QIRA’AT AL-QUR’AN
A.
Latar belakang
Islam terus berkembang luas ke seluruh penjuru dunia,
dan masanya pun semakin jauh meninggalkan zaman kenabian. Dalam perjalanannya
tentu saja melahirkan berbagai permasalahan-permasalahan. Tidak terkecuali
permasalahan ke-Al quran-an.
Salah satu permasalahan paling mendasar yang berkaitan
dengan Al quran adalah masalah bacaan (dialek). Bahkan pada zaman Rasulullah
pun permasalahan ini sempat menimbulkan ketegangan di antara para sahabat.
Suatu ketika Umar bin Al-Khathab berbeda pendapat dengan Hisyam bin Hakim
ketika membaca ayat Al-Qur`an, Umar tidak puas terhadap bacaan Hisyam sewaktu
ia membaca Surat Al-Furqan. Menurut Umar, bacaan Hisyam tidak benar dan
bertentangan dengan apa yang diajarkan Nabi kepadanya. Namun, seusai shalat,
Hisyam diajak menghadap nabi seraya melaporkan peristiwa di atas.
Nabi menyuruh Hisyam mengulangi bacaannya sewaktu shalat tadi, Setelah
Hisyam melakukannya, Nabi bersabda: yang artinya ”memang begitulah Al-Qur`an
diturunkan sesungguhnya Al-Qur`an ini diturunkan dalam tujuh hurufm, maka
bacalah apa yang kalian anggap mudah dari huruf itu”.
Murut ssejarah, timbulnya penyebaran qira`at dimulai pada masa tabi`in,
yaitu pada awal abad ke-II H, tatkala para qari` sudah tersebar di berbagai
pelosok. Mereka lebih suka mengemukakan qira`at gurunya daripada mengikuti
qira`at imam-imam lainnya. Qira`at-qira`at tersebut diajarkan secara
turun-temurun dari guru-guru, sehingga sampai kepada para imam qira`at, baik
yang tujuh, sepuluh, atau yang empat belas.
Kebijakan abu bakar Siddiq yang tidak mau memusnahkan mushaf-mushaf lain
selain yang telah disusun Zait bin Tsabit, seperti mushaf yang dimiliki ibn
Mas`ud, Abu Musa Al-Asy`ari, Miqdad bin Amar, Ubay Bin Ka`ab, dan Ali bin Abi
Thakib, mempunyai andil besar dalam kemunculan qira`at yang kian beragam. Perlu
dicatat bahwa mushaf-mushaf itu tidak berbeda dengan yang disusun Zaid bin
Tsabit dan kawan-kawannya, kecuali pada dua hal saja, yaitu kronologi surat dan
sebagian bacaan yang merupakan penafsiran yang ditukis dengan lahjah tersendiri
karena mushaf-mushaf itu merupakan catatan peribadi mereka masing-masing.
Adanya mushaf-mushaf itu disertai dengan penyebaran para qari ke berbagai
penjuru, pada gilirannya melahirkan sesuatu yang tidak didinginkan, yakni
timbulnya qira`at yang semakin beragam. Lebih-lebih setelah terjadinya
transformasi bahasa dan akulturasi akibat bersentuhan dengan bangsa-bangsa
bukan arabin, sehingga pada akhirnya perbedaan qira`at itu sudah pada kondisi
sebagaimana yang disaksikan Hudzalifah Al-Yamamah dan yang kemudian dilaporkannya
kepada Usman.
Sebagaimana yang telah diketahui,
bahwa proses kodifikasi al-Qur’an pada masa khalifah Usman berada pada titik
kritis kemanusiaan sesama muslim karena terjadi saling menyalahkan antara
aliran qira’at yang satu dengan aliran qira’at lainnya, bahkan di antara mereka
hampir saling mengkafirkan. Daerah kekuasaan Islam pada khalifah Usman telah
meluas, orang-orang Islam telah terpencar di berbagai daerah sehingga
mengakibatkan kurang lancarnya komunikasi intelektual diantara mereka. Adanya
pengklaiman qira’atnya paling benar dan qiraat orang lain salah merambah
dimana-mana.
Hal ini
menimbulkan perpecahan di antara umat Islam. Situasi demikian sangat
mencemaskan Khalifah Usman. Untuk itu ia mengundang para sahabat
terkemuka untuk mengatasinya. Akhirnya dicapai kesepahaman agar mushaf yang
ditulis pada masa Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang disimpan di rumah Hafsah
disalin kembali menjadi beberapa mushaf. Hasil penyalinan ini dikirim ke
berbagai kota, untuk dijadikan rujukan bagi kaum muslimin, terutama sewaktu
terjadi perselisihan sistem qira’at. Sementara itu, Khalifah Usman
memerintahkan untuk membakar mushaf yang berbeda dengan mushaf hasil kodifikasi
pada masanya yang dikenal dengan nama Mushaf Imam. Kebijakan khalifah Usman ini
di satu sisi merugikan karena menyeragamkan qiraat yakni dengan lisan Quraish
(dialek orang-orang Quraish), namun disisi lain lebih menguntungkan yakni umat
Islam bersatu kembali setelah terjadi saling menyerang dan menyalahkan antara
satu dengan yang lain.
Berkenaan dengan keadaan di atas,
maka pada pertengahan kedua di abad ke-I H, dan pertengahan awal di abad ke-II
H, para ahli qira’at terdorong untuk meneliti dan menyeleksi berbagai sistem
qira’at Al-Qur’an yang berkembang pada saat itu. Hasilnya, tujuh sistem qira’at
Al-Qur’an yang berhasil dipopulerkan dan dilestarikan oleh mereka, dinilai
sebagai tergolong mutawatir yang bersumber dari Nabi saw. Inilah yang dikenal
dengan sebutan qira’at sab’at (qira’at tujuh). Sehingga pada masa
berikutnya para mufassir memandang perlunya dimasukkan ilmu qira’at dalam Ulumul
Qur’an. Karena dengan adanya perbedaan dalam pembacaan Al-Qur’an, menimbulkan
perbedaan pula dalam mengistimbatkan hukum yang terkandung dalam ayat-ayat
al-qur’an. Sehingga menjadi bahan pertimbangan para mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an.
B.
Pengertian
Secara etimologi lafal Qira’at
adalah bentuk jamak dari Qira’ah yang merupakan bentuk masdar dari Fi’il Madi Qara’a yang artinya bacaan. Dari segi
terminologi para ahli mengemukakan sebagaimana berikut :
Menurut
Ibn Al Jazari , mengemukakan bahwa qira’at
merupakan pengetahuan tentang cara-cara mengucapkan kalimat-kalimat Al Qur’an
dan perbedaannya.
Syaikh Muhammad Ali As-Shabuni,
berpendapat bahwa qira’at adalah madzhab bacaan Al Qur’an yang dibawa oleh
seorang imam qurra’ yang berbeda dengan (bacaan imam) lainnya beserta sanad
yang sampai kepada Rasulullah SAW.
Sedangkan Manna’ Kholil Al-Qattan,
mendefinisikan bahwa qira’at adalah salah satu madzhab (aliran) pengucapan lafal
Al-Qur’an yang dipilih oleh salah seorang imam qurra’ sebagai suatu madzhab
yang berbeda dengan yang lainnya.
Menurut
Al-Dimyathi sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Hadi al-Fadli bahwasanya qira’at
adalah: “Suatu ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an,
baik yang disepakati maupun yang diikhtilapkan oleh para ahli qira’at, seperti
hazf (membuang huruf), isbat (menetapkan huruf), washl (menyambung huruf),
ibdal (menggantiukan huruf atau lafal tertentu) dan lain-lain yang didapat melalui
indra pendengaran.”
Sedangkan
menurut Imam Shihabuddin al-Qushthal, qira’at adalah “Suatu ilmu untuk
mengetahui kesepakatan serta perbedaan para ahli qira’at, seperti yang
menyangkut aspek kebahasaan, i’rab, isbat, fashl dan lain-lain yang diperoleh dengan
cara periwayatan.”
Dari definisi-definisi di atas, tampak bahwa qira’at al-Qur’an berasal dari Nabi Muhammad SAW, melalui al-sima ( السماع ) dan an-naql ( النقل ). Berdasarkan uraian di atas pula dapat disimpulkan bahwa:
Dari definisi-definisi di atas, tampak bahwa qira’at al-Qur’an berasal dari Nabi Muhammad SAW, melalui al-sima ( السماع ) dan an-naql ( النقل ). Berdasarkan uraian di atas pula dapat disimpulkan bahwa:
a.
Yang dimaksud qira’at dalam bahasan
ini, yaitu cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an sebagaimana di ucapkan Nabi
atau sebagaimana di ucapkan para sahabat di hadapan Nabi lalu beliau
mentaqrirkannya.
b.
Qira’at al-Qur’an diperoleh
berdasarkan periwayatan Nabi SAW, baik secara fi’liyah maupun taqririyah.
c.
Qira’at al-Qur’an tersebut
adakalanya memiliki satu versi qira’at dan adakalanya memiliki beberapa versi.
Dari berbagai macam pendapat di
atas, dapat disimpulkan bahwa Ilmu Qira’at adalah ilmu yang mempelajari
bagaimana cara membaca Al Qur’an dengan pengucapan lafal-lafal yang baik dan
benar. Qira’at tersebut merupakan suatu madzhab yang dipilih oleh salah seorang
imam qurra’ yang berbeda (bacaannya) dengan madzhab yang lain dan di tetapkan
berdasarkan sanad-sanadnya yang sampai kepada Rasulullah.
Perlu diluruskan kembali, menurut
pendapat yang paling sahih bahwa qira’at-qira’at itu bukanlah tujuh huruf.
Meskipun ada kesamaan di antara keduanya yang mengesankan demikian. Akan
tetapi, qira’at ini tidak lain hanyalah suatu madzhab bacaan al-qur’an
yang secara ijma’ masih tetap eksis dan digunakan umat islam hingga kini. Dan
sumbernya adalah perbedaan lahjah (logat), cara pengucapan dan sifatnya,
seperti tafkhim, tarqiq, imalah, idgam, izhar, isyba’, madd, qasr, tasydid,
takhfif dan sebagainya. Namun semua itu hanya berkisar dalam satu huruf, yaitu
huruf quraisy.
C.
Sejarah Perkembangan Qira’at
Memang tidak tercatat mengenai
kapan tepatnya ilmu qira’at itu muncul. Tetapi yang jelas, mula-mula orang yang
pertama menulis tentang ilmu Qira’at tersebut adalah Abu Ubaid Al- Qosim Ibn
Salam (wafat tahun 244 H). Beliau telah mengumpulkan para imam qira’at dengan
bacaannya masing-masing, para tokoh lain yang turut melopori lahirnya ilmu
Qira’at adalah Abu Hatim Al-sijistany, Abu Ja’far al-Thabary dan Ismail
al-Qodhi.
Periode Qurra’ (para ahli atau imam
qira’at) yang mengajarkan bacaan al-qur’an kepada masyarakat menurut cara
mereka masing-masing adalah dengan berpedoman kepada masa Shahabat. Diantara
para Shahabat yang terkenal mengajarkan qira’at ialah Ubai, Ali, Zaid bin
Tsabit, Ibnu Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain. Dari mereka itulah
sebagian besar sahabat dan tabi’in di berbagai negeri belajar qira’at dan
mereka semua berpegang kepada rasulullah.
Imam az-Zahabi menyebutkan bahwa
sahabat yang terkenal sebagai guru dan ahli qira’at al-qur’an ada tujuh orang,
yaitu Usman, Ali, Ubai, Zaid bin Tsabit, Abu Darda’ dan Abu Musa
al-Asy’ari. Lebih lanjut ia menjelaskan, segolongan besar Shahabat mempelajari
qira’at dari Ubai, di antaranya Abu
Hurairah, Ibn Abbas dan Abdullah bin Sa’ib. Ibn Abbas belajar pula kepada Zaid.
Kemudian, terhadap para
sahabat itulah sejumlah besar tabi’in mempelajari qira’at di setiap
negeri. Sebagian dari meraka ada yang tinggal di madinah yaitu Ibnu
Musayyab, ‘Urwah, Salim, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman dan ‘Ata’ –keduanya
putra Yasar-, Mu’adz bin Hariz yang terkenal dengan Mu’az al-Qari’, Abdurrahman
bin Hurmuz al-A’raj, Ibnu Syihab az-Zuhri, Muslim bin Jundab, dan Zaid bin
Aslam. Di antara mereka yang
tinggal di mekkah ialah ‘Ubaid bin Umair, Ata’ bin Abu Rabah, Tawus,
Mujahid, ’Ikrimah dan Abu Malikah. Tabi’in yang tinggal di kufah ialah ‘Alqamah,
al-Aswad, Masruq, Ubaidah, Amr bin Syurahbil, al-Haris bin Qais, Amr bin
Maimun, Abu Abdurrahman as-Sulami, Sa’id bin Jabir, an-Nakha’i dan as-Sya’bi.
Yang tinggal di basrah ialah Abu Aliyah, abu Raja’, Nasr bin ‘Asim, Yahya bin
Ya’mar, al-Hasan, ibn Sirin dan Qatadah. Sedangkan yang tinggal di syam ialah al-Mughirah
bin abu Syihab al-Makhzumi, -murid Usman-, dan khalifah bin Sa’ad
-sahabat abu darda’-.
Pada permulaan abad pertama
hijriah, sejumlah ulama’ dari kalangan tabi’in membulatkan tekad dan
perhatiannya untuk menjadikan qira’at ini sebagai disiplin ilmu yang independen
sebagaimana ilmu-ilmu syari’at lainnya. Sehingga mereka menjadi imam dan ahli qira’at
yang diikuti oleh generasi ke generasi sesudahnya. Bahkan dalam generasi
tersebut terdapat banyak imam yang bermunculan dan mulai sejak ini sampai
sekarang kita mengikutinya serta mempercayainya sebagai madzhab qira’at.
Para ahli qira’at tersebut di
madinah ialah abu Ja’far Yazid bin Qa’qa’ dan Nafi’ bin Abdurrahman. Di mekkah
ialah Abdullah bin Katsir al- qurosyi dan Humaid bin Qais al-‘Araj. Di kufah
ialah ‘Asim bin Abun Najud, Sulaiman al-Amasyi, Hamzah bin Habib dan Ali
Kisa’i. Di basrah ialah Abdullah bin Abu Ishaq, Isa ibn ‘Amr, Abu Amr ‘Ala’,
‘Asim al-Jahdari, dan Ya’qub al-Hadrami. Kemudian di syam ialah Abdullah bin
Amir, Isma’il bin Abdullah bin Muhajir, Yahya bin Haris dan Syuraih bin Yazid
al-Hadrami.
Dari sekian banyak para imam
qira’at di atas, ada tujuh imam yang terkenal (masyhur) sebagai ahli
qira’at di seluruh dunia yaitu Abu Amr, Nafi’, ‘Asim, Hamzah, al-Kisa’i, Ibn
‘Amir, Ibn Kasir. Bacaan para imam ini yang lazim disebut qira’ah sab’ah.
Qira’ah sab’ah
menjadi termasyhur pada permulaan abad kedua hijriah. Orang-orangbasrah memakai
qira’at Abu Amr dan Ya’qub, Orang-orang kufah memakai qira’at Hamzah
dan ‘Asim, Orang-orang syam memakai qira’at Ibn Amir, Orang-orang mekkah
memakai qira’at Ibn Kasir, dan orang-orang madinah memakai qira’at Nafi’.
Pada abad ketiga hijriyah, Qira’at
ini terus berkembang hingga sampailah pada Abu Bakar Ahmad Ibn Musa Ibn Abbas
Ibn mujahid yang terkenal dengan panggilan Ibn Mujahid (wafat tahun 324 H) di
Bagdad. Beliaulah yang membukukan Qira’ah sa’bah atau tujuh Qira’at dari tujuh
imam yang dikenal di Mekkah, Madinah, Kufah, Basrah, dan Syam. tujuh imam
Qari’ah tersebut ialah :
1)
Ibn
Amir
Nama lengkapnya Abu Imran Abdullah
bin Amir al-Yashubi yang merupakan seorang Qodhi di Damaskus pada masa
pemerintahan Ibn Abd al-Malik.Beliau lahir pada tahun 21 H. Beliau berasal dari
kalangan tabi’in yang belajar Qira’at dari al-Mughirah Ibn Abi Syihab
al-Mahzumi, Usman bin Affan dan Rsulullah SAW. Beliau wafat tahun 118 H
Damaskus. Rowi beliau yang terkenal dalam Qira’at yaitu Hisyam(wafat tahun
245H) dan Ibn Dzakwan(wafat tahun 242 H)
2)
IbnKatsir
Nama lengkapnya Abu Muhammad Abdullah Ibn Katsir Al-Dary al-Makky. Beliau adalah imam Qira’at di Mekkah dari kalangan tabi’in yang pernah hidup bersama sahabat abdullah Ibn Zubair, Abu Ayyub al-Anshari dan Anas Ibn Malik. Beliau wafat tahun 291 H, rowinya yang terkenal adalah Al-Bazy (wafat tahun 250 H) dan Qunbul (wafat tahun 291 H).
Nama lengkapnya Abu Muhammad Abdullah Ibn Katsir Al-Dary al-Makky. Beliau adalah imam Qira’at di Mekkah dari kalangan tabi’in yang pernah hidup bersama sahabat abdullah Ibn Zubair, Abu Ayyub al-Anshari dan Anas Ibn Malik. Beliau wafat tahun 291 H, rowinya yang terkenal adalah Al-Bazy (wafat tahun 250 H) dan Qunbul (wafat tahun 291 H).
3)
‘AshimAl-Khufy
Nama lengkapnya ‘Ashim Ibn Abi Al-Najud
al-Asadi, disebut juga Ibn Bahdalah. Nama panggilannya adalah Abu Bakar,
beliau seorang tabi’in yang wafat sekitar tahun 127-128 H di Kuffah.Beliau
merupakan imam qiro’aat Kufah yang paling bagus suaranya dalam membaca
al-qur’an. Kedua perawinya yang terkenal adalah Syu’bah (wafat tahun 193 H) dan
Hafs (wafat tahun 180 H).
4)
AbuAmr
Nama lengkapnya Abu Amr Zabban Ibn A’la
Ibn Ammar al-Bashri yang sering juga dipanggil Yahya.Beliau merupakan
satu-satunya imam qira’at yang paling banyak guru qira’atnya Beliau seorang
guru besar qira’at di kota bashrah yang wafat di Kuffah pada tahun 154
H.Rowinya yang terkenal ialah Abu Amr ad-Dury (wafat tahun 246 H) dan
Ibnu Zyad as- Susy (wafat tahun 261
H)
5)
Hamzah
Nama lengkapnya Hamzah Ibn Habib Ibn
Imarah al-Zayyat al-Fardh al-Thaimi yang sering dipanggil Ibn Imarah. Beliau
berasal dari kalangan hamba sahaya ikrimah Ibn Robbi’ Mthaimi yang wafat di
Hawan pada masa khalifah Abu Ja’far al-Manshur tahun 156 H. Kedua perawinya
yang terkenal adalah Kholaf (wafat tahun 229 H) dan Khollad (wafat tahun 220
H).
6)
Nafi’
Nama lengkapnya Abu Ruwaim Nafi’ Ibn Abd
Al-Rahman Ibn Abi Na’im al-Laisry. Beliau lahir di Isfahan pada tahun 70 dan
wafat di Madinah pad tahun 169 H. Beliau adalah seseorang yang ketika berbicara
selalu keluar bau wewangian misik dari mulutnya. Perawinya adalah Qolun (wafat
tahun 220 H) dan Warsy (wafat tahun 197 H).
7)
Al-Kisa’i
Nama lengkapnya Abul Hasan Ali Ibn
Hamzah Ibn Abdillah Al-Asady. Selain imam Qori’ beliau terkenal juga sebagai
imam nahwu golongan Kufah. Sering juga disebut Kisa’i karena sewaktu berihram
beliau memakai kisa. Beliau wafat pada tahun 189 H di Ronbawyan yaitu sebuah
desa di negeri Roy dalam perjalanan menuju Khurasan bersama al-Rasyid.
Perawinya yang terkenal adalah Abd al-Haris (wafat tahun 242 h) dan Al-Dury
(wafat tahun 246 H).
D.
Macam-macam qira’at, hukum dan kaedahnya
Sebagian
ulama mengatakan bahwa qira’at ada tiga macam yaitu mutawatir, ahad dan syadz. Qira’at mutawatir ialah qira’ah sab’ah
yang termasyhur, sedang yang ahad ialah qira’at tsalastah yang kemudian
menggenapkannya menjadi sepuluh qira’at yaitu Abu Ja’far Yazin bin Qa’qa’
al-madani, ya’qub bin ishaq al-Hadrami dan khalaf bin Hisyam. Seluruh qira’at
selain dari qiraat yang sepuluh itu dipandang qiraat syadz, seperti qiraat
Yazidi, Hasan, A’masy, Ibn Jubair dan lain-lain. Kemudian yang menjadi pegangan
terhadap timbulnya berbagai macam qira’at tersebut adalah ketentuan atau kaedah
tentang qira’at yang shahih.
Menurut mereka, ketentuan atau
kaedah qira’at yang shahih adalah sebagai berikut :
1) Qira’at tersebut sesuai dengan kaedah
bahasa Arab. Meski hanya dalam satu segi, sebab qira’at adalah sunnah yang
harus diikuti, diterima apa adanya dan menjadi sebuah rujukan dengan
berdasarkan pada sanad, bukan ra’yu (penalaran).
2) Qira’at harus sesuai dengan salah satu
mushaf usmani, meskipun hanya mendekati saja. Karena, dalam penulisan
mushaf-mushaf para sahabat telah bersungguh-sungguh dalam membuat rasm(cara penulisan mushaf) sesuai dengan
bermacam-macam dialek qira’at yang mereka ketahui. Yang di maksud dengan
hanya sekedar mendekati (muwafaqah ihtimaliyah) adalah seperti contoh
berikut : مالك يوم الدين (al-fatihah : 4). Lafaz مالك ditulis dalam semua mushaf dengan
membuang alif, sehingga di baca ملك
sesuai dengan rasm secara tahqiq (jelas) dan dibaca pula مالك sesuai dengan rasm secara ihtimal (kemungkinan). Dan demikian pula
contoh-contoh yang lain.
3) Qira’at harus sahih isnadnya, karena
qiraat merupakan sunnah yang diikuti dan didasarkan pada keselamatan penukilan
dan kesahihan riwayat.
Itulah kriteria-kriteria atau yang
di sebut juga dengan syarat-syarat qira’at yang sahih (maqbul). Apabila
semua kriteria di atas terpenuhi, maka qira’at tersebut adalah qira’at yang
sahih. Jika salah satu kriteri atau lebih tidak terpenuhi, maka qira’at
tersebut dinamakan qira’at syadz atau bahkan batil.
Sebagian Ulama lain menyimpulkan
qiraat menjadi enam macam:
Pertama: Mutawatir, yaitu qiraat yang dinukilkan
oleh sejumlah besar qiraat yang tidak mungkan bersepakat untuk berdusta, dari
sejumlah orang seperti itu dan sanadnya bersambung hingga penghabisannya, yaitu
Rasullulah. Dan inilah yang umum dalam hal qiraat.
Kedua: Masyhur, yaitu qiraat yang shahih
sanadnya tetapi tidak mecapai derajat mutawatir, sesuai dengan kaidah arab dan
rasam usmani serta terkenal pula dikalangan para ahli qiraat sehingga karenanya
tidak dikategorikan qiraat yang syaz. Para ulama berpendapat bahwa qiraat macam
ini termasuk qiraaat yang dapat dipakai.
Ketiga: Ahad, yaitu qiraat yang sahih sanadnya
tetapi menyalahi rasam usmani, menyalahi kaidah bahasa arab atau tidak
terkenal. Qiraat macam ini tidak termasuk qiraat yang dapat dipakai atau
digunakan.
Keempat: Syadz, yaitu qiraat yang tidak sahih
sanadnya, seperti qiraat مَلَكَ يَوْمَ الدِّيْنِ , dengan bentuk fi’l madhi dan
menasabkannya.
Kelima: Maudhu’, yaitu qiraat yang tidak ada
asalnya
Keenam: Mudraj, yaitu sesuatu yang ditambah
dalam qiraat sebagai penafsiran, seperti qiraat ibnu ‘abbas: لَيْسَ عَلَيْكُمْ
جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوْا فَضْلاً مِنْ رَبِّكُمْ فِى مَوَاسِمِ الحَجِّ فإذَا
أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ ,
kalimat فِى مَوَاسِمِ الحَجِّ
adalah penafsiran yang disisipikan kedalam ayat.
Ketiga macam yang terakhir ini
tidak boleh diamalkan bacaanya.
Nawawi berpendapat bahwa; “ Qiraat
yang syadz tidak boleh dibaca baik didalam maupu diluar shalat. al-qur’an hanya
ditetapkan dengan sanad yang mutawatir, sedangkan qiraat syadz tidak mutawatir.
Para fuqaha Bagdad sepakat bahwa orang yang membaca al-qur’an dengan qiraat
yang syadz harus disuruh taubat. Ibn ‘Abdil Barr menukilkan ijma’ kaum muslimin
bahwa al-qur’an tidak boleh dibaca dengan qiraat yang syadz dan juga tudak sah
shalat di belakang orang yang membaca al-qu’ran dengan qiraaat-qiraat syadz
itu.”
Menurut beberapa pendapat, urgensi mempelajari qira`at dan pengaruhnya dalam istinbath (penetapan)
hukum adalah sebagai berikut;
a.
Dapat menguraikan
ketentuan-ketentuan hokum yang telah disepakati para ulama.
b.
Dapat men-tarjih hokum yang
diperselisihkan para ulama.
c.
Dapat mengabungkan dua ketentuan
hokum yang berbeda.
d.
Dapat menunjukan dua
ketentuan-ketentuan yang berbeda dalam kondisi berbeda pula.
e.
Dapat
memberikan penejlasan terhadap suatu kata di dalam Al-Qur`an yang mungkin sulit
dipahami maknanya.
E.
Faedah perbedaan qira’ah
Bervariasinya qiraat yang shahih
ini mengandung banyak faedah dan fungsi, diantaranya:
1) Menunjukkan betapa terjaga dan
terpeliharanya Kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan padahal kitab ini
mempunyai sekian banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
2) Meringankan umat islam dan memudahkan
mereka membaca al-Qur’an.
3) Bukti kemukjizatan al-qur’an dari segi
kepadatan makna (‘ijaz)-nya, karena setiap qira’at menunjukkan sesuatu
hukum syara’ tertentu tanpa perlu pengulangan lafaz.
4) Penjelasan terhadap apa yang masih
global dalam qiraat lain. Misalnya, Qiraat dengan tasydid menjelaskan makna
qiraat dengna takhfif, sesuai dengan pendapat jumhur ulama. Karena itu istri
yang haid tidak halal dicampuri oleh suaminya karena telah suci dari haid,
yaitu terhentinya darah dari haid, sebelum istri tersebut bersuci dengan air.
F.
Kesimpulan
Qira’ah al-qur’an adalah mazhab
pembacaan alqur’an dari para imam qura’ yang masing-masing mempunyai perbedaan
dalam pengucapan alqur’an al-karim dan disandarkan pada sanad-sanadnya sampai
kepada rasullulah Saw. Perbedaan-perbedaan bacaan umat muslim sesuai mazhab
qiraah yang diikutinya, ini menunjukkan betapa islam sangat menghargai
perbedaan. Perbedaan bukanlah suatu hal yang dapat menimbulkan perpecahan,
bahkan merupakan sebuah rahmat. Sebagaimana sabda rasullah dalam sebuah hadist
“ perbedaan yang terjadi dalam umat-ku adalah rahmat”. Dengan perbedaan dalam
pembacaan qiraah menimbulkan perbedaan dalam mengistimbatkan hukum ( dimana
satu hukum dengan hukum lainnya saling menguatkan). Ketika seorang mufassir
menafsirkan al-qur’an menurut mazhab yang diikutinya, maka ia melahirkan hukum
yang berbeda dengan mufassir lain yang mengambil ( mengikuti) mazhab lain.
Perlu ditegaskan kembali bahwa
qira’at-qira’at itu bukanlah tujuh huruf, karena persoalan tentang tujuh huruf
tersebut telah berakhir sampai pada pembacaan terakhir ( ‘urdah al-akhirah ), yaitu ketika wilayah ekspansi
bertambah luas dan ikhtilaf tentang huruf-huruf itu menjadi kekhawatiran bagi
timbulnya fitnah dan kerusakan, sehingga para sahabat dan pada masa Usman
terdorong untuk mempersatukan umat islam pada satu huruf, yaitu huruf quraisy.
Inilah diantara mukjizat-mukjizat
yang ada dalam al-qur’an yang berbeda dengan kitab-kitab lainnya. Al-qur’an
diturunkan bukan untuk memberatkan umat akantetapi memberikan kemudahan bagi
umat manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
Abidin, Zainal. Seluk
Beluk al-Qur’an, Jakarta: Rineka Cipta. 1992
Ali,
Muhammad. At-Tibyan Fi Ulumil Qur’an. Jakarta: Darul Kutub
Al- Islamiyah. 2003
Al-Qattan.
Mabahis Fi Ulumil Qur’an. Surabaya.
Al-hidayah. 1973
Hasanuddin AF. Anatomi
Qur’an; Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbat Hukum dalam
al-Qur’an. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1995
Ismail, Sya’ban Muhammad. Mengenal Qira’at al-Qur’an. Semarang: Bina Utama. 1993
Mudzakkir. Studi
Ilmu-ilmu al-Qur’an. Jakarta: Lintera Antar Nusa. 1994
Nur,
Muhammad. Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis. Jakarta. Pustaka Amani. 2001
CIREBON
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar