islam tidak dengan pakaian, Islam
tidak dengan waktu, Islam tidak dengan baju dan Islam tidak dengan bertapa.
Dalam pemikiran saya, yang dimaksud Islam tidak karena menolak atau menerima
yang halal atau haram.
Adapun yang dimaksud orang Islam itu, mulia wisesa jati, kemuliaan selamat sempurna sampai tempat tinggalnya besok. Seperti bulu selembar atau tepung segelintir, hangus tak tersisa. Kehidupan di dunia seperti itu keberadaannya.”
Adapun yang dimaksud orang Islam itu, mulia wisesa jati, kemuliaan selamat sempurna sampai tempat tinggalnya besok. Seperti bulu selembar atau tepung segelintir, hangus tak tersisa. Kehidupan di dunia seperti itu keberadaannya.”
“Manusia, sebelum
tahu makna Alif, akan menjadi berantakan….Alif menjadi panutan sebab uintuk
semua huruf, alif adalah yang pertama. Alif itu badan idlafi sebagai anugerah.
Dua-duanya bukan Allah. Alif merupakan takdir, sedangkan yang tidak bersatu
namanya alif-lapat. Sebelum itu jagat ciptaan-Nya sudah ada. Lalu alif menjadi
gantinya, yang memiliki wujud tunggal. Ya, tunggal rasa, tunggal wujud.
Ketunggalan ini harus dijaga betul sebab tidak ada yang mengaku tingkahnya.
ALif wujud adalah Yang Agung. Ia menjadi wujud mutlak yang merupakan kesejatian
rasa. Jenisnya ada lima, yaitu alif mata, wajah, niat jati, iman, syari’at.”
“Allah itu
penjabarannya adalah dzat Yang Maha Mulia dan Maha Suci. Allah itu sebenarnya
tidak ada lain, karena kamu itu Allah. Dan Allah semua yang ada ini, lahir
batin kamu ini semua tulisan merupakan ganti dari alif, Allah itulah adanya.”
“Alif
penjabarannya adalah permulaan pada penglihatan, melihat yang benar-benar
melihat. Adapun melihat Dzat itu, merupakan cermin ketunggalan sejati menurun
kepada kesejatianmu. Cahaya yang keluar, kepada otak keberadaan kita di dunia
ini merupakan cahaya yang terang benderang, itu memiliki seratus dua puluh
tujuh kejadian. Menjadi penglihatan dan pendengaran, napas yang tunggal, napas
kehidupan yang dinamakan Panji. Panji bayangan dzat yang mewujud pada
kebanyakkan imam. Semua menyebut dzikir sejati, laa ilaaha illallah.” <Serat
Suluk Malang Sumirang, Pupuh 4>.
Kematian di Mata
Sunan Geseng
“Banyak orang yang
salah menemui ajalnya. Mereka tersesat tidak menentu arahnya, pancaindera masih
tetap siap, segala kesenangan sudah ditahan, napas sudah tergulung dan
angan-angan sudah diikhlaskan, tetapi ketika lepas tirta nirmayanya belum mau.
Maka ia menemukan yang serba indah.”
“Dan ia dianggap
manusia yang luar biasa. Padahal sesungguhnya ia adalah orang yang tenggelam
dalam angan-angan yang menyesatkan dan tidak nyata. Budi dan daya hidupnya
tidak mau mati, ia masih senang di dunia ini dengan segala sesuatu yang hidup,
masih senang ia akan rasa dan pikirannya. Baginya hidup di dunia ini nikmat,
itulah pendapat manusia yang masih terpikat akan keduniawian, pendapat
gelandangan yang pergi ke mana-mana tidak menentu dan tidak tahu bahwa besok ia
akan hidup yang tiada kenal mati. Sesungguhnyalah dunia ini neraka.”
“Maka pendapat
Kyai Siti Jenar betul, saya setuju dan tuan benar-benar seorang mukmin yang
berpendapat tepat dan seyogyanya tuan jadi cermin, suri tauladan bagi
orang-orang lain. Tarkumasiwalahu (Arab asli : tarku ma siwa Allahu), di dunia
ini hamba campur dengan kholiqbta, hambanya di surga, khaliknya di neraka
agung.” <Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VIII Dandanggula,
29-31>
Syari’at Palsu
Para Wali Menurut Ki Cantula
“Menurut ajaran
guruku Syekh Siti Jenar, di dunia ini alam kematian. Oleh karena itu, dunia
yang sunyi ini tidak ada Hyang Agung serta malaikat. Akan tetapi bila saya
besok sudah ada di alam kehidupan saya akan berjumpa dan kadang kala saya
menjadi Allah. Nah, di situ saya akan bersembahyang.”
“Jika sekarang
saya disuruh sholat di mesjid saya tidak mau, meskipun saya bukan orang kafir.
Boleh jadi saya orang terlantar akan Pangeran Tuhan. Kalau santri gundul, tidak
tahunya yang ada di sini atau di sana. Ia berpengangan kandhilullah, mabuk akan
Allah, buta lagi tuli.”
“Lain halnya
dengan saya, murid Syekh Siti Jenar. Saya tidak menghiraukan ujar para Wali,
yang mengkukuhkan Syari’at palsu, yang merugikan diri sendiri. Nah, Syekh
Dumba, pikirkanlah semua yang saya katakan ini. Dalam dadamu ada Al-Qur’an.
Sesuai atau tidak yang saya tuturkan itu, kanda pasti tahu.” <Serat Syaikh
Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh V Pangkur, 8-18>.
Jawaban Ki Bisono
Tentang Semesta, Tuhan dan Roh
Ki Bisana
menyanggupi kemudian menjawab pertanyaan dari Sultan Demak:
“Pertanyaan
pertama : Pertanyaan, bahwa Allah menciptakan alam semesta itu adalah
kebohongan belaka. Sebab alam semesta itu barang baru, sedang Allah tidak
membuat barang yang berwujud menurut dalil : layatikbiyu hilamuhdil, artinya
tiada berkehendak menciptakan barang yang berwujud. Adapun terjadinya alam
semesta ini ibaratnya : drikumahiyati : artinya menemukan keadaan. Alam semesta
ini : la awali. Artinya tiada berawal. Panjang sekali kiranya kalau hamba
menguraikan bahwa alam semesta ini merupakan barang baru, berdasarkan yang
ditulis dalam Kuran.”
“Pertanyaan yang
kedua : Paduka bertanya di mana rumah Hyang Widi. Hal itu bukan merupakan hal
yang sulit, sebab Allah sejiwa dengan semua zat. Zat wajibul wujud itulah
tempat tinggalnya, seumpamanya Zat tanahlah rumahnya. Hal ini panjang sekali
kalau hamba terangkan. Oleh karena itu hamba cukupkan sekian saja uraian
hamba.”
“Selanjutnya
pertanyaan ketiga : berkurangnya nyawa siang malam, sampai habis ke manakah
perginya nyawa itu. Nah, itu sangat mudah untuk menjawabnya. Sebab nyawa tidak
dapat berkurang, maka nyawa itu bagaikan jasad , berupa gundukan, dapat aus,
rusak dimakan anai-anai. Hal inipun akan panjang sekali untuk hamba uraikan.
Meskipun hamba orang sudra asal desa, akan tetapi tata bahasa kawi hamba
mengetahui juga, baik bahasa biasa maupun yang dapat dinyanyikan. Lagu tembang
sansekerta pun hamba dapat menyanyikan juga dengan menguraikan arti kalimatnya,
sekaligus hamba bukan seorang empu atau pujangga, melainkan seorang yang hanya
tahu sedikit tentang ilmu.”
“Itu semua
disebabkan karena hamba berguru kepada Syekh Siti Jenar, di Krendhasawa, tekun
mempelajari kesusasteraan dan menuruti perintah guru yang bijaksana. Semua
murid Syekh Siti Jenar menjadi orang yang cakap, berkat kemampuan mereka untuk
menerima ajaran guru mereka sepenuh hati.”
“Adapun pertanyaan
yang keempat : paduka bertanya bagaimanakah rupa Yang Maha Suci itu. Kitab
Ulumuddin sudah memberitahukan : walahu lahir insan, wabatinul insani
baitu-baytullahu (Arab asli : wa Allahu dzahir al-insan, wabathin, al-insanu
baytullahu), artinya lahiriah manusia itulah rupa Hyang Widi. Batiniah manusia itulah
rumah Hyang Widi. Banyak sekali yang tertulis dalam Kitab Ulumuddin, sehingga
apabila hamba sampaikan kepada paduka, Kanjeng Pangeran Tembayat tentu bingung,
karena paduka tidak dapat menerima, bahkan mungkin paduka mengira bahwa hamba
seorang majenun. Demikianlah wejangan Syekh Siti Jenar yang telah hamba
terima.”
“Guru hamba
menguraikan asal-usul manusia dengan jelas, mudah diterima oleh para siswa,
sehingga mereka tidak menjadi bingung. Diwejang pula tentang ilmu yang utama,
yang menjelaskan tentang dan kegunaan budi dalam alam kematian di dunia ini
sampai alam kehidupan di Akhirat. Uraiannya jelas dapat dilihat dengan mata dan
dibuktikan dengan nyata.”
“Dalam memberikan
pelajaran, guru hamba Syekh Siti Jenar, tiada memakai tirai selubung, tiada pula
memakai lambang-lambang. Semua penjelasan diberikan secara terbuka, apa adanya
dan tanpa mengharapkan apa-apa sedikitpun. Dengan demikian musnah segala tipu
muslihat, kepalsuan dan segala perbuatan yang dipergunakan untuk melakukan
kejahatan. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan para guru lainnya. Mereka
mengajarkan ilmunya secara diam-diam dan berbisik-bisik, seolah-olah menjual
sesuatu yang gaib, disertai dengan harapan untuk memperoleh sesuatu yang
menguntungkan untuk dirinya.”
“Hamba sudah berulang
kali berguru serta diwejang oleh para wali mu’min, diberitahu akan adanya
Muhammad sebagai Rosulullah serta Allah sebagai Pangeran hamba. Ajaran yang
dituntunkan menuntun serta membuat hamba menjadi bingung dan menurut pendapat
hamba ajaran mereka sukar dipahami, merawak-rambang tiada patokan yang dapat
dijadikan dasar atau pegangan. Ilmu Arab menjadi ilmu Budha, tetapi karena
tidak sesuai kemudian mereka mengambil dasar dan pegangan Kanjeng Nabi. Mereka
mematikan raga, merantau kemana-mana sambil menyiarkan agama. Padahal ilmu Arab
itu tiada kenal bertapa, kecuali berpuasa pada bulan Romadan, yang dilakukan
dengan mencegah makan, tiada berharap apapun.”
“Jadi jelas kalau
para wali itu masih manganut agama Budha, buktinya mereka masih sering
ketempat-tempat sunyi, gua-gua, hutan-hutan, gunung-gunung atau tepi samudera
dengan mengheningkan cipta, sebagai laku demi terciptanya keinginan mereka agar
dapat bertemu dengan Hyang Sukma. Itulah buktinya bahwa mereka masih dikuasai
setan ijajil. Menurut cerita Arab Ambiya, tiada orang yang dapat mencegah
sandang pangan serta tiada untuk kuasa berjaga mencegah tidur kecuali orang
Budha yang mensucikan dirinya dengan jalan demikian. Nah, silahkan memikirkan
apa yang hamba katakan, sebagai jawaban atas empat pertanyaan paduka.”<Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh V Pangkur, 22-45>.
Wasiat dan Ajaran
Syekh Amongraga
”Syekh Amongraga
adalah salah seorang pewaris ajaran Syekh Siti Jenar pada masa Sultan Agung
Hanyokusumo (1645). Mengenai rincian kehidupan dan ajaran Syekh Amongraga dapat
dibaca di serat Centini”.
Syekh Amongraga
mewasiatkan berbagai inti ajaran yang meliputi (Primbon Sabda Sasmaya; hlm.
24):
1. Rahayu ing Budhi (selamat akhlak dan moral).
2. Mencegah dan berlebihnya makanan.
3. Sedikit tidur.
4. Sabar dan tawakal dalam hati.
5. Menerima segala kehendak dan takdir
Tuhan.
6. Selalu mensyukuri takdir Tuhan.
7. Mengasihi fakir dan miskin.
8. Menolong orang yang kesusahan.
9. Memberi makan kepada orang yang lapar.
10. Memberi pakaian kepada orang yang telanjang.
11. Memberikan payung kepada orang yang kehujanan.
12. Memberikan tudung kepada orang yang kepanasan.
13. Memberikan minum kepada orang yang haus.
14. Memberikan tongkat penunjuk kepada orang yang buta.
15. Menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat.
16. Menyadarkan orang yang lupa.
17. Membenarkan ilmu dan laku orang yang salah.
18. Mengasihi dan memuliakan tamu.
19. Memberikan maaf kepada kesalahan dan dosa sanak-kandung,
saudara, dan semua manusia.
20. Jangan merasa benar, jangan merasa pintar dalam segala hal,
jangan merasa memiliki, merasalah bahwa semua itu hanya titipan dari Tuhan yang
membuat bumi dan langit, jadi manusia itu hanyalah sudarma (memanfaatkan dengan
baik dengan tujuan dan cara yang baik pula) saja. Pakailah budi, syukur, sabar,
menerima, dan rela. <Ajaran Syekh Amongraga itu sebenarnya meliputi semua
tindakan manusia di dalam menyelami kehidupan di bumi ini, yang disebut Syekh
Siti Jenar sebagai alam kematian. Dalam memahami 20 ajaran tersebut, hendaknya
jangan terjebak dalam segi kontekstualnya saja, namun hendaknya diselami dengan
segenap nalar dan rasa batin.
Ajaran Syekh Siti
Jenar Menurut Pangeran Panggung
“….Saya mencari
ilmu sejati yang berhubungan langsung dengan asal dan tujuan hidup, dan itu
saya pelajari melalui tanajjul tarki. Menurut saya , untuk mengharapkan hidayah
hanyalah bias didapat dengan kesejatian ilmu. Demi kesentausaan hati menggapai
gejolak jiwa, saya tidak ingin terjebak dalam syariat.”
“Jika saya
terjebak dalam syariat, maka seperti burung sudah bergerak, akan tetapi
mendapatkan pikiran yang salah. Karena perbuatan salah dalam syariat adalah
pada kesalahpahaman dalam memahami larangan. Bagi saya kesejatian ilmu itulah
yang seharusnya dicari dan disesuaikan dengan ilmu kehidupan. Kebanyakan
manusia itu, jika sudah sampai pada janji maka hatinya menjadi khawatir,
wataknya selalu was-was…senantiasa takut gagal….Alam dibawah kolong langit,
diatas hamparan bumi dan semua isi didalamnya hanyalah ciptaan Yang Esa, tidak
ada keraguan. Lahir batin harus bulat, mantap berpegang pada tekad.” (Serat
Suluk Malang Sumirang, Pupuh 1-2).
“Yang membuat kita
paham akan diri kita, Pertama tahu akan datang ajal, karena itu tahu jalan
kemuliaannya, Kedua, tahu darimana asalnya ada kita ini sesungguhnya, berasal
dari tidak ada. Kehendak-Nya pasti jadi, dan kejadian itu sendiri menjadi
misal. Wujud mustahil pertandanya sebagai cermin yang bersih merata keseluruh
alam. Yang pasti dzatnya kosong, sekali dan tidak ada lagi. Dan janganlah
menyombongkan diri, bersikaplah menerima jika belum berhasil. Semua itu
kehendak Sang Maha Pencipta. Sebagai makhluk ciptaan, manusia didunia ini hanya
satu repotnya. Yaitu tidak berwenang berkehendak, dan hanya pasrah kepada
kehendak Allah.”
“Segala yang
tercipta terdiri dari jasad dan sukma, serta badan dan nyawa. Itulah sarana
utama, yakni cahaya, roh, dan jasad. Yang tidak tahu dua hal itu akan sangat
menyesal. Hanya satu ilmunya, melampaui Sang Utusan. Namun bagi yang ilmunya
masih dangkal akan mustahil mencapai kebenaran, dan manunggal dengan Allah.
Dalam hidup ini, ia tidak bisa mengaku diri sebagai Allah, Sukma Yang Maha
Hidup. Kufur jika menyebut diri sebagai Allah. Kufur juga jika menyamakan
hidupnya dengan Hidup Sang Sukma, karena sukmaitu adalah Allah.” <Serat
Suluk Malang Sumirang, Pupuh 2>.
” Waktu shalat
merupakan pilihan waktu yang sesungguhnya berangkat dari ilmu yang hebat.
Mengertikah Anda, mengapa shalat dzuhur empat raka’at? Itu disebabkan kita
manusia diciptakan dengan dua kaki dan dua tangan. Sedang shalat ‘Ashar empat
raka’at juga, adalah kejadian bersatunya dada dengan Telaga al-Kautsar dengan
punggung kanan dan kiri. Shalat Maghrib itu tiga raka’at, karena kita memiliki
dua lubang hidung dan satu lubang mulut. Adapun shalat ‘Isya’ enjadi empat
raka’at karena adanya dua telinga dan dua buah mata. Adapun shalat Subuh,
mengapa dua raka’at adalah perlambang dari kejadian badan dan roh kehidupan.
Sedangkan shalat tarawih adalah sunnah muakkad yang tidak boleh ditinggalkan
dua raka’atnya oleh yang melakukan, men-jadi perlambang tumbuhnya alis kanan
dan kiri.”
“Adapun waktu yang
lima, bahwa masing-masing berbeda-beda yang memilikinya. Shalat Subuh, yang
memiliki adalah Nabi Adam. Ketika diturunkan dari surga mulia, berpisah dengan
istrinya Hawa menjadi sedih karena tidak ada kawan. Lalu ada wahyu dari melalui
malaikat Jibril yang mengemban perintah Tuhan kepada Nabi Adam, “Terimalah
cobaan Tuhan, shalat Subuhlah dua raka’at”. Maka Nabi Adampun siap
melaksanakannya. Ketika Nabi Adam melaksanakan shalat Subuh pada pagi harinya,
ketika salam. Telah mendapati istrinya berada dibelakangnya, sambil menjawab
salam. Shalat Dzuhur dimaksudkan ketika Kanjeng Nabi Ibrahim pada zaman kuno
mendapatkan cobaan besar, dimasukkan ke dalam api hendak dihukum bakar. Ketika
itu Nabi Ibrahim mendapat wahyu ilahi, disuruh untuk melaksanakan shalat Dzuhur
empat raka’at. Nabi Ibrahim melaksanakan shalat, api padam seketika. Adapun
shalat Ashar, dimaksudkan ketika Nabi Yunus sedang naik perahu dimakan ikan
besar. Nabi Yunus merasakan kesusahan ketika berada di dalam perut ikan. Waktu
itu terdapat wahyu Ilahi, Nabi Yunus diperintahkan melaksanakan shalat Ashar
empat raka’at. Nabi Yunus segera melaksanakan, dan ikan itu tidak mematikannya.
Malah ikan itu mati, kemudian Nabi Yunus keluar dari perut ikan. Sedangkan
shalat Maghrib pada zaman kuno yang memulainya adalah Nabi Nuh. Ketika musibah
banjir bandang sejagat, Nabi Nuh bertaubat merasa bersalah. Dia diterima
taubatnya disuruh mengerjakan shalat. Kemudian Nabi Nuh melaksanakan shalat
Maghrib tiga raka’at, maka banjirpun surut seketika. Shalat ‘Isya sesungguhnya
Nabi Isa yang memulainya. Ketika kalah perang melawan Raja Harkiyah (Juga
disebut Raja Herodes, atasan Gubernur Pontius Pilatus) semua kaumnya bingung
tidak tahu utara, selatan, barat, timur dan tengah. Nabi Isa merasa susah, dan
tidak lama kemudian datang malaikat Jibril membawa wahyu dengan uluk salam.
Nabi Isa diperintahkan melaksanakan shalat ‘Isya. Nabi Isa menyanggupinya, dan
semua kaumnya mengikutinya, dan malaikat Jibril berkata, “Aku yang membalaskan
kepada Pendeta Balhum.” <Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 2>.
“Menurut pemahaman
saya, sesuai petunjuk Syekh Siti Jenar dahulu, anasir itu ada empat yang berupa
anasir batin dan ansir lahir. Pertama, anasir Gusti. Perlu dipahami dengan baik
dzat, sifat, asma dan af’al (perbuatan) kedudukannya dalam rasa. Dzat maksudnya
adalah bahwa diri manusia dan apapun yang kemerlap di dunia ini tidak ada yang
memiliki kecuali Tuhan Yang Maha Tinggi, yang besar atau yang kecil adalah
milik Allah semua. Ia tidak memiliki hidupnya sendiri. Hanya Allah yang Hidup,
yang Tunggal. Adapun sifat sesungguhnya segala wujud yang kelihatan yang besar
atau kecil, seisi bumi dan langit tidak ada yang memiliki hanya Allah Tuhan
Yang Maha Agung. Adapun asma sesungguhnya, nama semua ciptaan seluruh isi bumi
adalah milik Tuhan Allah Yang Maha Lebih Yang Maha Memiliki Nama. Sedangkan
artinya af’al adalah seluruh gerak dan perbuatan yang kelihatan dari seluruh
makhluk isi bumi ini adalah tidak lain dari perbuatan Allah Yang Maha Tinggi,
demikian maksud anasir Gusti.”
“Anasir roh, ada
empat perinciannya yang berwujud ilmu yang dinamai cahaya persaksian (nur
syuhud). Maksudnya adalah sebagai berikut : pertama, yang disebut wujud
sesungguhnya adalah hidup sejati atau amnusia sejati seperti pertempuran yang
masih perawan itulah yang dimaksud badarullah yang sebenarnya. Kedua, yang
disebut ilmu adalah pengetahuan batin yang menjadi nur atau cahaya kehidupan
atau roh idhafi, cahaya terang menyilaukan seperti bintang kejora. Ketiga, yang
dimaksud syuhud adalah kehendak batin kejora. Ketiga, yang dimaksud syuhud
adalah kehendak batin tatkala memusatkan perhatian terutama ketika mengucapkan
takbir. Demikianlah penjelasan tentang anasir roh, percayalah kepada
kecenderungan hati.”
“Anasir manusia
maksudnya hendaklah dipahami bahwa manusia itu terdiri dari bumi, api, angin
dan air. Bumi itu menjadi jasad, api menjadi cahaya yang bersinar, angin
menjadi napas keluar masuk, air, menjadi darah. Keempatnya bergerak tarik
menarik secara ghaib. Demikianlah penjelasan saya tentang anasir. <Serat
Suluk Malang Sumirang, Pupuh 3>.
Silahkan kalau mau
ditambah atow dikurangi.
Nuwun, Dipo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar